Oleh: Suhartina
(Ketua FLP Kota Parepare)
Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa usia minimal calon kepala daerah harus dihitung pada saat penetapan pasangan calon oleh KPU.
Putusan ini menegaskan bahwa batas usia minimal harus dipenuhi pada saat pencalonan, bukan pada saat pelantikan, dan menjaga agar aturan yang ditetapkan tetap konsisten dengan prinsip-prinsip konstitusional.
Namun, Baleg DPR RI, dalam rapatnya pada 21 Agustus 2024, memilih untuk mengabaikan putusan ini dan justru mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan bahwa batas usia minimal dihitung pada saat pelantikan.
Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai integritas dan kehormatan proses hukum di Indonesia.
Keputusan Baleg ini mencederai prinsip dasar hukum, yaitu bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. MK adalah lembaga yang berwenang untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, dan putusannya harus dijunjung tinggi oleh seluruh lembaga negara, termasuk DPR.
Mengabaikan putusan MK dalam kasus ini menunjukkan bahwa DPR lebih mengutamakan kepentingan politik jangka pendek daripada prinsip-prinsip hukum yang seharusnya dijunjung tinggi.
Keputusan ini juga memberikan preseden buruk dalam tata kelola hukum di Indonesia. Jika DPR bisa dengan mudah mengabaikan putusan MK, apa yang menjadi jaminan bahwa putusan-putusan MK lainnya tidak akan diabaikan di masa depan? Hal ini berpotensi menyebabkan erosi kepercayaan publik terhadap institusi hukum, yang pada akhirnya melemahkan fondasi demokrasi kita.
Dalam dinamika politik yang bagaikan angin laut yang senantiasa berubah arah, langkah yang diambil Baleg tampaknya menyesuaikan layar untuk menangkap angin yang menguntungkan.
Dibalik ombak peraturan, ada bayangan sebuah nama yang sedang dipersiapkan untuk berlayar, menunggu saat yang tepat ketika usia menjadi sekadar angka. Di sinilah hukum, yang seharusnya menjadi kompas bagi arah bangsa, seakan dibelokkan untuk memastikan kapal tertentu dapat berlabuh di pelabuhan kekuasaan. Integritas dan demokrasi, sayangnya, terkadang tenggelam dalam gelombang kepentingan.
Ketika kita berbicara tentang pengawalan demokrasi dan supremasi hukum, sering kali beban ini seolah-olah hanya dibebankan kepada mahasiswa. Mahasiswa, dengan semangat mudanya, memang sering menjadi garda terdepan dalam menuntut keadilan dan menegakkan hukum. Namun, penting untuk diingat bahwa tanggung jawab ini tidak boleh hanya dibebankan pada mereka. Semua elemen masyarakat, termasuk akademisi, LSM, media, dan bahkan masyarakat umum, harus turut aktif dalam menjaga agar prinsip-prinsip demokrasi tidak dikhianati.
Kita tidak boleh terus-menerus mengambinghitamkan satu pihak saja, sementara yang lainnya diam dan membiarkan ketidakadilan terjadi. Jika kita semua takut dan membiarkan pelanggaran hukum dan demokrasi terjadi, maka kita sebenarnya turut serta dalam penghancuran demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah tanggung jawab bersama, dan hanya dengan keterlibatan aktif dari semua pihak, kita bisa memastikan bahwa keadilan dan hukum benar-benar ditegakkan.