Oleh : Muliadi Saleh
Dalam denyut kehidupan yang terus berlari, di tengah riuh zaman yang membanjiri manusia dengan informasi serba cepat dan instan, kampanye dan gerakan literasi bukanlah sekadar kegiatan biasa—ia adalah napas peradaban, cahaya peradaban, dan bara yang menjaga api kemanusiaan tetap menyala.
Jangan pernah lelah, apalagi berhenti melakukan kampanye dan gerakan literasi, karena dari sanalah lahir manusia-manusia merdeka: merdeka berpikir, merdeka memilih, merdeka memahami hidup dengan kejernihan hati dan keluasan nalar.
Literasi: Jantung Pengetahuan dan Kesadaran
Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, melainkan kemampuan memahami makna, memilah informasi, dan membentuk pemahaman kritis atas realitas. Dalam masyarakat yang literat, hoaks tak mudah tumbuh, fanatisme buta tak gampang menjalar, dan kekerasan tak menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan persoalan. Literasi mengajarkan kita untuk tidak serta merta percaya, tapi mencari, menguji, dan merenungi.
Masyarakat yang kuat bukanlah masyarakat yang hanya banyak bicara, tapi masyarakat yang mampu membaca, menulis, berdialog, dan menyusun narasi perubahan dari bawah. Maka, literasi adalah fondasi demokrasi. Ia menjadi akar bagi lahirnya warga yang sadar hak dan tanggung jawabnya, serta tak mudah ditipu oleh ilusi kekuasaan atau manipulasi informasi.
Mengapa Tak Boleh Berhenti?
Karena ketika literasi berhenti diperjuangkan, maka sunyi akan menyelimuti ruang-ruang berpikir. Generasi akan tumbuh tanpa akar, tanpa arah, dan tanpa daya. Tanpa literasi, anak-anak hanya akan menjadi pengikut tren, bukan pencipta masa depan. Mereka menjadi penonton kehidupan, bukan pelaku sejarah.
Dalam masyarakat yang abai literasi, ijazah bisa dibeli, ilmu bisa direkayasa, dan kebenaran menjadi kabur oleh popularitas. Maka, berhenti mengampanyekan literasi adalah membuka pintu bagi kemunduran peradaban. Ia seperti memadamkan pelita di tengah gelap: meninggalkan generasi dalam buta dan luka.
Apa Manfaatnya?
Gerakan literasi menumbuhkan empati, menyuburkan imajinasi, dan memantik inovasi. Ia menjadikan kita bukan hanya pintar, tetapi juga bijak. Literasi mengikat masa lalu, menafsirkan masa kini, dan menuntun masa depan.
Dalam keluarga, literasi menumbuhkan kehangatan dialog. Dalam sekolah, literasi melahirkan guru dan murid yang berani berpikir dan tak sekadar menghafal. Dalam masyarakat, literasi menciptakan ruang bertukar pikiran, bukan adu ego. Dalam pemerintahan, literasi adalah tameng dari korupsi, karena pejabat yang literat sadar makna integritas.
Substansi Literasi: Menyentuh Hati, Menghidupkan Nurani
Substansi literasi bukan pada angka statistik buku yang dibaca, tapi pada seberapa dalam manusia bisa memahami kehidupan. Ia menyentuh relung terdalam kesadaran manusia, membangunkan hati dari tidur panjang, dan menghidupkan nurani dari kelesuan.
Literasi adalah jalan sunyi yang penuh cahaya. Ia tak selalu gemerlap, tapi menuntun siapa pun yang mau berjalan dengannya menuju pencerahan. Dalam literasi, manusia belajar membedakan mana yang benar, mana yang sekadar terlihat benar. Ia membentuk karakter, membangun moral, dan memperhalus rasa.
Literasi Adalah Ibadah Intelektual
Melakukan gerakan literasi adalah ibadah intelektual. Ia bukan sekadar program, tapi panggilan jiwa. Sebagaimana air bagi kehidupan, literasi adalah kebutuhan pokok bagi jiwa yang ingin merdeka. Kita tak boleh lelah mengampanyekannya karena dunia tak pernah berhenti berubah, dan perubahan hanya bisa dihadapi oleh generasi yang paham, kritis, dan bijak.
Jangan pernah lelah. Karena setiap kalimat yang kita tulis, setiap buku yang kita baca, setiap forum yang kita gelar, adalah sumbangsih untuk peradaban. Dan peradaban yang besar, selalu dimulai dari kesadaran akan pentingnya literasi.
Wallahu A’lamu Bissawaab.
-Moel’S@03052025-