Oleh Adi Arwan Alimin
ADA satu hal. Ada momentum. Ada yang tak dapat dipisahkan dari perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Apa itu? Diantaranya kehadiran media Tabloid Mandar Pos. Surat kabar ini digagas Abdul Watif Waris, Armin Topotiri, Syahrir Hamdani, dan kawan-kawan.
Adalah Watif dan Armin yang menjadi penggerak awal selepas lulus dari Universitas ’45 Makassar. Keduanya sejak di kampus telah memiliki minat untuk mendirikan media. Sebagai aktivis LSM anak muda itu mulai gandrung pada arus informasi yang krannya mulai terbuka.
Sebelumnya Watif pernah mendirikan buletin “Teluk Mandar” bersama Hamzah Ismail, Tammalele dan kru Teater Flamboyant lainnya di Tinambung.
Gagasan Mandar Pos disambungkan kepada Syahrir Hamdani yang saat itu baru saja memimpin Komite Aksi Perjuangan Pembentukan Provinsi (KAPP) Polmas. Mereka mengajak Hamzah Ismail, Tammalele, Mustakim, Junaedi Latif, lalu memboyong anak-anak muda lainnya sebagai reporter seperti Nursyahid Saleh, Rahmat Azis, Mardin Z, Abdul Samad, dan Salim Madjid.
Media ini terbit melalui akta notaris Yayasan Citra Tipalayo. Citra diambil dari nama putri Syahrir Hamdani. Menurut Watif, tidak diingat lagi siapa yang awalnya mengusulkan nama Mandar Pos, karena ada juga usulan Tipalayo dari Syahrir, dan nama Teluk Mandar tapi sudah pernah dipakai sebagai nama buletin.
Pada akhirnya nama “Mandar Pos” yang disepakati sebagai usul banyak orang. Sistem kerja redaksi, dan perusahaan pun dimulai. Mandar Pos segera berkelindan sebagai penerbitan dan percetakan.
Syahrir menjadi Pemimpin Umum, dan Abdul Watif Pemimpin Perusahaan, sementara Wakilnya Junaedi Latief. Hamzah ditunjuk sebagai Pemred, sedang Armin menjadi Redaktur Pelaksana.
“Ya, saya menerima amanah itu dengan modal pas-pasan juga, belum ada pengalaman sama sekali waktu itu. Tapi dapat berjalan sambil semua orang belajar,” ujar Hamzah sambil tertawa suatu hari di Tinambung kepada penulis. Kini, Hamzah memimpin wilayah Tinambung sebagai Camat.
“Namun nama ‘Mandar Pos’ ini tetap hasil urun rembuk. Seingat saya itu karena dipengaruhi juga nama surat kabar ‘Jawa Pos’ yang lagi tren. Perwajahan ‘Mandar Pos’ pun meniru gaya ‘Bola’, atau ‘Detik’ yang saat itu menjadi tabloid bergaya politik pertama yang dipimpin Eros Djarot. Akhirnya, kami muncul sebagai media yang terbit setiap 10 harian.”
Watif menegaskan bahwa dana awal penerbitan Mandar disokong oleh modal Armin Topotiri untuk tiga edisi. Syahrir Hamdani juga tercatat membiayai beberapa edisi, termasuk sumbangan pribadi dari politisi Golkar Nurdin Halid.
“Jadi ‘Mandar Pos’ dimulai dengan modal begitu, bukan dari dana KUT seperti diduga orang selama ini. Bagaimana bisa dananya dari KUT, sebab belum cair saat itu,” sebut Watif, seraya mengatakan bahwa pernyataan itu bagian dari klarifikasinya.
“Nama Citra, putri pak Syahrir kita tambahkan, saat itu untuk kepentingan akta,” sebut Abdul Watif saat ngopi di Warkop Damai, Jumat (22/9) mengenang media arus perjuangan yang sempat merajai pikiran warga mengenai pembentukan Sulawesi Barat.