Akan ke Mana Warga Aholeang-Rui?

Oleh: Wahyudi Muslimin

Matahari merangkak ke ufuk barat menunjuk pada angka setengah empat Waktu Indonesia Tengah. Tim relawan NPC, Selasa, 2 Februari 2021 bergerak melakukan Assesment pada warga Aholeang dan Rui.

Kebun sawit yang ada di Dusun Samalio, Desa Mekkatta menjadi saksi kisah hidup mereka saat ini. Satu kesyukuran kami karena kamp ini tertata rapi nan bersih, tenda-tenda pengungsian berbaris meninggi.

Sebelumnya relawan Nusantara Palestina Center (NPC) telah memberikan bantuan berupa tandon air lengkap kran dan pipanya, juga didistribusikan kabel untuk penerangan tenda-tenda mereka, tim NPC sendiri yang memasang.

Lukbin, lelaki muda pengusaha kemiri di Aholeang menyebutkan bahwa tidak ada harapan untuk bisa kembali bermukim di sana. Usahanya luluhlantak oleh gempa. Saat lindu ia berlari hanya bercelana kolor tak berbaju meninggalkan harta bendanya.
“Saya tidak menggunakan baju saat malam itu, hanya menggunakan celana kolor, dan hanya itu yang saya bawa dari rumah bersama anak dan istri saya,” kisahnya sambil menatap fotokopian KK-nya.
Anaknya tiga orang, laki-laki 2 tahun dan 7 tahun serta satu anak perempuan yang sudah di Sekolah Dasar kelas 5.

Saat tim NPC mengasesment, ia rupanya tidur beralas papan nama sebuah lembaga yang disanggah potongan kayu kering, dan beberapa daun sawit.

Begitu pula dengan Adi yang ketika diassesmen diwakili istrinya, saat ditanya soal kembali ke Aholeang, menyebutkan bahwa tidak ada harapan lagi.

Dapur rumahnya yang sudah hampir jatuh ke jurang membuat matanya nanar seperti mengenang malam mencekam saat alam menunjukan kekuatannya.

“Saya tidak bisa kembali, dapur rumah terpisah dari badan rumah, kalau ada longsor lagi, mungkin akan jatuh ke bawah,” ungkapnya sambil mengusap kepala anak perempuannya, berumur 17 bulan yang sedang bermain bersama kucing kecil.

Lain halnya dengan Hasan, lelaki bertubuh gempal berambut ikal sedang memperbaiki tiang penyanggah tenda dari terpal. Beralas separuh tanah dan separuh plastik berdebu dan beberapa potongan dus saat NPC menyambanginya.
Hasan memiliki putra berumur 30 tahun namun cacat mental. Dan seorang lelaki lagi yang baru tamat sekolah kejuruan.

Berbeda dengan Hasan, dia mau kembali tapi dengan syarat dia tidak sendiri, ada warga lain yang mau mengikutinya. Alasannya karena di sanalah dia memperjuangkan hidupnya.

“Kalau saya pak, mau kembali bila ada warga lain yang mau kembali, tapi kalau sendiri tidak mungkin pak saya tinggal sendiri di kampung itu,” ujarnya tertawa kecil menunjukan giginya yang mulai menua.

Ketika kami menanyakan perihal data keluarganya dia lalu menyodorkan KK yang berisi nama anak Kasman yang memiliki cacat mental dan Kasmin yang sudah tamat sekolah kejuruan.

Hampir semua warga yang tinggal di kamp Aholeang-Rui tidak mau kembali ke sana.
Dua hari pasca gempa salah seorang guru sekolah dasar menuturkan kisahnya kepada NPC.

“Dua hari pasca gempa kami di sini, dalam satu tenda, berdempet, terkadang bila hujan berhenti, kami sebagian laki-laki harus keluar untuk memberikan tempat bagi anak-anak,” ungkapnya sambil menunjuk tenda memanjang di samping kiri jalan ketika masuk ke kamp.

“Kalau pun kita mati di sini, maka biarlah tempat ini yang menjadi kuburan massal kita semua,” ujar Rasyid sambil menengadah ke atas.

Menurutnya sudah ada penyampaian dari pihak pemerintah setempat terkait relokasi warga kampung Aholeang-Rui yang sudah tidak mau kembali ke asal mereka, namun belum kelar urusannya sampai hari ini, sementara di bawah pohon sawit itu mereka masih terus memperjuangkan hidup mereka dengan menanam kangkung cabut, itu adalah langkah maju yang dibuat warga Aholeang-Rui saat ini.

“Ada betul yang disebut relawan, bila tidak ada relawan, maka bisa jadi kita di sini akan mati kelaparan atau mati kehausan,” lenguh Sarbidin kepada NPC.

Puluhan KK ini akan ke mana? Perjalanan itu sedang bergerak di sini.