Mengapa Orang Baik Tak Boleh Diam: Suara Nurani Islam dalam Panggung Politik

Oleh: Muliadi Saleh

Dalam hamparan sejarah umat manusia, politik bukan sekadar arena kekuasaan. Ia adalah cermin peradaban, tempat nilai diuji, dan suara-suara keadilan diuapkan atau ditegakkan. Dalam dinamika dunia yang kian cepat, saat narasi-narasi kekuasaan melaju melampaui etika, kita tak boleh hanya menjadi penonton yang diam.

Islam, sejak wahyu pertama turun di Gua Hira, telah mengajarkan bahwa diam terhadap kebatilan bukanlah pilihan seorang beriman. Firman Allah dalam QS. Al-A’raf ayat 165 menegaskan: “Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras…” Ini bukan hanya kisah kaum terdahulu, ini pesan langit untuk zaman kini: kebaikan yang diam adalah kegagalan yang membisu.

Politik dalam Cahaya Islam: Sebuah Keniscayaan Amanah

Banyak orang memandang politik sebagai dunia kotor, tempat tipu daya dan ambisi tak berbatas. Namun Islam tak melihatnya demikian. Rasulullah Saw adalah kepala negara, panglima perang, dan pemimpin masyarakat. Khulafaur Rasyidin adalah politisi sekaligus wali umat. Umar bin Khattab, dengan tongkatnya, menggugah pemimpin-pemimpin lalai. Ali bin Abi Thalib, dengan hikmahnya, menenun keadilan dalam tengah gelombang fitnah.

Politik, dalam pandangan Islam, adalah alat untuk menegakkan maslahat dan mencegah mafsadat. Ia bukan tujuan, tetapi jalan. Jalan untuk menghadirkan rahmat, menciptakan kemakmuran, dan menjaga kemuliaan manusia. Maka ketika orang-orang baik menjauh darinya, siapa yang akan menyalakan lentera di tengah gelapnya kekuasaan?

Kenapa Orang Baik Harus Muncul ke Permukaan

Orang baik sering merasa nyaman dalam kesunyian. Mereka mencintai ketulusan yang tersembunyi, amal-amal kecil yang tak butuh tepuk tangan. Namun, zaman hari ini memanggil mereka untuk tampil. Dunia yang gaduh dengan ambisi, dipenuhi citra tanpa integritas, memerlukan kehadiran mereka yang jujur, bersih, dan penuh kasih.

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…” (QS. Ali Imran: 110). Ayat ini bukan sekadar pujian, tapi mandat. Kebaikan harus tampak, kejujuran harus berbicara, dan keadilan harus berdiri di podium.

Diam bukanlah bentuk kebaikan dalam kebatilan yang menguat. Diam adalah celah di mana keburukan tumbuh. Imam Ghazali berkata, “Kebinasaan umat terjadi ketika orang-orang alim diam terhadap penguasa yang zalim.” Maka suara orang baik harus menjadi gema yang menyadarkan, bukan bisik yang lenyap di sela sorak sorai dunia.

Islam dan Sikap Terhadap Kejahatan: Jelas dan Tegas

Islam tidak memberi ruang netral terhadap kejahatan. Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya – dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Ini bukan ajakan heroik belaka, melainkan prinsip etik dalam kehidupan. Mencegah kejahatan adalah wujud kasih terhadap sesama. Diam terhadap korupsi, ketidakadilan, atau manipulasi kekuasaan, berarti menyetujui kehancuran umat secara perlahan.

Maslahat dan Mudharat: Timbangan Langit dalam Dunia yang Cepat

Dalam fiqih siyasah (politik Islam), prinsip tahqiqul maslahat wa dar’ul mafasid – mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan – menjadi asas utama. Dalam dunia yang makin kompleks, keputusan bukan soal idealisme kaku, tapi bagaimana menakar dampak jangka panjang terhadap umat.

Ketika masuk ke ruang kekuasaan, orang baik bukan berarti menyesuaikan dengan keburukan. Tapi mereka belajar menjadi lentur tanpa kehilangan nurani. Mereka berdiplomasi dengan cerdas, tanpa kehilangan keberanian. Inilah seni menjadi pemimpin yang berakar dalam nilai, tapi menari dalam realitas.

Panduan Qurani dalam Dunia Dinamis

Al-Qur’an adalah petunjuk hidup, termasuk dalam dinamika sosial-politik. Dalam QS. An-Nisa ayat 135, Allah memerintahkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap diri kalian sendiri, ibu bapak, dan kaum kerabat…”.

Ayat ini menuntun kita bahwa keberpihakan Islam adalah pada keadilan, bukan pada golongan. Dunia boleh berubah, zaman boleh melesat, tapi nilai-nilai ilahi tetap menjadi kompas. Dalam teknologi, ekonomi, bahkan perang narasi media sosial, umat Islam harus menjadi cahaya yang menuntun arah.

Akhirnya: Saatnya Bangkit dan Bergerak

Dunia tak akan berubah oleh keluhan. Ia berubah oleh keberanian. Saatnya orang baik tidak lagi hanya berdoa dalam sunyi, tetapi juga berikhtiar dalam terang. Saatnya kita mengisi ruang-ruang publik dengan nilai, bukan hanya opini. Saatnya kita melibatkan diri bukan karena ambisi, tapi karena cinta pada umat.

Biarlah kebaikan tak hanya jadi bisikan hati, tapi menjadi arsitek masa depan. Karena politik bukan hanya tentang kursi, tapi tentang arah hidup sebuah bangsa. Dan Islam telah lebih dulu mengajarkan bahwa diam terhadap kezaliman adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.

“Berbuatlah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amal kalian.” (QS. At-Taubah: 105)

Maka mari bergerak. Dengan nurani. Dengan ilmu. Dengan cinta. Karena dunia butuh orang baik yang berani tampil, bukan hanya menunggu perubahan dari balik tirai.
Wallahu A’lamu Bissawaab.
-Moel’s@02052025-