Keresahan Dari Warkop Rakyat

Oleh: Direktur Masangena Institut Awaluddin

RUANG publik kita memang bukanlah ruang hampa yang sepi dari beragam diskursus yang menggelayutinya dari semua aspek dan tatanan sosial sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ia selalu mengalami metamorfosis budaya dan reinkarnasi sejalan dengan perubahan jaman dengan mengusung kiblat transformasi peradaban yang setiap detik merubah cara pandang makhluk sosial yang bernama manusia.

Tentu pergerakan zaman ini seyogyanya selalu harus ditafsir sebagai suatu entitas yang terus menerus mengalami elaborasi. baik dari sudut epistemogisnya maupun kearifannya agar tercipta sebuah panggung kehidupan yang harmoni dalam lautan heteroginitas. Itulah sunnatullah.

Menyikapi perbedaan pandangan diatara ribuan mahluk memanglah membutuhkan dedikasi yang tidak ringan sehingga bangunan kehidupan kemanusiaan tetap terpelihara dengan apik dan memandangnya dengan holistik.

Membangun presisi sentimen dalam perbedaan bukanlah sesuatu yang bijak tapi bagaimana itu direduksi sebagai sebuah kekuatan yang adi manfaat dalam merekonstruksi kembali cara berfikir kita yang lebih produktif. produktif secara sosial, produktif secara politik, budaya dan spritualitas. Tidak boleh ada yang alergi dan gatal terhadap upaya upaya perbaikan dalam apapun bentuknya. Betapa kehadiran alam semesta mulai dari partikel terkecil sejenis protozoa pun masih memiliki manfaat apalagi molekul yang besar sejenis negara. Keduanya haruslah terintegrasi dan menguatkan.

Ruang ruang yang mungkin hilang dari peta sosial kita selama ini haruslah terus mengalami diskursus diberbagai kesempatan yang kita miliki sehingga kita tidak mengalami amnesia dan kehilangan momentum untuk memperbaikinya.

Setiap dari kita adalah pewaris sejarah dan punya tugas untuk memperbaikinya apakah dengan fil jasadi (red: Eksekutif), fabilisaani (Legislatif, Cendekiawan) atau fabi qolbih (pembangkangan hati untuk tidak setuju). Tiga komponen itulah sesungguhnya tugas kenabian kita dalam upaya menempatkan posisi kita dihadapan Tuhan sebagai khalifah.

Pada konteks itulah sebenarnya utilitas manusia dan kemanusiaan kita menjadi pertaruhan.