Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana | Penguatan Identitas, Kebhinekaan dan Kemaritiman Mandar | Bagian 24
Reportase Muhammad Munir
Jam, 09.00, penulis tiba di Davina Hotel. Agenda awal adalah bertemu dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Majene, Rustam Rauf. Tapi karena satu dan lain hal jadwalnya diundur ke jam 14.00. Pak Amir dan Pak Budi menemani penulis bincang-bincang di lobi hotel sekitar 15 menit. Hari ini, tim peneliti ini tak ada agenda lagi untuk Balanipa maupun Sendana, semua tahapan riset sudah rampung.
Selama berada di Mandar, para peneliti ini mengambil pangkalan di Kota Majene. Ini tentu beralasan, Majene sejak dulu kerap menjadi pilihan untuk menginap bagi para pendatang dari luar, sebab didukung fasilitas penginapan/hotel dan kebutuhan refreshing bagi para pengunjung. Terlebih posisi Majene sebagai ibukota Afdeling Mandar menjadi salah satu penguat bagi pengunjung yang ingin riset tentang sejarah masa lampau.
Narasi ini mengusung Kota Tua Majene, bukan Majene Kota Tua. Dua kalimat ini kerap menjadi bahan debat semenjak perhelatan Festival Majene Kota Tua yang dihelat oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat. Terlepas dari polemik itu, tulisan ini hanya sebagai pengantar bagi para peneliti untuk lebih mengenali Majene sebagai salah satu destinasi wisata sejarah di bagian barat Sulawesi.
Majene terletak di pesisir pantai barat Sulawesi, berada diantara 20 38’ 45” – 30 38’ 15” Lintang Selatan, antara 1180 45’ 00” – 1190 4’ 45” Bujur Timur. Daerah ini memanjang dari utara ke selatan kurang lebih 947,84 Km2 luasnya, dan berada di sekitar 302 Km sebelah utara kota Makassar (ibukota provinsi Sulawesi-Selatan). Dan jarak kabupaten Majene dengan ibukota Provinsi Sulawesi barat (Kota Mamuju) kurang lebih 146 Km. sebelah selatan.
Dalam perspektif sejarah, Majene dikenal secara global dan masuk dalam peta ekspedisi armada armada asing yang melakukan perdagangan rempah rempah di Indonesia pada zaman VOC Belanda. Selain itu dari sisi kesejarahan, Majene adalah ibukota afdeling Mandar sejak pertama kali berdirinya pada tahun 1909.
Setelah lima puluh tahun kemudian, Afdeling Mandar dimekarkan menjadi tiga kabupaten. Polman, Majene dan Mamuju. Kabupaten Majene sendiri dibentuk berdasarkan UU No 29 Tahun 1959 (Basri Hasanuddin, 2008). Dalam Catatan Portugis “South Sulawesi in 1544: a Portugis Letter oleh Bret Baker (Majalah Rima Review of Indonesian and Malaysian Affair Volume 39 Number 1, page 62 tahun 2005) disebutkan bahwa dalam surat Antonio de Paiva ti Jaoa de Albuquerque OFM, Bishop of Gowa (Nov, 1545 ) menyatakan: Pada tahun 1544 dia berangkat ke pulau Makassar (Sulawesi) untuk mencari Sandalwood (kayu Cendana) bersama Rui Vaz Pereira (kapten Malaka) menelusuri pantai Siam selama 3 bulan (April, Mei, Juni) sampai ke Durate (Tanah Sandalwood).
Durate terdapat dalam Peta dalam Pantai Barat Sulawesi yang dulu diartikan sebagai Nusa Cendana Timur, sekarang oleh Campbel Macknight mengemukakan bahwa identifikasi dari tanah Sandalwood adalah satu bahagian dari tanah Sendana, kira – kira 30 km dari Kota Majene.
Istilah Sendana dan Cendana dibuat oleh Portugis, karena diketahui berdasarkan pengetahuan Kata Melayu, sebagai pengalaman orang Portugis selama di Malaka, tetapi kata Durate tidak dijelaskan selanjutnya. Disebutkan juga dalam surat itu bahwa ada seorang Raja yang mengusir anaknya ke daerah Galicia dan itu disebut Mandar (Mandar berada di sebelah utara Parepare, dan daerah ini dihubungkan dengan nama Land Of Sabndalwood).
Selain itu juga terdapat catatan perjalanan yang diceritakan oleh Captain David Woudard dengan 4 pelaut (1796) yang kapalnya tenggelam diperairan Donggala dan menyerahkan diri ke pantai Sulawesi. Diceritakan bahwa dalam keadaan yang sangat sengsara seorang bernama Tuan Hadjee meninggalkan Palu (Donggala) dengan perahu, tiba di daerah yang disebut Pamboon (Pamboang). Dia tiba di pamboang pada Juni setelah dia meninggalkan Dunggalay (Donggala) dan Parlow (Palu ??) 1795.
Dia ditangkap dan atas izin Raja, diminta menghadap oleh raja, diperlihatkan 100 senapan mesin dia diminta untuk tinggal dan diberi istri di Pamboon (Pamboang) agar dia dapat mengajarkan penggunaan senapan. Namun dia menolak dengan mengatakan dia hanya pelaut dan sementara yang mengetahui penggunaan senjata adalah tentara. Akhirnya dia diizinkan berlayar ke Makassar melalui pulau San Bottam (Sabutung) Pamboang adalah termasuk suku Tramany.