Catatan dari Bedah Buku H. Zikir Sewai
Oleh Adi Arwan Alimin
TOKOH diperhitungkan dari dampak dan pengaruh yang ditimbulkan semasa, atau selepas hidupnya. Itulah yang saya kemukakan di Rotan Polis Wonomulyo, 22 November kemarin, saat merespons berbagai pertanyaan peserta bedah buku H. Zikir Sewai: Saudagar Pejuang Provinsi Sulawesi Barat.
Acara ini terbilang ramai untuk even peluncuran buku. Saya melihat gedung milik H. Alibas Lika itu disesaki sedikitnya 200 orang, yang setia duduk hingga pertemuan ini berakhir. Halaman parkirnya yang luas pun dipenuhi puluhan roda empat dan motor.
Tokoh senior Dr. Rahmat Hasanuddin, inisiator acara H. Syahrir Hamdani, Kemenag Polman Imran Kaljubi Keza, Ansar Hasanuddin, juga putra mahkota H. Zikir Imaduddin hadir memberikan apresiasi, dan berbagai cerita mengenai kedekatan mereka pada sang tokoh.
Proses kreatif penulisan buku ini dimulai sejak tahun 2019, sebelum pandemi Covid sampai. Suatu hari saya ditemani paman yang juga sepupu, Syaifuddin Kadir Moha bertemu Haji Zikir di Griya Fajar Mas. Mantan Redpel Harian Fajar Makassar ini merupakan diantara sahabat putra Tande itu, yang juga pernah menulis kisah hidup Haji Zikir sebagai pengusaha. Syaifuddin mendorong saya menulis kiprah Zikir Sewai dalam perjuangan Sulawesi Barat.
Harapan itu memang sesuai amanah Dr. Rahmat Hasanuddin yang menugaskan saya untuk menulis tiga tokoh penting perjuangan Sulbar: H. Zikir Sewai; H. Kalman Bora; dan Haji Asly Kaduppa. Dua telah saya tunaikan. Tersisa biografi untuk Asly Kaduppa yang masih dalam outline.
Tiga sosok ini masing-masing hartawan yang sangat dermawan bagi perjuangan Sulbar. Saya tidak tahu berapa nilai materi yang telah mereka sumbangkan. Yang jelas Dr. Rahmat Hasanuddin sangat menghormati ketiganya sebagai para pejuang amat tulus.
“Mereka ini orang-orang yang saling merindukan satu sama lain. Bila ada acara, jika Haji Zikir telah hadir maka dia akan bertanya, ‘apakah Haji Kalman sudah datang.’ Demikian pula sebaliknya, jadi mereka ini orang-orang baik yang saling merindukan satu sama lain.”
Demikian Rahmat Hasanuddin, sang “Panglima Tanpa Bintang” ini menggambarkan teman-teman seperjuangannya sambil berkaca-kaca di Rotan Polis. Tokoh ini hadir langsung sambil ditopang tongkat. Saya sejauh ini melihat beliau selalu menangis bila membincang Sulawesi Barat.
Bagi Syahrir Hamdani, juru lobi perjuangan Sulbar di Senayan RI, penulisan buku para tokoh pejuang pembentukan Provinsi Sulbar merupakan usaha untuk merawat sejarah.
“Agar generasi muda kita mengetahui dan memahami mengapa Mandar ini harus kita perjuangkan, dan kini harus dirawat bersama,” ujar Syahrir Hamdani yang kini duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat.
Syahrir terlihat beberapa kali mengusap air mata setiap kali mendulang bagaimana kisah perjuangan bersama Haji Zikir. Kerabat atau generasi kedua Haji Zikir yang hadir juga dibenam rasa haru. Membincang kedermawan, atau ketulusan sosok Haji Zikir seolah seperti buih gelombang yang terus menyerbu sisi terdalam hati.
“Beliau melarang kami untuk mengambil apapun dari Sulawesi Barat, mungkin itu untuk menjaga moral perjuangan, dan amal baiknya…” sebut Mabsyud Dahlan Lidda Kamis (23/11).
Menulis kisah hidup Haji Zikir sejak masa belia hingga menjadi ruas penting dari perjuangan provinsi Sulbar tidak begitu pelik. Beliau masih hidup, saya pun telah mengenalnya sejak masa remaja di Wonomulyo. Keluarga besarnya di Kampung Jawa juga terbilang sangat dekat. Penulis beberapa tahun pun mengabdi di Pondok Pesantren Modern Lampoko yang didirikan Haji Zikir.
Kecuali, dua tahun terakhir ini setelah bab-bab bukunya menuju finishing, saya tidak dapat menyauk lebih banyak lagi kisahnya. Kesehatan tokoh kita ini cukup menurun, saya empat kali mondar-mandir ke Makassar untuk menemuinya, tidak pernah bertemu. Selalu selisih jalan.
Terakhir saya hanya dapat berbincang cukup lama dengan putrinya, Hajja Oda, mengenai kue pawa kesukaan Haji Zikir hingga bagaimana ketulusan ayahnya membantu orang lain. Baik yang dikenal atau tidak dikenalnya sama sekali.
***
“Kenapa orang-orang di sana sepertinya mau menjadi Towiwo, kenapa itu…” itu kalimat yang amat keras terdengar begitu saya berdiri di ambang pintu kamar Haji Zikir, saat menemuinya bersama Syaifuddin Kadir.
Saya melihat surat kabar Fajar dan Tribun berserakan di tempat tidurnya. Meski sudah mulai sakit, tetapi tahun 2019 itu Zikir Sewai masih mengikuti perkembangan Sulbar dari harian yang terbit di Makassar. Zikir termasuk pembaca yang ulet.
“Sulbar itu kita perjuangkan, kita dirikan bukan untuk menjadi sarang korupsi.” Beliau masih agak meledak begitu kami bertiga telah berada di ruang tamunya. Hari itu, Zikir bercerita panjang lebar bagaimana dia mulai merintis bisnis, hingga meninggalkan posisinya sebagai PNS di Majene.
“Saya mau jadi pengusaha, saya melihat jalan kesuksesan saya di sana…”
Haji Zikir sesungguhnya lelaki yang amat lembut sebagaimana tipikal orang-orang Mandar Tande dalam bertutur. Namun dalam konteks Sulawesi Barat, dia begitu marah. Zikir merupakan Ketua Tim Dana perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
“Beliau orang yang paling pantas marah,” sebut Imran Kaljubi Keza mantan punggawa Taji Barani Sulbar kepada penulis Rabu kemarin.
Buku Haji Zikir setebal 204 halaman yang diterbitkan Gerbang Visual ini tentu tak akan cukup menampung kiprahnya. Sejumlah peserta bedah buku juga meminta saya menambahkan materi bagaimana perhatian haji Zikir pada dunia pendidikan. Sebenarnya telah cukup panjang. Orang-orang banyak yang tidak tahu bahwa Zikir juga memberi ‘beasiswa’ pada puluhan atau ratusan mahasiswa Mandar di Makassar. Pesantrennya telah melahirkan ribuan orang dalam 30 tahun terakhir.
“Bapak memberikan bantuan uang semester atau biaya kuliah pada siapapun. Kadang saya bertanya apakah bapak mengenal orang-orang itu, jawabannya lebih banyak yang tidak mengenalnya. Makanya beliau bilang, kalau mau membantu orang banyak jangan menjadi PNS,” sebut Oda suatu hari di Makassar, percakapan ini tertera di buku ini.
Hal monumental lainnya yang diwariskan adalah Pasar Induk Wonomulyo, telah 40 tahun pasar ini berdiri sentra modern dalam urusan bisnis baik mikro maupun makro. Zikir hanya memerlukan persetujuan pemerintah kabupaten Polewali Mamasa di akhir 1970-an untuk menyulap pasar tradisional ini menjadi pasar modern di Sulawesi Selatan.
Kehadiran Haji Zikir meruntuhkan anggapan tidak adanya orang Mandar yang mampu mengubah dunia usaha di sekitarnya. Dia menjangkau Bantaeng, Bone, hingga Luwu. Figur papan atas ini mengekspansi Makassar dari Mandar, bukan sebaliknya. Dari sini kita telah melihat kelasnya sebagai begawan ekonomi paling utama di Mandar.
Di mata Dr. Suradi Yasil, lelaki bernama Haji Zikir ini figur paripurna sebagai manusia. Zikir menurutnya, telah meletakkan aspek peradaban penting di Mandar, pesantren itu akan menjadi kecambah bagi ilmu pengetahuan lainnya.
“Banyak orang yang kaya, banyak yang pengusaha di Mandar, tetapi tidak banyak yang memikirkan pendidikan. Haji Zikir tidak hanya berpikir untuk dirinya sebagai pengusaha, tetapi juga memikirkan peradaban manusia. Sukkuq-i sebagai manusia…” terang Suradi Yasil.
Buku ini sejatinya dibaca lebih banyak oleh generasi muda. Haji Zikir telah menjadi patron amat penting dari sisi ekonomi, kewirausahaan, dan kejuangan tanpa pamrih. (*)
Wonomulyo, 23 November 2023