Catatan: Bustan Basir Maras
Wilayah ini mungkin masih asing di telinga banyak orang, ketika itu. Hanya sebuah kecamatan kecil nan eksotik di ujung paling utara Kabupaten Mamuju-Provinsi Sulawesi Selatan (Sebelum Sulbar: 2004). Kecamatan kecil ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Donggala, batas paling selatan dari Provinsi Sulawesi Tengah. Namanya Pasangkayu. Konon berasal dari kata Vova dan Sanggayu, berarti sepohon bakau yang tumbuh di ujung Tanjung (Tanjong) Pasangkayu. Dua bilah kata itu diambil dari bahasa para Nelayan Kaili Ledo atau orang sering pula menyebutnya Kaili Dolo yang sering menambatkan perahu mereka di Tanjung Pasangkayu yang menyimpan berjuta misteri bagi masayarakat sekitarnya.
Adapun para nelayan, pedagang Mandar, Bugis dan Makassar yang datang dari arah selatan, yang menenpuh perjalanan laut melintasi wilayah ini, sering pula menyebutnya Tanah Tunggara. Istilah ini juga mungkin masih asing di telinga sejumlah orang. Namun istilah ini sangat akrab di telinga terutama para nelayan Mandar bahkan berabad yang lalu, nama itu abadi dalam lagu permainan anak-anak Mandar.
Jauh sebelum kelahiran Propinsi Sulawesi Barat, ekspos dan penelitian terhadap wilayah ini masih sangat kecil. Namun data lain menunjukkan, Kolonial Belanda telah meneliti wilayah ini sejak tahun 1912 atau di sekitar abad ke 19 M, kurang lebih setengah abad sebelum Indonesia Merdeka. Salah satunya adalah: Pakawa, Een Landstreek In De Order-Afdeling Paloe (Minden Celebes) yang ditulis oleh Dr. Albert. C. Kruyt, seorang Antropolog berkebangsaan Belanda yang banyak mengeksplorasi wilayah ini di dalam tulisan tersebut. Pakava (Pakawa) dan Vivi Koro adalah dua rumpun Kaili yang masuk ke dalam wilayah Pasangkayu yang menjadi objek riset Kruyt. Bahkan wilayah ini masuk dalam sensus Belanda lengkap dengan petanya. Artinya Pasangkayu justru tidak asing di masa kolonial, tetapi mengapa kemudian menjadi asing pasca kemerdekaan. Ini merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab oleh bangsa ini khususnya generasi Pakava dan Vivi Koro-Pasangkayu.
Dengan segenggam data awal itu, secara berturut-turut di awal tahun 2006, 2007, 2008 saya mengunjungi Pasangkayu untuk kepentingan riset kecil-kecilan saya (Tugas Sekolah Pascasarjana-Antropologi UGM Yogyakarta) di perkampungan (Boya) Tori Bunggu Kalibamba Mamuju Utara hingga hal-hal lain yang sifatnya kelanjutan riset kerjasama dengan Pemda Pasangkayu (Mamuju Utara) saat itu.
Di sekitar tahun 2006 mengunjungi Pasangkayu bukannlah jalan bertabur bunga. Tantangan merintang di hadapan silih berganti. Betapa jauhnya jarak tempuh jika diukur dari ibukota Kabupaten Mamuju saat itu, apalagi jika diukur dari Makassar: ibukota Propinsi Sulawesi Selatan di masa-masa pemerintahan sentralistik. Allamak…tepuk jidat saya. Perjalanan yang cukup melelahkan dan menguras energi. Badan jalan yang rusak parah, jembatan yang hanya disanggah dengan beberapa besi-batangan dan mengandalkan batang pohon kelapa sebagai bahu jembatan, menjadi arus utama trans Sulawesi, sungguh sebuah pemandangan yang memperihatinkan. Bahkan jauh sebelum masuk ibukota Pasangkayu, saya muntah berkali-kali. Jalan rusak parah luar biasa dan saya tidak kuat menahan rasa mual dan pusing. Jujur, spontan saya mengumpat, protes dan mengutuk berbagai kebijakan pemerintahan sentralistik di masa lalu yang membiarkan daerah ini terlantar dan tertinggal jauh dengan daerah-daerah lain, sementara hasil buminya yang melimpah ruah, secara terus menerus dikeruk dan digerus oleh berbagai kepentingan kapitalisme global, diangkut dan dipindahkan ke tempat lain, sehingga tinggallah wilayah ini meradang sepanjang tahun di tengah-tengah gegap gempita pembangunan nasional di masa Orde Baru.
Namun dari semua kesaksian perjalanan itu, saya justru kian terpanggil mencatatkan banyak hal tentang Pasangkayu-Mamuju Utara. Mengapa tertinggal, faktor apa yang melatari, padahal potensi alamnya melimpah ruah-namun tak menunjukkan sumbangsi yang signifikan terhadap kesejahteraan penduduknya. Saya juga mencatat periodisasi berbagai protes dan keinginan masyarakat untuk berdiri sendiri menjadi satu kabupaten-berpisah dari kabupaten induknya, serta berbagai hal penting lain, sebagai materi historis yang menyebabkan situasi dan kondisi daerah ini menjadi sedemikian terpingirkan saat itu.
Perlahan namun pasti jawaban itu mulai saya temukan. Pada suatu acara saya jumpa dengan Bapak H.M. Yunus Alsam, S.Pd, M.Pd yang saat itu menjabat sebagai (Kepala Kesbangpol Mamuju Utara). Bliau lalu mengenalkan saya kepada seorang “gerilyawan” sekaligus sebagai ketua umum KAPKP di masa perjuangan pembentukan Kabupaten Pasangkayu (Mamuju Utara). Beliaulah Ir. H. Agus Ambo Djiwa, MP (Wabup Mamuju Utara saat itu) dan selanjutnya menjabat sebagai Bupati Pasangkayu 2 priode. Pembawaanya yang tenang dan berwibawah dengan semangat yang menyala, dari wajah sang Proklamator Kab. Pasangkayu ini saya bisa membaca getir perjuangan menegakkan wilayah ini hingga berdiiri kokoh sebagai satu kabupaten. Bersama dengan Kakak Sulungnya Yaumil RM (Bupati Pasangkayu saat ini) menceritakan ke saya penuh haru biru, bagaimana lika liku Kabupaten Mamuju Utara (Pasangkayu) bisa berdiri tegak sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakatnya hari ini.