Oleh: Dr. Abd. Rahman Hamid, Dosen Sejarah pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Yang terhormat:
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Barat Bupati dan Wakil Bupati Majene
Ketua dan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Majene
Para Kepala Dinas/Lembaga dalam lingkup Provinsi Sulawesi Barat Para Kepala Dinas/Lembaga dalam lingkup Kabupaten Majene
Para tokoh Masyarakat dan Agama
Bapak/Ibu/Saudara(i) sekalian yang berbahagia
Alhamdulillahi Rabbil Alamiiin, puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat yang selalu tercurah kepada kita sehingga dapat menghadiri Peringatan Hari Jadi Majene ke-484 pada 15 Agustus 2023. Semoga kita dapat mengikuti acara ini sampai selesai. Amin.
Saya sampaikan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kab. Majene yang telah memberikan apresiasi tinggi kedua kalinya, setelah sebelumnya mendapat penghargaan sebagai Keynote Speaker Kebudayaan Mandar pada tahun 2017, dan sekarang mendapat kepercayaan menyampaikan orasi kebudayaan. Semua itu tak lepas dari riset saya tentang Sejarah Maritim Mandar dalam 10 tahun terakhir (2013-2023). Jadi, apa yang saya sampaikan di sini merupakan refleksi dan proyeksi dari riset tersebut. Saya sangat bersyukur, karena dengan riset itu saya bisa meraih gelar tertinggi dalam bidang akademik sebagai Doktor Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia tahun 2019. Kini saatnya menyampaikan temuan-temuan riset itu kepada Bapak/Ibu hadirian yang berbahagia.
Pada kesempatan ini, izinkan saya untuk menyampaikan orasi berjudul “Membaca Sejarah untuk Masa Depan Majene”. Dari judul ini tersirat bahwa membaca sejarah “di sini” dan “sekarang” bukan untuk masa lalu, melainkan untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang dan esok. Mengapa harus belajar sejarah? Karena tanpa belajar sejarah kita akan mudah mengulangi kesalahan/kegagalan yang sama. Bukan-kah kaca spion mobil/motor menghadap ke belakang, meskipun ia bergerak cepat ke depan! Begitu pula Kabupaten Majene yang terus bergerak menuju kemajuannya, tanpa melupakan sejarahnya.
Bapak Bupati dan hadiran yang berbahagia
Sekitar dua minggu yang lalu, segera setelah mendapat kabar dari Panitia untuk menyampaikan Orasi Kebudayaan, saya menulis status di akun face book dengan pertanyaan pendek: Menurut Anda, apa fakta historis Majene yang perlu diketahui publik? Selama dua hari muncul berbagai jawaban netizen tentang Majene: (1) jejak kolonialisme: ibukota Afdeling Mandar, Assamalewuang (kantor Afdeling Mandar), Rumah Residen Mandar (Rumah Jabatan Wakil Bupati), Rumah Sakit (Museum Mandar), (2) kebudayaan bahari: perahu pakur dan sandeq [tidak ada yang menyebut olang mesa]; (3) kerajinan lokal: kain sutra (lipa sa’be), minyak kelapa; (4) sejarah kota: Majene sebagai kota tua, kota perjuangan, dan kota pendidikan; dan (5) sastra lisan kalindaqdaq.
Berdasarkan komentar tersebut saya membagi orasi ini menjadi dua yaitu (1) kebudayaan bahari Mandar dan (2) arus perjuangan bangsa Indonesia di Majene.
Kalau ingin mempelajari sejarah Majene, maka yang pertama ingin diketahui adalah nama Majene. Ada yang mengatakan kata Majene berkaitan dengan kehadiran orang dari luar Majene. Mereka bertanya kepada orang yang sedang berwudhu tentang nama daerah ini, lalu ia menjawab bahwa “manje’nek” atau sedang berwudhu. Kejadiannya diperkirakan abad ke-19.
Nama Majene sangat erat kaitannya dengan fenomena bajak laut di perairan Majene dalam abad ke-16, seperti tercatat pada Lontarak Patturioloanga ri Tutalloka, bahwa Pangeran Tallo, I Daeng Padulu pada usia 14 tahun (lahir pada 1521) diperintahkan oleh Raja Gowa Tummaparisi Kallonna memimpin pasukan Makassar membantu Maradia Banggae, Puatta I Salabose Daeng di Poralle, memberantas aksi bajak laut Tidung di Teluk Mandar. Dengan demikian, nama Majene telah dikenal sebelum I Daeng Padulu datang ke Majene.
Masalah bajak laut di Majene mencuat pada abad ke-18 ketika La Madukelleng dari Kalimantan Timur tiba di Madjenne pada Desember 1735. Pada saat itu Arung Lipukasi (Tanete), La Pasonri, berada di Batu Majene untuk menghukum bajak laut Mangindanao. Sementara La Madukelleng hendak menghukum seorang Makassar, Kare Patasa. Setelah 75 hari di Majene, rombongan La Madukelleng menuju ke Makassar.
Berita bajak laut Mangindano dicatat oleh pelaut Inggris, Thomas Forrest, yang mengunjungi Pulau Mangindanao tahun 1775. Dari sana ia tahu bahwa penduduknya giat dalam perompakan. Mereka berlayar sampai di pantai Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa mengambil perahu apa pun yang bisa direbut. Bagi penduduk di pantai dan pulau-pulau kecil, angin yang membawa perahu itu disebut “the pirate wind”.