Nirwan Arsuka, Bung Presiden Itu Wafat…

Nirwan Ahmad Arsuka (Foto: SastraIndonesia.com)

Oleh Adi Arwan Alimin

BUNG Nirwan merasa kikuk atas sapaan sebagai Presiden. Di Rumah Baca dan Museum I Manggewilu Teppo, Majene 28 Juni lalu, atau 40 hari silam, ia meminta dipanggil sebagai bang Nirwan saja. Namun tetap saja pegiat literasi memanggilnya sebagai Bapak Presiden Pustaka Bergerak Indonesia.

Nirwan Ahmad Arsuka meninggal dunia hari ini, Senin 7 Agustus 2023. 1 Agustus lalu di halaman Opini Harian Kompas dia menulis “Hilirisasi Budaya, Gelombang Nusa”, gagasan yang juga dibabar saat rahimahullah duduk bersama di atas lattang (lantai bilah bambu) bersisian dengan Sekda Kabupaten Majene, yang berada diantara kami.

Dalam majalah Tempo edisi Edisi Minggu 6 Agustus 2023, di rubrik Marginalia bung besar ini juga menulis esai berjudul Proklamasi Kedua. Dia mengurai megaproyek IKN bukan (hanya) sekadar pemindahan Ibu kota atau pengembangan real estase, tetapi bagian vital dari pembangunan nasional state. Ide yang mengelaborasi ide Presiden Jokowi mengenai IKN, dan kebangkitan budaya Nusa, yang dianalogikan seperti projek Apollo yang memiliki tujuan dan tidak sekadar sebagai kendaraan yang luar biasa mahal.

Dua esai penting yang mengayakan, dan benar-benar menunjukkan sarjana nuklir alumni UGM Jogjakarta ini bukanlah sosok biasa-biasa saja. Rahimahullah penulis kawakan dan berpandangan jauh. Nirwan merupakan esais yang memiliki riwayat padat dan berisi dalam puluhan buku lainnya, yang bertema sastra dan budaya. Dua Opini terkahir dalam sepekan ini seakan gumpalan kalimat selamat jalan dari gagasan-gagasan utamanya yang lain.

Impiannya untuk memasilitasi lebih banyak penulis-penulis muda lokal Mandar ke pentas lebih tinggi di kancah nasional, seolah semburan tanah dari skop menuju liang lahatnya hari ini. Itu mungkin metafora berlebihan, tetapi kita tidak akan menemukan kawan atau abang lebih mudah untuk diajak berpeluang memanggul buku-buku agar anak-anak di pelosok itu tidak kehilangan bacaan. Ibarat ini semata burai kesedihan atas kepergiannya.

“Lihatlah bintang-bintang itu. Di sana ada amat banyak rahasia juga ide-ide yang sebanyak di daratan Mandar ini…” katanya di haluan perahu TBink Pustaka Majene, 40 hari yang lalu. Saat itu malam sedang bagus-bagusnya hingga kita dapat memindai langit.

Nirwan mengatakan, dia tak habis pikir bila penulis dari Mandar akan mengatakan tidak memiliki ide dalam menulis. “Saya telah mempelajari Mandar ini, di sini amat banyak hal yang dapat menjadi gagasan besar agar dunia luar lebih mengenal daerah ini dari sisi karya-karya kreatif.” Meski pun Nirwan menyebut untuk melahirkan para penulis hebat tak seperti membalikkan sebelah tangan. Memerlukan kesetian, kesepian, dan proses kreatif dalam kesabaran tinggi.

Di TBink Kafe Majene, milik Ahmad Akbar, Presiden Pustaka Bergerak itu seolah ingin berlomba menikmati matahari terbit dengan kami. Lelaki yang banyak membantu atau memasilitasi pegiat literasi dari Sabang sampai Merauke ini, tidur di homestay sedang penulis mendirikan tenda di teras kafe yang kokoh di atas tebing kapur. Usai shalat subuh, diskusi kembali dimulai, dia memang tampak lelah dan sesekali meminta izin rehat. Tetapi tetap saja semangatnya selalu lebih besar. Sepagi itu dia digoda kudapan pagi khas Majene.

Keriangan pegiat literasi di Majene disambutnya dalam penerimaan sebagai kakak-adik. Sebelumnya pendiri Pustaka Bergerak itu berkisah bagaimana repotnya saat dijemput Thamrin Wai Randang, punggawa I Manggewilu dengan mobil pustaka bantuannya yang mogok karena radiator kering di Pangkep. Ia tertawa saja sebagaimana seorang abang pada juniornya.

***

Lalu ajal memang rahasia Allah. 40 hari silam dalam batas pertemuan amat bernas itu, kabar dukanya seperti kelebat pedang yang membabat tiang-tiang rumah pustaka, atau mendebik dada para pegiat literasi yang merasa sangat kehilangan.

Innalillahi wainna ilaihi rajiun… Nirwan Ahmad Arsuka meninggal dunia di RSCM Jakarta, hari ini. Ia menghembuskan napas terakhir yang bentang jaraknya 1.696 kilometer dari Jakarta ke tanah kelahirannya di Barru, Sulawesi Selatan. Sang Presiden lahir 5 September 1967 di Kampung Ulo.

Semoga segala jerih payahnya menjadi amal jariah. Selamat bang, Bung Presiden kami! (*)

Mamuju, 7 Agustus 2023