Catatan Muhammad Munir
Seakan tak ada habisnya, sejumlah tokoh pejuang yang tak banyak diberi ruang dalam literasi kita di Mandar selama ini. Mereka harusnya diberi porsi penulisan selayaknya agar generasi kita tercerahkan. Mereka harusnya menjadi sumber inspirasi tentang patriotisme dan nasionalisme manusia Mandar kepada generasi.
Saya sering melihat generasi Mandar dalam setiap momentum peringatan kemerdekaan dan seremonial upacara hari pahlawan, dimana para peserta asyik bersenda gurau ketika pembina upacara membacakan atau menyampaikan pesan dan kesan tentang para pejuang kita. Mereka yang terdiri dari para ASN itu harusnya bisa lebih mengahargai momentum itu, sebab mereka adalah penikmat yang nyata atas derita para pejuang.
Andai tak ada pejuang yang rela mengorbankan jiwa dan raga mereka, mereka yang hari ini dibalut oleh seragam dinas itu tak akan menjadi apa-apa. Mirisnya, dalam skala umum, perhatian pemerintah juga terkesan hanya mengingat para pejuang di setiap momentum kemerdekaan dan peringatan hari pahlawan.
Setelah itu, teks-teks perjuangan itu terbuang dan tak ada tindak lanjut. Mereka tak peduli bagaimana nasib keluarga para pejuang saat ini. Jangankan peduli dengan nasib keturunan pejuang, untuk sekedar mendata dan mengetahui siapa-siapa saja yang tercatat sebagai pejuang tak pernah mereka pikirkan.
Para tokoh yang akan kami ungkap kepada para pembaca edisi kali ini adalah:
Abdul Hae
Abdul Hae adalah salah satu pejuang yang gigih mempertahankan kemerdekaan RI sampai titik darah penghabisan. Awal pengabdiannya untuk negeri ini dengan menjadi guru di Soreang Majene. Setelah itu, ia dipindahtugaskan ke Simbang, Pamboang. Kepala sekolah saat itu adalah H. Juni Hasjim.
Pada saat liburan sekolah, Abd. Hae meninggalkan Pamboang tanpa minta izin kepada pihak sekolah dan Mara’dia Pamboang. Alasannya adalah untuk menjenguk keluarga yang sakit di Balikpapan tapi kenyataannya ia justru ke Pulau Jawa dan bertemu dengan Letnan Muhammad Amier di Pelabuhan Panarukan.
Berkali-kali Mara’dia Pamboang datang ke Simbang menanyakan tentang keberangkatan Abd. Hae, tapi Kepala Sekolah, Juni Hasjim terus membelanya bahwa ia berangkat ke Kalimantan untuk menjenguk keluarganya yang sakit.
Pada 10 November 1946, pukul 5 subuh, rombongan Abd. Hae dan Muhammad Amier tiba di Pulau Kalukalukuang setelah sebelumnya singgah di Pulau Pa’garungan dan berganti perahu. Hal ini dimaksudkan untuk mengelabui mata-mata Belanda yang diperkirakan berkeliaran di Pelabuhan Panarukan. Perahu yang ditumpangi dari Panarukan ke Pa’garungan adalah perahu jenis Lambo Butung yang tidak diketahui pemiliknya.
Dari Pa’garungan rombongan meneruskan perjalanan dengan menggunakan perahu Lete bernama Fathul Jannah milik Madaruppu Kanna Aco. Sementara di Kalukalukuang, atas persetujuan dari H. Abdul Malik Gelaran Pulau Kalukalukuang; H.M. Tahir, Imam Pulau Kalukalukuang mengusahakan beberapa perahu guna pendaratan selanjutnya di daerah tugas masing-masing. Perahu model lete bernama Kota Candi milik gelaran Kalukalukuang mengangkut pelopor ALRI-PS Grup V ke daerah Polongbangkeng.
Grup ALRI-PS Daerah I Mandar diberangkatkan dalam dua gelombang. Gelombang pertama diberangkatkan dengan perahu Olang Mesa bernama Bunga Padi milik Ama Gola mengangkut anggota sebanyak 8 orang yaitu Muhammad Yasin (bekas Heiho). Ibnu Abbas, Kamaruddin, Kanna I Niru, Sappe, H. Dahlan, Makmur, Djuhaeni dan Jaitang.