Cerita Niki dari NTT dan Sirup Penyambung Silaturahmi serta Toleransi

Oleh: Karmila Bakri

Besok umat Islam merayakan hari Raya Idul Fitri 1 syawal 1440 H. Rasa haru bahagia bertebaran mulai dari sudut kota, sampai ke desa-desa, hingga ke lorong-lorong kampung. Arus mudik semakin padat, kendaraan lalu lalang.

Mulai dari kendaraan mewah, setengah mewah sampai kendaraan kelas menengah kebawah sekelas “roda tiga/becak” tidak kalah gesitnya mengangkut manusia-manusia berbelanja untuk keperluan berlebaran.

Kesibukan sana-sini terlihat, di mal-mal, supermarket, pasar tradisional bahkan di media sosialpun ramai ngeposting produk-produk online. Mulai dari jualan online pakaian, sendal, mukenah, hingga ayam potongpun dijual online.

Strategi pemasaran lebih canggih. Inikan era millenial. Pola konsumtif jelang lebaran semakin menaik grafiknya. Arus transaksi uang semakin kencang. Bertumpah ruah gaya hidup jelang hari kemenangan.

“Ahh direm-rem juga dong nafsu belanjanya, coba kita tengok saudara-saudara kita yang tidur dibawah kolong jembatan, mereka tidak disibukkan dengan baju lebaran yang baru, sebab dia hanya memikirkan sore nanti buka puasanya makan apa, “.

Esensi berpuasa adalah menahan, apakah ending akhir ramadan, nafsu belanja kita nggak direm?. Yah sedikit diriku seketika ngigau, ditemani otakku sok kritis dan tidak mau diam bermain analisis.

Korelasi antara baju lebaran dengan bathin berlebaran. Nggak pakai baju lebaranpun tidak masalah yang penting bathin ikut berlebaran. Wow ciutan sarat makna. Boleh juga kita menerapkan hitung-hitung sebagai penangkal ego.

Meski sesungguhnya lonjakan harga baju lebaran juga mahalnya minta ampun. Semakin mahal semakin keren. Ahhh godaan kembali merayu, Hijrah laku diri selama 30 hari lamanya manusia dilatih menahan. Nah ini baru sedap, lebih baik fokus menghijrahkan jiwa dan bathin agar esok hari nan fitri terlahir suci.

Pameran di medsos juga semakin heboh. Bertebaran ucapan selamat menyambut hari lebaran. Mengupdate permohonan maaf lahir dan bathin. Style hijab dan baju koko muslim menjadi pilihan tersendiri. Memilih latar masjid sembari berfose keren ala-ala muslim-muslimah.

Foto-foto dan video menjamur. Beragam redaksi dan emotion-emotion menjadi bumbu. Hingga redaksi kata menghasilkan aura pemantik bagi netizen yang membacanya. Namun tentu tiada maaf bagi koruptor, namanya koruptor hukuman harus berjalan.

Rasioku kembali kritis, seolah-olah tidak memberi jedah maaf kepada para pencuri uang rakyat. Bagaimana tidak nyaliku ciut,sebab di depan mataku masih terang kusaksikan saudara-saudara kita kelaparan. Tinggal di gubuk reok, gubuk tidak layak lagi. Sehari semalam lambung-lambungnya menjerit kelaparan. Makan seadanya itupun didapat dari perasan keringatnya tak kenal waktu bekerja. Yah pokoknya tiada maaf untuk para koruptor.

Ungkapan sedih tertuang lewat postingan ramadan telah berlalu meninggalkan. Nah, ironi menurutku kok sedihnya belakangan yah?. Bukankah selama 30 hari ramadan, wanginya sebulan merangkul tanpa paksa.

Lantas imajiku liar seketika. Apakah bulan-bulan berikutnya kelakuan kita beralih 100 %. Tentu jawabannya bukan sekarang, kita lihat saja seberapa persen efek aktualisasi diri. Gambaran laku diri sebagai manifestasi kita sebagai hamba yang mencintai Maha Tunggal.

Jika laku diri sama sebelum mengecup ramadan dan setelah good bye ramadan. Maka tentu 30 hari kita hanya sebatas menahan lapar dan haus belaka. Harusnyakan ada peningkatan dong, kan 30 hari udah dikuliti sifat-sifat negatifnya.

Momentum ramadan dapat menjadikan ajang sebulan untuk terapi diri. Kebiasan terjewantahkan untuk 11 bulan kedepan bahkan bertahun-tahun. Hingga selama-lamanya untuk tidak mencuri uang rakyat lagi kan. Kendati demikian tidak mudah mengobati “

Seketika kampung-kampung serentak beraroma ketupat dan buras. Sajian kedua jenis makanan ini menjadi menu wajib tiap lebaran. Nggak pernah absen lho, serasa lebaran tidak afdal jika tak ada ketupan dan buras. Asap mengepul di dapur sebagai penanda besok lebaran tiba.

Di kampungku bukan hanya umat Islam yang sibuk, namun ada Niki penghuni panti asuhan “Rumah Kasih”, Niki ini berasal dari NTT. Rumah Kasih adalah panti asuhan yang menampung dan mendidik adik-adik nasrani dari berbagai daerah.  Ibu-ibu pengasuh Rumah Kasih senantiasa mendidik anak-anak asuhannya untuk menerapkan sikap-sikap toleran. Jika hari Natal dan tahun baru tiba kamipun berbagi kebahagiaan kepada mereka. Nah begitupun sebaliknya di hari Idul fitri ini mereka berbagi bingkisan.

Niki  adalah salah satu penghuni panti yang ramah dan sopan. Sedari pagi Niki sudah sibuk berbagi sirup ABC ke tetangga-tetangga. ABC aku artikan ” Anak Berbagi Cinta”. Niki seorang anak lelaki yang duduk dibangku Sekolah Dasar.

Wangi keberagaman agama menyebarkan arti pentingnya merawat persaudaraan. Sirup ABC sebagai penyambung silaturahmi. Niki adalah contoh konkret, generasi pancasila, penjaga NKRI. Niki bukan anak pejabat, namun sikap dan karakter, adab kesopanan, budaya ketimuran melekat pada laku geraknya. Niki nggak juga butuh diviralkan, lagian adat kesopanan telah diajarkan oleh leluhurnya.

Niki manis lebih manis lagi ketika ucapan santun, serta menundukkan badan saat bersapa dengan orang-orang tua kampung. Niki berbekal sirup ABC mengetuk daun pintu “Selamat pagi kakak, menjabat dan mencium tangan, duduk manis seraya berkata, ini kakak ada bingkisan dari rumah kasih untuk dipakai berlebaran, “.

Karakter asli ketimuran tergambar, tidak perlu jauh-jauh belajar dan mencari contoh karakter anak beradab. Cukup belajar saja sama adik Niki. Gumamku dalam hati sembari memandangi Niki dengan semangat menyambangi pintu-pintu rumah tetangga.

Aroma ketupat rasa daun pandan semakin wangi menggoda hidung. Sudah hampir matang, ini hari terakhir kita berpuasa. Bolehlah buka puasa nanti mencicipi ketupat pandan asli buatan ibu.

Ciutan THR juga tidak pernah absen, postingan-postingan pun ramai berteriak di media sosial. THR mana, THR mana,  THR mana. THR umumnya diartikan Tunjangan Hari Raya.

Ada juga yang mengartikan THR adalah Tunangan Hari Raya. THR itu Ta’arufan Hari Raya. Nah tentu bagi para jomblo akan baper dengan istilah ini. Wow ada juga ekstrim THR itu Tendangan Hari Raya, nah ini parah karena memicu jatuhnya korban hahhaa.

THR juga identik dengan paket sirup. Sirup ABC adalah salah satu sirup original asli buatan Indonesia. Teringat lagi sosok adik Niki. Andaikan semua anak Indonesia diajarkan cinta berbagi kepedulian. Perpecahan dan permusuhan tidak akan kita jumpai lagi.  Begitu damai hidup berdampingan, sebab agama apapun itu senantiasa mengajarkan keselamatan dan nikmatnya bertoleransi.

Bukan hal sulit untuk menciptakan perdamaian. Mulai dari diri sendiri, ruang lingkup keluarga, masyarakat hingga meluas kesemua kalangan. Maka cinta damai akan menjadi pemantik serta perekat kebersatuan.

ABC “anak berbagi cinta” sebagai penyambung silaturahmi. Ada makna termaknai bukan sekadar dua botol sirup tergenggam ditangan mungil Niki. Pesan sosial terpetik wangi untuk bangsa Indonesia.

Kekuatan cinta adalah pondasi kokohnya kebangsaan. Lenyapkan sekat-sekat, hindarilah virus-virus pemecah kebhineka tunggal Ika. Sungguh keren semboyan “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Sudahkah kita serap makna semboyan ini kedalam laku diri. Jika belum marilah meluaskan hati, mencintai perbedaan bukan untuk dibeda-bedakan. Namun perbedaan adalah warna keragaman yang penting dijaga dan dikuatkan.

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum, Mohon Maaf Lahir dan Batin, Selamat Idul Fitri 1 syawal 1440 Hijriah.

Polman 4 Juni 2019