(Sebuah Jawaban Atas Prakek Langsungnya)
Oleh: Fauzan (Aktivis Mahasiswa)
Indonesia merupakan negara yang sangat peduli terhadap nasib dan perkembangan pemimpin terbukti dari banyaknya pelatihan-pelatihan kepemimpinan yang di laksanakan di berbagai tingkatan. Mulai dari sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, perguruan tinggi bahkan sampai pada latihan kepemimpinan untuk para pegawai perusahaan dan pejabat negara.
Tapi sangat disayangkan bahwa latihan dasar kepemimpinan yang dilakukan ini hanya sebatas pada latihan saja.
Untuk tingkat sekolah, dikenal dengan istilah Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) yang merupakan pelatihan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan. LDK biasanya diberikan dengan dua bagian, yaitu fisik dan mental sedangkan materi yang akan diberikan ialah pelatihan baris-berbaris (Wikipedia, 2025).
Sedangkan latihan kepemimpinan untuk pejabat adalah program pelatihan untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintahan yang bertujuan untuk memberikan wawasan terhadap ilmu kepemimpinan, meningkatkan keterampilan dan sikap manajerial, menghasilkan birokrat yang bersih serta memiliki pelayanan publik berkualitas dan mengembangkan kepemimpinan yang efektif yang mampu memperkuat hubungan dan masyarakat (LAN RI, 2025).
Latihan kepemimpinan yang telah diselenggarakan dari tingkat dasar sampai ke tingkat paling atas mampu menjadi unggul dalam teori tapi nol dalam praktek. Hal ini sangat masuk akal melihat bahwa latihan kepemimpinan hanya di artikan sebagai latihan saja. untuk prakteknya harus tetap membawa budaya lama yaitu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merupakan budaya dari orde baru. Terbukti bahwa budaya korupsi yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun tanpa adanya tindak khusus atau kesadaran untuk tidak melakukannya. Padahal sudah di lakukan pelatihan kepemimpinan untuk mencetak pemimpin yang bersih dari tindakan KKN ini.
Apakah ini memang ketidaktahuan bahwasanya untuk menjadi seorang pemimpin itu memang tidak mudah, atau mungkin saja mereka hanya merasa bahwa latihan kepemimpinan itu, ya memang hanya untuk latihan pada waktunya saja.
Latihan kepemimpinan yang diselenggarakan disegala bidang ini terbuki sangat sedikit bahkan sangat kurang melahirkan pemimpin yang sesuai dengan tujuan latihan kepemimpinan itu sendiri. Seperti yang sudah kita saksikan setiap waktu dan berbagai tempat. Di berbagai instansi tidak banyak pejabat publik berlaku adil dalam pelayanan kantor.
Tidak sedikit kita melihat pelayanan kantor publik yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita di mana pelayanannya dilakukan secara baik jika yang membutuhkan pelayanan adalah orang-orang tertentu.
Tujuan lain dari latihan kepemimpinan ialah menghasilkan birokrat yang bersih juga sangat tidak relevan dengan apa yang terjadi di lapangan. Di mana praktek KKN masih merajalela yang bahkan banyak dilakukan di instansi-instansi pemerintahan. Menurut Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP Partai Keadilan Sejahtera, Farouk Abdullah Alwyni bahwa pada masa reformasi tingkat KKN kian memburuk dan sangat sulit untuk diatasi oleh pihak berwenang. Dalam dua dekade reformasi KKN masih merajalela di sekitar kekuasaan (Media PKS, 2025).
Selain korupsi besar-besaran merajalela di negeri ini, praktek terbesar kolusi dan nepotisme juga terjadi belakangan ini. Di mana keluarga politik akan tetap menjadi politisi bagaimanapun caranya. Pemaksaan kehendak dan wewenang terjadi pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Salah satu cawapres dianggap tidak mencukupi syarat untuk menjadi kandidat pada waktu itu. Tapi karena kita memang berada di negara KKN yang sangat ulung, ya segala hal bisa terjadi. Menimbulkan kisruh nasional yang kemudian hanya berakhir pada sesuatu hal yang sudah kita ketahui.
Siapapun yang berkuasa, dialah pemenangnya. Seperti kutipan puisi yang pernah saya tulis sebelumnya. “anak petani, buruh dan PNS akan menjadi apa saja yang mereka ingini, anak polisi juga akan menjadi apa saja yang mereka ingini, namun sial, anak politisi tetap akan menjadi politisi”.
Bahkan dalam waktu yang sangat dekat tepatnya pada tanggal 26 Februari 2025, kasus korupsi besar-besaran kembali terkuak dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi Pertamina yang merugikan uang negara sebesar Rp. 11,7 triliun. Sekaligus berkontribusi terhadap meningkatnya biaya kompensasi dan subsidi BBM yang di tanggun APBN pada tahun 2023, dengan nilai kerugian mencapai Rp 147 triliun (Tempo, 2025).
Hal ini malah menjadi pertanyaan sekaligus kegelisahan, apakah benar bahwa latihan kepemimpinan yang dilakukan selama ini mampu menjawab kelangkaan pemimpin yang bertanggung jawab, jujur, adil dan amanah untuk kebaikan rakyat dan negara?
Atau memang latihan kepemimpinan yang dilakukan di manapun hanya sebatas gaya-gayaan dan akan berakhir sebagai latihan yang tidak akan pernah direalisasikan.
Latihan kepemimpinan untuk pejabat yang dilaksanakan menggunakan uang rakyat dan negara terbukti hanya mampu menyusahkan rakyat dan menyengsarakan negara. Negara kita dengan berbagai upayanya hanya mampu melahirkan pemimpin bukan melahirkan orang yang mampu memimpin. Baik pemimpin organisasi, daerah, wilayah bahkan sampai kepada pemimpin negara.
Jika Latihan Kepemimpinan hanya mampu dilakukan sekedar latihan belaka, ada baiknya dilakukan juga pelatihan dasar korupsi, kolusi dan nepotisme agar praktek KKN hanya di lakukan di pelatihan saja. (*)