

Pesona Cakkuriri Bukanlah Ritual Adat
#Tanggapan Surat Peryataan Muhammad Ali
Oleh: Darmansyah
(Ketua MSI Sulawesi Barat)
TULISAN ini dimaksudkan sebagai ajang silaturrahmi untuk pengembangan khazanah pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan Mandar.
Berdasarkan surat pernyataan Muhammad Ali, Kepala Pappuangang Adat Kaiyyang Sendana Mandar dengan Nomor: 01/L.A-P.P.S.M/VIII/2017 (29/8/2017). Begitu pun dengan surat susulan yang ke dua (09/8/2017) ditujukan kepada Bupati Majene, Ketua DPRD kab. Majene, Kapolres Majene, Dandim 1401 Majene, Camat Sendana, Kapolsek Sendana, kepala desa/lurah se kecamatan Sendana dengan Nomor: 02/L.A-P.P.S.M/IX/2017 Perihal pernyataan keberatan.
Selaku Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Sulawesi Barat ingin memberikan tanggapan.
1. Bahwa dalam sejarah dan kebudayaan Mandar, khususnya di Kerajaan Sendana, tidak pernah dijumpai lembaga adat yang bernama âKepala Papuangang adat Kaiyyang Sendana Mandarâ, kecuali kalau ingin mendidirikan lembaga adat yang baru.
Yang ada adalah âPappuangang Puttada,” status Pappuangang Puttaâdaâ dan Maraâdia Tallambalao dalam Kerajaan Sendana merupakan Ketua (Rarung) dari Sembilan anggota lembaga adat lainnya.
Untuk jelasnya kami tuliskan sturuktur pemerintahan Kerajaan Sendana. Kepala Negara disebut Maraâdia (raja). Pejabat kerajaan yang membantu Maraâdia dalam urusan pemerintahan, Maraâdia Matoa, (Koordinator Urusan Pemerintahan di dalam dan di luar istana), Maraâdia Malolo, (Koordinator Urusan Pertahanan dan Keamanan, merangkap sebagai Panglima Perang), Suro Tannipasang, diplomat berkuasa penuh di kerajaan (Menteri Dalam Negeri), Suro, koordinator urusan hubungan masyarakat di dalam dan di luar kerajaan (menteri luar negeri), Andongguru Joaâ Matoa, Andongguru Joaâ Passinapang, Andongguru Joaâ Paâburassang, Andongguru Joaâ Pakkamusu. Andongguru mengoordinasi Joaâ (laskar/pasukan) dan kesemuanya di bawah komando Maraâdia Malolo, Soâboâ (mengurus bidang kelautan/perikanan, pertanian, kehutanan dan peternakan), Sando (mengurus bidan kesehatan), dan lain sebagainya.
Ada juga Totallu Banua daerahnya, Poniang, Tunu Ballaâ kelak menjadi Tunu Bulang, Karemaâ. Totallu Banua bertugas menghibur Kerajaan Sendana dan mengusung usungan mayat Raja Sendana bila Raja mangkat.
Anggota Lembaga Adat (Legislatif),
a. Paâbicara Kaiyyang (Koordinator lembaga hadat).
b. Pappuangang Puttaâdaâ â rarung (ketua lembaga adat di wilayah kerajaan Sendana bagian selatan).
c. Maraâdia Tallambalao â rarung ( ketua lembaga adat dibagian utara kerajaan Sendana).
d. Maraâdia Limbuaâ â bannang (anggota lembaga hadat).
e. Paâbicara Tangga â bannang (anggota lembaga adat).
f. Maraâdia Onang â bannang (anggota lembaga adat).
g. Maraâdia Tubo – bannang (anggota lembaga adat).
h. Paâbicara Kenjeâ – bannang (anggota lembaga adat).
i. Tosibawa Adaâ di Limboro Rambu-Rambu-bannang (anggota lembaga adat).
Selain anggota lembaga adat di atas, ada juga yang disebut dengan Anaâ Aanua. Anaâ Banua terlibat dalam pemilihan calon pemangku hadat di daerah masing-masing Tetapi tidak terlibat dalam musyawarah adat dalam rangka memilih, mengangkat dan memberhentikan Maraâdia Sendana. Anaâ Banua itu masing â masing dengan pemimpinnya. Mosso dengan Maraâdia Mosso, Soba dengan Maraâdia Soba, Aweâ dengan Pappuangang di Awe, Pamenggalang dengan Maraâdia Pamenggalang, Banua Bawi dengan Maraâdia Banua Bawi, Talonggaâ dengan Pueâ di Talongga, Lemo dengan Pueâ di Lemo, Puttanoeâ (Awoâ) dengan Maraâdia Puttanoeâ yang kelak menjadi Tomanjannangi di Awo, Buya dengan Puatta di Buya, Kulasi dengan Pappuangang di Kulasi, Balangngitang dengan Pueâ di Balangngitang; dan Salutambung dengan Pueâ di Salutambung.
Yudikatif Paâbicara Parrattas bertugas disamping sebagai penasehat raja dalam bidang hukum, Paâbicara Parrattas juga bersama dengan Puang Kali yang dibantu oleh Imam, Katte, Bidal dan Doya menjalankan hukum dan tugas keagamaan.
Sekali lagi, bahwa dalam sturuktur pemerintahan Kerajaan Sendana tidak pernah dijumpai anggota lembaga adat âKepala Pappuangang Adat Kaiyyang Sendana Mandar atau Adat Laut yang Kepala Papuanggang Puttada Sendana Mandar.â
2. Bahwa kegiatan yang akan diselenggarakan oleh Panitia Pelaksana âPesona Cakkuririâ adalah menggali dan menampilkan nilai-nilai budaya yang dapat ditumbuhkembangkan dalam masyarakat. Berupa kearifan lokal yang dapat diyakini sebagai identitas, jati diri, pemersatu dan perekat masyarakat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 32 ayat (1).
Bahwa âNegara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Begitu juga dalam Tap MPR Nomor: II/MPR/1993 menegaskan bahwa âPembinaan dan pemantapan kepribadian bangsa senantiasa memperhatikan pelestarian nilai luhur budaya bangsa yang bersumber pada kebinekaan budaya daerah dengan tiada menutup diri terhadap masuknya nilai positif budaya bangsa lain untuk mewujudkan dan mengembangkan kemampuan dan jatidiri serta peningkatan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyelenggaraan pembangunan harus dapat meningkatkan kecerdasan dan nilai tambah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka percepatan proses pembangunan dengan merujuk pada nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.”
3. Kegiatan yang akan diselenggarakan oleh panitia pelaksana Pesona Cakkuriri bukan dalam rangka Pelantikan Raja (Maraâdia) Sendana, Tidak akan mengibarkan Bendera Cakkuriri, tidak akan menyentuh keris pusaka I Poâga, tidak akan melakukan kegiatan ritual adat lainnya. Kegiatan yang akan diselenggarakan oleh panitia pelaksana Pesona Cakkuriri, seminar sejarah dan kebudayaan, lawatan sejarah, penampilkan seni sebagai warisan budaya bangsa diantaranya, Passayang-Sayang, Tari Pattuâdu, Pencak Silat, Pembacaan Ouisi, Orasi Sejarah, Kebudayaan Mandar, dan jenis kegiatan lainnya yang bernilai positif. (*)
Sumber Ilustrasi : FB Rahmat Panggung