Oleh Adi Arwan Alimin
28 Juli 1999 bukan hari biasa bagi Abdul Watif Waris. Hari itu sebuah media lokal “Mandar Pos” sedang dilahirkan bertepatan hari ulang tahunnya.
Tabloid yang tetas dari gagasan Watif, Armin Mustamin Toputiri dan Syahrir Hamdani itu lahir lebih kurang 100 hari sebelum Deklarasi Sulbar 10 November 1999 di Galung Lombok Tinambung.
Tabloid yang diongkosi secara urunan itu telah menjelma sebagai medium dalam arus perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Ruang opini, kabar berita, dari sajian per edisinya seperti oase menyejukkan. Kolom-kolom tabloid politik ini berasa kental digarap amat serius dengan diksi yang enak dibaca kala itu.
“Penamaan Mandar Pos, bisa dilihat pada makalah saya saat berbicara pada haul Pak Husni di Tashan Centre, lupa tahunnya…” sebut Armin Mustamin Toputiri Ahad (24/9) siang.
Menurutnya, “Mandar Pos” jangan dipotret seperti media pada umumnya, sehingga membayangkan akan berusia panjang, tidak begitu. Mandar Pos memang dihadirkan pada pemahaman dasar kami sebagai aktivis pergerakan. Bahwa tak ada perjuangan mulus atau berhasil tanpa didukung narasi yang kuat. Itulah filosofi kelahirannya,” ujar Armin putra dari Palopo ini.
Armin, mantan Redpel Mandar Pos, menyebut layout surat kabar itu dikelola Ahka Ahmad Kaharuddin, “Kami bermodal pengetahuan mengelola majalah santri, itu latar layout-nya bukan dari media lain.”
Bagaimana menggambarkan newsroom Mandar Pos dalam keterbatasan fasilitas dan sumber daya lainnya di semester kedua tahun 1991 itu?
Armin menggambarkannya begini, redaksional selalu terlambat terbit karena krunya dominan mengirim berita benar-benar mentah. “Bahkan sering coret-coretan tangan saja, ada pula yang ditulis tangan pada sobekan kertas juga bekas bungkusan rokok,” kenang Armin yang juga dikenal sebagai salah satu esais top ini.
Tidak sampai di situ, Armin pun melayut ingatannya yang menggambarkan repotnya memimpin urusan internal redaksi. Dia setiap jelang deadline menunggu kiriman draf berita dari reporter dalam situasi serbakurang.
“Itulah yang bikin repot, saya bergadang sampai tertidur di ruko percetakan ‘Semut’ untuk menyusun narasi dari sobekan-sobekan kertas. Karena hanya di percetakan ‘Semut’ kala itu ada komputer. Panjang sekali kalau dicerita,” jelas Armin via WhatsApp.