MAJENE, mandarnesia.com–Eksponen pejuang Sulbar patut berbangga dengan lahirnya buku berjudul Kisah Panglima Tanpa Bintang yang ditulis Abdul Samad yang dieditori Adi Arwan Alimin dengan tokoh sentral DR. Rahmat Hasanuddin. Buku ini akan menjadi referensi bagaimana merawat Sulbar dengan tidak menghilangkan kisah panjangnya.
“Setidaknya telah lahir 20 buku yang akan membahas tentang perjuangan maupun sejarah berdirinya Sulawesi Barat,” sebut Syahrir Hamdani dalam apresiasnya.
Launching buku dibuka oleh Gubernur Sulawesi Barat yang diwakilkan kepada Sekda Provinsi Sulawesi Barat.
Rahmat Hasanuddin sebagai tokoh pejuang pembentukan Sulawesi Barat, merupakan salah satu tokoh kunci lahirnya Sulawesi Barat sebagai provinsi yang ke-33.
Anwar Adnan Saleh (AAS) Gubernur Sulbar dua periode pertama turut serta hadir pada launching dan mengapresiasi atas terbitnya buku tentang sejarah pembentukan Sulawesi Barat.
“Saya tidak akan mengomentari isinya, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih telah bersama-sama berjuang untuk Sulawesi Barat.” Kisahnya kepada mandarnesia.com
Acara yang diselenggarakan juga dirangkaikan dengan Ulang Tahun Bapak Rahmat Hasanuddin ke-75 tahun.
Tokoh besar yang menjadi saksi sejarah lahirnya Sulawesi Barat dan beberapa undangan sempat hadir pada acara bedah buku tersebut yaitu seperti Prof. Basri Hasanuddin, Rektor Universitas Al Asyariah Mandar, Rektor Universitas Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat, Syahrir Hamdani, Abdul Rahim, Pegiat literasi, akademisi, dan berbagai instansi yang diundang pada acara ini.
Mengutip salah satu cerita menarik dari kisah Bapak Rahamt ini:
Usai bertemu orang nomor satu Polmas saat itu, Rahmat dan Ansar Nur Hasanuddin lalu pamit dan sesampai di rumah adiknya langsung menelpon Drs. Mahmud, asisten tatapraja, dan mantan camat Tinambung. Kebetulan Drs. Mahmud ini masih punya hubungan kekerabatan dengan keluarga dengan Rahmat dari Tandung dan sejak awal tidak pernah sembunyi-sembunyi untuk memberi dukungan.” Sebagai keluarga dan senior, saya telepon Pak Mahmud dan memberi “perintah” tanpa basa-basi: “ Kalau masih dirumah segera ke kantor. Siapkan kop surat Bupati. Ketik surat rekomendasi untuk Sulbar dan siapkan nomornya. Saya akan diktekan bunyi rekomendasinya sekarang “. Perintah selanjutnya ialah: “ Selesai diketik, dibaca dengan teliti lalu dikoreksi sampai sempurna lalu bawa ke pak Pak Ilyas Latif (Pak Sekda) untuk diparaf, nanti saya hubungi Pak Ilyas Latif”. Satu jam kemudian dia menelepon saya bahwa suratnya sudah selesai dan sudah diparaf Sekda,” kenang Rahmat.
Karena Bupati belum tiba dikantor Rahmat kemudian berusaha mendatangi tempat upacara di gedung Pramuka di Manding. Tetapi sebelum ke Manding dirinya sempat memberikan perintah ketiga kepada Pak Mahmud: bila sekiranya Pak Bupati tiba-tiba datang langsung disodori saja mapnya, karena beliau akan langsung ke Makassar.” Betul saja, beberapa menit setelah kemudian Rahmat menuju Manding , ternyata Pak Hasyim sudah muncul di kantornya, rupanya saya berselisih jalan.
Pada waktu Bupati tiba di kantor, Drs. Mahmud baru saja meninggalkan ruang tunggu Bupati sekitar 10 menit sebelum Bupati datang dari upacara Pramuka. Pak Mahmud sedikit teledor karena ia tinggalkan ruang tunggu Bupati. Dia tidak menyadari bahwa Bupati sudah ada di ruang kerjanya sedang menyelesaikan surat-surat penting sebelum berangkat ke Makassar.
Menurut Mahmud beberapa saat setelah tinggalkan ruang tunggu dia kembali keruang Bupati dan berselisih jalan ditangga menuju mobilya. Dengan keberanian yang luar biasa, Mahmud memberikan map itu ke Pak Bupati di tangga kantor.
“Tabe Puang. ini ada titipan dari Pak Rahmat.”
Map itu langsung dibuka dan ditanda tangani sambil berkata dalam bahasa Bugis: “Bismillah, tidak dipenjara ji kita kalau dukung provinsi Sulbar toh?” Sebut Hasyim ke Mahmud ketika itu sebagaimana ditirukan Rahmat.