Masak Tungku di Kolong Rumah, Cara Masyarakat Bugis Sambut Hari Raya Id

Netizen :Ashriady Arifin*
Bulan Ramadhan yang Agung 1440 H sebentar lagi akan meninggalkan kaum muslimin.  Bagi mereka yang memanfaatkan Bulan ini dengan baik untuk mendapatkan pahala, tentu mengalami kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak, Ramadhan tempat mendulang pahala dan penghapus dosa ini akan pergi dan tidak kembali kecuali mereka yang diberikan kesempatan oleh Allah Subhanahu Wata’ala bertemu kembali di tahun yang akan datang. Mengenai Hal ini tidak ada satu pun diantara kita yang mampu memastikannya, apakah kita akan sampai ke sana atau pun tidak.
Rasa kesedihan ini bercampur haru dan bahagia, suasana Hari Raya Idul Fitri 1440 H yang telah ditetapkan melalui Sidang Isbat pemerintah tadi malam, yang Insya Allah jatuh pada hari Rabu (04/06/2019).
Hari Raya Idul Fitri adalah salah satu hari Raya besar yang disambut dengan gembira oleh semua Ummat Islam Se-dunia. Momentum Hari Raya adalah gambaran luapan kemenangan kaum muslimin setelah berjuang 30 hari di Bulan Ramadhan, selain itu moment ini adalah tempat yang terbaik untuk bersilaturahmi dengan karib kerabat.
Beberapa mereka yang beraktifitas, bekerja atau bersekolah di luar daerah atau bahkan di luar negeri harus merogoh kantong demi biaya tiket untuk mudik mereka. Lebaran di kampung sendiri kelihatannya mendapat kebahagiaan yang sulit dinilai dengan uang dan harta serta kecukupan materi di tempat rantauan. Serasa ada yang kurang jika belum mudik alias pulang kampung, menjenguk karib kerabat, orang tua tercinta bagi mereka yang masih hidup.
Sebuah tulisan yang tidak jelas sumbernya beredar luas di media sosial _”Setinggi apapun sekolahmu, pulanglah mengingkat buras”._ Kalimat ini sederhana, tetapi menurut penulis memiliki makna yang mendalam.
Sebagai seorang yang  lahir di Masyarakat Bugis, penulis seringkali melihat suasana ini sehari sebelum pelaksanaan hari Raya Id. Bagi sebagian orang mengikat buras mungkin perkara yang mudah dan bisa dilakukan oleh siapapun baik itu perempuan maupun laki-laki dalam segala usia.
Berdasarkan pengamatan penulis, peran laki-laki dalam membantu mengikat salah satu penganan khas Sulawesi Selatan ini ternyata sangat membantu. Buras yang biasa kita konsumsi dengan rasa yang gurih dan bisa bertahan lama ini ternyata lahir dari racikan seorang ibu kemudian diikat rapi dan kuat oleh seorang Bapak (Kepala Rumah Tangga).
Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis bahwa mengikat buras ini harus benar-benar kuat, agar nantinya air rebusan tidak masuk ke dalam buras sehingga membuatnya menjadi lembek. Dengan kondisi seperti ini membuat rasa buras tersebut tidak enak dan tidak tahan lama alias mudah basi.
Selain itu, yang menarik adalah proses memasak buras ini yang sedikit unik. Dengan menggunakan panci biasa, buras kemudian direbus diatas tungku kayu di bawah kolong rumah. Hal ini menjadi pemandangan yang menarik di setiap kolong rumah sebagian besar Masyarakat Bugis yang memiliki rumah panggung ini. Nampak deretan panci-panci di atas tungku kayu berisi buras, yang akan menjadi menu spesial di hari lebaran.
Proses memasak buras tersebut biasanya paling cepat memakan waktu 4 – 5 jam, harus rajin mengecek airnya jangan sampai kering. Apabila burasnya dalam porsi banyak biasanya dimasak semalaman, jika memasak dimulai pas malam takbiran, diperkirakan masak burasnya selesai pas shubuh.
Hal yang lain adalah setelah buras matang tidak dibiarkan lembab. Setelah direbus, buras di angin-anginkan dengan cara menggantungnya. Dengan cara ini, buras kering dari semua sisinya. Konon, buras ini pun bisa bertahan hingga 4 hari.
Buras ini juga biasanya digantung di tempat terbuka yang terkena angin. Tidak hanya  ditiriskan di wadah berlubang-lubang karena bisa jadi buras tak kering sempurna. Selain itu, sebagian mencelupkan ke air dingin terlebih dahulu sebelum menggantungnya.
Sebuah tradisi yang unik nan menarik namun menyisahkan kerinduan untuk ingin pulang kampung bagi mereka yang merantau. Sebuah tradisi yang sarat makna namun sudah mulai tergerus dengan perkembangan zaman.
Penulis tidak ingin menyalahkan kehadiran rumah-rumah batu yang menggantikan rumah panggung atau tabung gas 3 kg yang menggantikan  posisi tungku di kolong rumah, tetapi kerinduan akan tradisi ini sungguh kita akan rasakan suatu saat nanti.
*Watampone, 30 Ramadhan 1440 H*
_Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Mamuju_