Terkait Penceramah “Radikal”

Oleh Yanuardi Syukur*

Polemik pembatalan kajian Ramadhan di PT. Pelni menarik banyak pihak. Saya ingin melihatnya dalam beberapa sudut sebagai bentuk kontribusi untuk mencari titik temu demi hadirnya suasana kebangsaan yang hangat, dialogis, saling percaya, dan berorientasi hidup bersama dalam kerangka bhinneka tunggal ika.

Pertama, apa alasan mendasar dibatalkannya acara tsb? Jika alasannya karena soal administrasi–tidak ada izin/koordinasi dari pegawai dgn direksi–berarti ke depannya Badan Kerohanian Islam (Bakis) PT. Pelni tetap dapat mengundang para penceramah tsb dgn terlebih dahulu mendiskusikan atau meminta izin dari direksi.

Polemik yang beredar, termasuk dari pernyataan komisaris independen Pelni, ini terkait dgn pegawai (internal), bukan soal penceramah. Jika bukan karena penceramah, berarti tidak masalah jika ke depannya Pelni juga mengadakan acara dgn mengundang para penceramah tsb.

Sebagai pecinta Pelni, sejak kecil sampai dewasa saya senang naik Pelni, dan dakwah di kapal Pelni juga banyak diisi oleh para asatidz yg sangat beragam. Walaupun ada penceramah rutin, tapi jemaah kapal juga antusias untuk menyampaikan ceramahnya, bahkan ada yg membuat semacam lingkaran kecil untuk diskusi berbagai topik menarik. Di bulan Ramadhan, terutama, di kapal Pelni terus nikmat jika mengikuti kajian yang beragam tsb. Itu suasana di kapal.

Adapun yang menjadi polemik saat ini adalah kajian di udara, atau di “kapal maya”, yakni zoom, via online dgn tema “Ramadhan memperkuat dan memperteguh iman.” Saat ini tidak bisa dimungkiri bahwa para penceramah yang ingin dihadirkan Bakis Pelni adalah penceramah kondang yg diminati cukup banyak netizen.

Youtube Ust Firanda Andirja dgn subscriber 428ribu telah posting 1422 video dgn tema akidah, bahasa Arab, fikih, pernikahan, tafsir, kiat hidup, serta tanya-jawab. Dalam diskursus dakwah Islam kontemporer, nama Firanda–yang ditakdirkan tidak berjenggot lebat sebagaimana penceramah lainnya–terlibat dalam debat dgn beberapa penceramah lainnya. Firanda lahir di Surabaya (1977), alumni Universitas Islam Madinah, narasumber Radio Rodja, dan pakar studi terkait Ibnu Taimiyyah. Selain itu, Firanda juga narasumber di Masjid Nabawi sejak 2012, dan terlibat polemik dgn berbagai tokoh. Dalam tradisi Islam, polemik dan kritik merupakan hal yg biasa, bahkan dapat memperkaya pengetahuan, bahkan dpt menjadi salah satu untuk mencari kebenaran. Misalnya, yg masyhur kritikan Imam Al-Ghazali terhadap terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi dalam masalah teologi dalam kitabnya “Tahafut Al-Falasifah” yg kemudian dibalas Ibnu Rusyd dgn kitab “Tahafut At-Tahafut.” Perdebatan intelektual seperti ini patut untuk dibudayakan dalam konteks para sarjana muslim, agar tidak sekedar berhenti dlm bentuk ceramah-ceramah pendek.

Ust Syafiq Riza Basalamah punya subscriber lebih banyak, 943ribu dgn 2769 video dgn ceramah yg hampir sama, terkait akidah, fikih, dan tanya jawab. Salah satu alasan mengapa netizen kontemporer senang dgn beliau–dan beberapa penceramah lainnya–adalah karena ia menguasai bahasa Arab dgn baik, berpendidikan dari kampus Islam seperti LIPIA dan Universitas Islam Madinah. Ust Syafiq (lahir asli di tanah Jawa, Jember 1977) juga penulis buku prolifik beberapa topik seperti tokoh Al-Irsyad Syekh Ahmad Surkati, dan topik lainnya seperti “Andai Aku Tidak Menikah Dengannya”, “Rumahku Masih Ngontrak”, “Mimpi Bertemu Nabi”, “Bersama Keluarga Masuk Surga”, dan “Berbekal Setengah Isi Setengah Kosong.”

Ust Cholil Nafis dgn subscriber 2,95ribu telah posting 249 video dari berbagai rekaman di stasiun TV dgn topik secara umum tentang Islam dan kebangsaan. Beliau juga tidak hanya dikenal sebagai Ketua MUI Bidang Dakwah, tapi juga membangun Pesantren Cendekia Amanah di Depok yg salah satu bisnisnya adalah tanaman hidroponik yg sangat menarik dan prospektif. Kiai Cholil adalah ulama muda NU dgn segmen umat yg cukup banyak. Selain dikenal humoris, ia juga pandai menyampaikan Islam dgn cara-cara yg mudah bagi publik. Ahli ekonomi syariah, alumni LIPIA, dan PhD-nya di Universiti Malaya, Kuala Lumpur.

Sementara itu, Ust Rizal Yuliar Putrananda dgn subscriber 2,98ribu telah posting 93 video dgn tema seperti kajian kitab, melawan kemalasan, optimis, adab, dan tema-tema terkait kepribadian muslim. Namanya memang tidak begitu populer ketimbang Ust Syafiq atau Ust Firanda, akan tetapi ia mulai mendapat tempat di netizen. Metode ceramahnya juga tidak lepas dari tanya-jawab sebagaimana yg umum saat ini. Metode ini dulu dipraktikkan oleh banyak ulama Indonesia, salah satunya Tuan A. Hassan (w. 1958), ulama keturunan Indonesia-India, kawan debat Bung Karno (mereka ketemu pertama saat cetak surat kabar/buku di Bandung) dalam bukunya “Soal-Jawab”. Murid Tuan Hassan sangat banyak, beberapa di antaranya adalah Mohammad Natsir, KH. M. Isa Anshori, KH. E. Abdurrahman, dan KH. Rusyad Nurdin.

Sedangkan ceramah Ust Subhan Bawazier berkisar tema seperti “be the winning father”, “cara hidup bahagia”, dan berbagai kisah teladan dan inspiratif untuk pribadi muslim. Subhan juga membahas topik seperti “perjalanan ke surga”. Ia juga jadi pembimbing haji dan umroh, dan hobi mengendarai moge (motor gede). Hobi moge itu bukan hanya buat touring, tapi juga dia gunakan untuk dakwah. Sebuah gaya dakwah yg menarik, keluar dari pakem umum pendakwah yg hanya lihai di atas panggung.

Amatan saya, para penceramah itu juga menyampaikan dakwah yang memikat netizen sehingga banyak yg menonton, berilmu sebab menguasai banyak dalil secara fasih, dan terang: mereka anti-terorisme, bahkan sering bermitra dgn para pihak untuk melawan pemikiran terorisme. Memang, ada di antara mereka yg pernah dakwahnya dihalangi/ditolak, seperti Ust Firanda, tapi ia juga diterima di tempat lain, bahkan dalam pengawalan aparat kepolisian.

Di antara mereka tidak ada yg pro-terorisme. Mereka juga mendukung pemerintah, namun sifat kritis dlm hal-hal tertentu merupakan sesuatu yg lumrah bagi seorang penceramah. Lagipula, tidak ada yg salah dalam sikap kritis, apalagi yg menyangkut kebijakan dan hajat hidup orang banyak. Itu bahkan memperkaya kebijakan sekaligus kontrol bagi pejabat publik.

Kedua, jika ternyata yg menjadi ganjalan acara tsb adalah para penceramah, maka di sini butuh kajian mendalam dan dialog untuk mempertemukan pandangan. Sudahkah misalnya, Pelni meneliti sosok para penceramah tsb dalam pemikiran dan gerakan dakwahnya? Dari berbagai sumber, sesungguhnya dapat dilihat bahwa mereka tidak ada yang mengajak pada perlawanan terhadap negara, teror, atau sejenisnya. Yang ada, mereka konsen pada dakwah Islam dgn konten yg menarik, dan oleh MUI sendiri tidak dianggap menyimpang. Jika menyimpang, sudah tentu MUI akan menyebutnya sebagai penyimpangan.

Pertanyaan penting juga: apa sebab para asatidz tersebut digemari banyak orang? Ada banyak faktor. Selain kedalaman pengetahuan yg didapatkan dari pendidikan di dalam dan luar negeri serta pengamalan, para penceramah itu juga aktif berdakwah yg dakwahnya disebarkan oleh para pengikutnya secara massif. Mereka juga menjadi semacam “oase” bagi sebagian umat Islam yg ingin menjadi saleh di tengah peningkatan “gerakan kesalehan” secara nasional dan global.

Gerakan kesalehan itu terlihat dalam berbagai fakta seperti merebaknya muslimah berjilbab dalam berbagai profesi, gelombang hijrah para tokoh muda (seperti artis) yg kemudian berdampak pada pengikutnya, tumbuhnya kesadaran personal bahwa yg dibutuhkan saat ini tidak hanya “smart”, tapi “smart+saleh” dlm satu tarikan nafas. Dalam ekonomi, tumbuhnya berbagai halal industry bahkan menjadi perhatian negara. Di negara luar–yg mayoritas non-Muslim–juga mulai berkembang perhatian pada bisnis syariah yg dirasakan penting dan punya market. Bahkan dalam politik dan hubungan internasional, perhatian pada “peran agama/tokoh agama” juga menjadi bagian penting dlm people-to-people diplomacy sebuah negara.

Gelombang kesalehan itu menurut saya tidak perlu dikhawatirkan karena sesuatu yg lumrah saja seiring dengan perkembangan dakwah yg mengglobal, dan meningkatnya peran umat Islam dalam berbagai sektor hajat hidup orang lain. Doktrin Islam rahmatan lil’alamin, bermakna Islam yang menjadi rahmat, atau kebaikan bagi segala alam: manusia, hewan, tumbuhan, atau singkatnya planet dan semesta ini, dst. Maka, peran-peran kemaslahatan berbasis agama itu belakangan menguat oleh berbagai komunitas.

Yang menjadi problem sesungguhnya bukan gelombang kesalehan tapi pemikiran ekstremisme atau yang diistilahkan sebagai ghuluw (berlebih-lebihan) yg jumlahnya tidak banyak namun bisa bertambah salah satunya sebab ketidakadilan. Dalam semua segmen, yang namanya berlebih-lebihan itu kontraproduktif. Makan durian misalnya, itu tidak masalah, bahkan nikmat seperti durian montong, tapi kalau berlebih-lebihan juga bisa jadi masalah.

Untuk melawan pemikiran ghuluw tsb maka para ulama dalam Komisi Dakwah MUI (salah satu tokohnya KH. Cholil Nafis yg saat ini menjadi Ketua MUI Bidang Dakwah) bersepakat untuk mengangkat wasathiyyatul Islam dgn nilai-nilai seperti: tawasuth (mengambil jalan tengah), tawazun (berkeseimbangan), i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter non-diskriminasi), syura (musyawarah), ishlah (reformasi), tathawur bainal ibtikar (dinamis, kreatif, dan inovatif), dan tahaddhur (berkeadaban).

Nilai-nilai tsb sesungguhnya seiring sejalan dgn nilai-nilai Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Jika ada penceramah, atau masyarakat yang keluar dari nilai-nilai tsb maka dapat diselesaikan lewat jalur musyawarah terlebih dahulu, atau yang berkekeluargaan. Dialog dalam hal ini sangat penting. Jika dialog atau musyawarah tidak menemukan titik-temu maka bisa dilanjutkan pada langkah hukum. Orang Indonesia seharusnya berkarakter seperti itu.

Dalam konteks kajian PT. Pelni, dalam pandangan saya, jika ada pegawai yang terindikasi tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila atau turunannya–aturan perusahaan–maka sebaiknya diselesaikan dgn dialog dan musyawarah terlebih dahulu. Harus ada upaya saling kerja sama untuk itu. Bisa jadi, pencopotan yg terburu-buru itu karena tidak ada ta’aruf (saling kenal). Urutannya, orang bisa kerjasama (tafa’ul) jika telah ada ta’aruf (saling kenal) yang dilanjutkan dgn tafahum (saling memahami). Apa yg do’s dan dont’s patut untuk terus dihadirkan sebagai kultur perusahaan di tengah berbagai disrupsi yg terkadang ada saja sedikit salah-salahnya karena berbagai faktor. Prinsipnya: dialog dan tidak terburu-buru.

Satu hal lain yg cukup menarik bagi saya adalah: jika ada problem internal, kenapa informasi tsb tidak disampaikan lewat akun resmi perusahaan? Ya, saat ini dgn hadirnya medsos, orang merasa otonom dan berhak untuk bicara, akan tetapi urusan internal seharusnya disalurkan informasinya lewat akun resmi, bukan lewat akun personal.

Upaya untuk memahami polemik kajian PT. Pelni ini penting untuk kita bahas agar suasana kebangsaan kita berjalan dlm kultur dialog, musyawarah, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Dialog adalah nilai luhur bangsa Indonesia yg patut untuk terus dihadirkan. Dalam dialog ada saling pengertian, saling mencari titik temu, dan saling menghormati untuk kemaslahatan bangsa.

*Mantan Ketua FLP Sulsel, Kandidat Doktor Antrolopologi UI, dan Presiden Rumah Produktif Indonesia