Laporan : Nurliah Nuhun
ANGIN timur sudah berhembus selama sebulan lebih, menghampiri dua bulan. Seperti musim angin timur sebelumnya, para penduduk pesisir sepanjang Teluk Mandar sangat bergembira menyambut kedatangannya. Riuh hembusan angin pun tak mengalahi riuh semangat dan bahagia warga, tanpa mengenal laki-laki, perempuan, dewasa atau pun anak-anak.
Tiupan angin timur yang menyelinap ke sela-sela jendela para nelayan seakan menghembuskan pundi-pundi rupiah. Bulan angin timur, atau di Mandar lebih dikenal dengan istilah Wattu Timor, tui-tuing akan melakukan pembuahan sampai pada proses bertelur. Sehingga para nelayan setempat akan memanfaatkan musim tersebut untuk Motangnga. Yaitu, perburuan “Tallo Maraqdia” atau telur ikan tui-tuing. Nelayan menyebut nama ikan tersebut menjadi Maraqdia sebagai bentuk penghargaan, yang juga diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai ikan terbang.
Perburuan telur ikan ini dilakukan oleh masyarakat pesisir di Teluk Mandar. Khususnya di Dusun Bala II, Dusun Tallo Timur, Desa Bala, Kecamatan Balanipa, dan Desa Tangnga-Tangnga, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar.
Musim ini berlangsung sekali dalam setahun dengan kurun waktu 3-4 bulan. Tui-tuing di Mandar sangat diagung-agungkan sebagai makhluk yang memiliki derajat yang sangat tinggi, bahkan mendapat perlakuan selayaknya seorang manusia atau dikenal dengan istilah dipamatau I na dzi pa makaka.
“Lewaq mariota muaq pole mi angin timor, na sawa’ mua ita’ di’e, dipayari pa’barassangta to mi ita’ di’o sangana potangngangan, iyya tu’u na lewa’ dihargainna’, (Kami sangat bergembira ketika musim angin timur datang, kita jadikan sebagai sumber penghasilan yang disebut Motangnga, atau perburuan Telur Ikan Terbang sehingga kami sangat memuliakannya),” ungkap Alimin (50), salah seorang nakhoda kapal yang melakukan perburuan telur ikan terbang.
Lelaki yang memulai profesi sebagai nelayan sejak usia 20 tahun itu, mengungkapkan dengan raut wajah yang sangat bahagia. Ia menjelaskan dengan penuh semangat, Tui-tuing atau ikan terbang memang patut dihargai sebab dianggap sebagi lumbung beras.
Banyak yang menarik dalam proses perburuan telur ikan tui-tuing tersebut. Mulai dari persiapan keberangkatan sampai para nelayan kembali ke daratan.
Saat angin timur berhembus pertama kali, para nelayan tidak akan langsung melakukan poses perburuan, sebab dipercaya oleh masyarakat setempat, pada waktu itulah Tui-tuing atau mara’dia, baru saja melakukan ritual Meuri’ (baca; meuri’ adalah ritual syukuran penyambutan kelahiran di usia kandungan 8 bulan dalam siklus kehamilan manusia). Pada fase itulah para nelayan akan mempersiapkan alat-alat perburuan baik yang sifatnya tradisional atupun modern, serta logistik atau keperluan ransum selama melakukan perburuan di laut lepas.
Sebelum itu, punggawa atau nakhoda akan terlebih dahulu mencari hari yang baik untuk berangkat, dengan petunjuk tetua yang memiliki kekuatan spritual. Hal ini dilakukan juga sebagai bentuk ikhtiar agar tetap mendapat keselamatan mengingat pelayaran untuk berburu telur ikan tui-tuing di tengah laut lepas adalah pekerjaan yang penuh resiko.
Setelah mempersiapkan segala kebutuhan, tibalah saat keberangkatan. Perburuan telur ikan tui-tuing biasanya berlangsung lebih kurang 10 hari satu kali berangkat. Waktu yang ditempuh disesuaikan dengan hasil tangkapan para nelayan, juga kebutuhan dapur para nelayan.
Dewasa ini, perburuan telur ikan tui-tuing dilakukan dengan menggunakan kapal motor. Jika para pendahulu menggunakan perahu Sandek atau Sandeq, sekarang para nelayan menggunakan kapal motor dengan kapasitas tumpangan yang lebih banyak, hal tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman yang banyak memanfaatkan alat-alat modern, seperti penggunaan genset pada kapal motor.
Biasanya dalam satu kapal motor ditumpangi oleh 6-8 orang, termasuk nakhoda dan anak buah kapal serta koki untuk nelayan junior atau yang masih dalam proses belajar. Selain genset, alat yang modern yang digunakan adalah GPS, untuk mengukur jarak tempuh dari daratan serta untuk mendeteksi transportasi laut yang sedang beroperasi.
Tetapi, alat-alat yang digunakan untuk berburu masih sangat tradisonal. Epe’-epe’ dan gandrang adalah dua alat paling utama, yang digunakan, kedua alat tersebut sengaja dibuat untuk memudahkan proses bertelur ikan, karena tui-tuing hanya akan bertelur di perairan yang memiliki penyanggah, seperti rumput laut ataupun sampah yang mengapung di tengah laut, maka dibuatlah epe-epe’ dan gandrang yang akan memudahkan penangkapan.
Seperti ungkap Husain (27) salah satu ABK KM. Juru Alam saat bercengkrama lepas di kapal motor yang ditumpanginya itu, “yang penting dian na pettallo’I tia bau, biasami lao di roppong-roppong manus, biasa lalo mau pampers na pettallo’I toi.” (baca : Ikan terbang bertelur di barang apa saja yang mengapung di laut, tidak terkecuali sampah yang dibuat ke laut misalnya pampers, biasa juga ditempati bertelur)
Epe-epe’, terbuat dari daun kelapa yang sudah agak tua berfungsi sebagai tempat bertelur ikan, sedang gandrang terbuat dari belahan bambu yang dibentuk menyerupai gendang, tempat ikan tui-tuing bersarang atau bertelur. Epe-epe’ dan gandrang akan dipasang di tempat-tempat tertentu, nantinya akan diperiksa setiap hari, untuk memastikan apakah ada tui-tuing yang bertelur atau tidak. Hal ini dilakukan, karena telur ikan yang tinggal beberapa malam di laut akan berubah warna menjadi kecoklatan, tentu mempengaruhi kualitas dan harga jual.
Selama proses perburuan, ada banyak rintangan ataupun anjuran bagi para nelayan. Termasuk pengalihan atau perubahan bahasa, hal ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap tui-tuing yang diperlakukan sebagai Mara’dia. Salah satu hal yang tidak boleh dilakukan dalam perburuan telur ikan tui-tuing adalah, penggunaan bahasa andang diang (tidak ada), pessorongo’ mating (minggir), maka bahasa-bahasa tersebut akan diganti ke dalam bahasa lain, andandiang yang merupakan bahasa Mandar akan diganti ke bahasa lain, seperti Masempo (bahasa bugis) atau No (bahasa inggris), yang juga memiliki arti yang sama.
Lalu kalimat, pessorongo’ mating akan diplesetkan menjadi pessorongo’ mai yang artinya, mendekatlah. Selain, kalimat-kalimat di atas, menyebut sia (garam) pun dianggap sebagai pamali, maka penyebutannya akan diganti menjadi tappung (bedak), karena ikan tui-tuing yang ditangkap bersamaan dengan telur ikan akan dibaluri dengan garam, maka disebut sebagai bedak.
Terlepas dari larangan-larangan penyebutan kalimat dan kata, ada satu hal yang paling menarik. Yaitu, anjuran untuk berbicara atau bercerita tentang hal-hal yang berbau (maaf) pornografi saat melakukan perburuan. Hal ini dipercaya oleh para pendahulu yang juga turun-temurun pada generasi, sampai pada hari ini, bahwa hal tersebut akan meningkatkan hormon seksual pada tui-tuing, sehingga memancing persetubuhan antara tui-tuing betina dan jantan.
“Naolo’i Mara’dia carita macca, apa iyya dzi’o mara’dia, rapangi tau tosipowali, towaine anna tommuane. Jadzi semata carita macca diakke’ dai, supaya semata marasa toi tia siwalinna, mala ai lao semata ma’di napettalloan,” tutur Ismail (28), memang cukup menggambarkan bagaimana tui-tuing memang dianggap sebagai manusia.Ini mungkin agak lucu, tapi demikianlah keunikan perburuan telur ikan yang memiliki banyak ussul dan pemali.
Dalam satu kali perburuan yang berkisar lebih kurang 10 hari itu, para nelayan dapat memperoleh telur ikan sebanyak 30-100 Kg, serta ikan tui-tuing ratusan ekor. Telur ikan tui-tuing ini akan dijual kepada pengepul dengan harga yang lumayan tinggi, hampir setiap minggu harga telur ikan tui-tuing mengalami peningkatan yang sangan pesat.
Untuk ikan tui-tuing sendiri, biasanya para nelayan akan membagikan pada para tetangga. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi para nelayan karena dapat membagikan ikan hasil tangkapannya kepada para tetangga. Barulah, ketika para tetangga telah mendapat bagian, sisa ikan tersebut akan dijual meski dengan harga yang murah.Sejenak meninggalkan cerita unik dan kebahagiaan para nelayan di musim potangngangan, penulis juga mencoba menguak sisi duka saat melakukan pelayaran di tengah hempasan angin timur yang tak segan-segan berhembus kencang. Ada rasa iba saat mendengar kisah-kisah yang sulit untuk mereka utarakan tapi tetap terucap dengan raut tanpa beban.
“biasai tau meapi lai’ di lolangan nakayyang sannal lembong peangin toi, diakke’I balenga ta sambil dipeapi, apa’ ti sewo-sewo’lomeangi tu’u wainna mua’ andani diakke,” ucap Alimin yang menakhodai Juru Alam. (baca : Kita sementara memasak di kapal, kadang-kadang belanga itu diangkat, karena ombak besar sekali, juga angin yang kencang, karena kalau tidak diangkat airnya bisa tumpah).
Tidak akan mampu terbayangkan, bagaimana peliknya menghadapi deras arus ombak laut dan angin kencang yang kerap tak memberi ampun. Para nelayan hanya akan mengganjal perutnya dengan jepa-jepa, cemilan yang terbuat dari ubi bercampur kelapa.
“Biasai toi tu’u mua’ andan le’ba’ bomi mala diapa angin sekali andani tau meapi, sangga’ jepa-jepa tappa’ mo diemai lao dilopi, pangganjal are, (baca:Biasa juga kalau sudah tidak bisa dilawan angin pada saat mau memasak, maka kita hanya makan jepa-jepa, sebagai pengganjal perut)” lanjut Alimin, tanpa rautan sedih di wajahnya.
Demikianlah tangguhnya para pelaut Mandar yang tak tertandingi serta tersohor ke mana-mana. Seperti petuah para leluhur takkalai disombolang dotai lele rapu dadzi na tuali di lolangan. Sekali layar terkembang, pantang surut ke pantai.
Mengakhiri cengkrama penulis dengan para awak KM. Juru Alam, Saruddin yang baru berusia 18 tahun dan merupakan ABK termuda meski bukan terjunior memberi kalimat penutup dengan senyum ciri khasnya. “Kebahagiaan pelaut banyak yang tahu, tapi kesusahan pelaut tidak semua orang mengetahuinya.”