Berani Berbeda, Menantang Status Quo dalam Pendidikan Indonesia

Penulis: Fathullah Wajdi, Suryadi Ishak, Sahrul Syawal *)

PENDIDIKAN Indonesia saat ini ibarat kereta api tua yang masih berjalan di rel abad ke-19, sementara dunia di luar sudah melesat dengan hyperloop. Kita sibuk memperdebatkan warna gerbong dan kecepatan 40 km/jam, sementara negara lain sudah berbicara tentang transportasi antariksa. Sistem kita masih terbelenggu seperti burung beo yang pandai menirukan suara tetapi tak pernah memahami maknanya – menghafal rumus tapi tak tahu penerapannya, mengutip teori tapi tak mampu berinovasi.

Kurikulum kita yang padat konten ibarat tas sekolah yang terlalu berat dipikul anak kecil – penuh dengan buku teks tebal tapi minim makna kehidupan. Kita memaksa siswa menghafal tabel periodik seperti daftar belanjaan, tapi tak mengajak mereka merasakan keajaiban reaksi kimia dalam secangkir teh hangat. Sistem penilaian kita pun aneh – seperti mengukur kualitas penyanyi hanya dari tinggi-rendah nada, mengabaikan jiwa seni dan keindahan interpretasi.

Revolusi Sederhana,dari Sekolah Menjadi Taman Bermain Ide

Transformasi pendidikan tak perlu serumit membongkar mesin pesawat saat terbang. Mulailah dengan mengubah kelas yang kaku menjadi seperti warung kopi – tempat diskusi hangat dimana setiap pertanyaan dihargai. Guru tak perlu jadi Google berjalan, cukup menjadi barista yang meracik pertanyaan provokatif:

“Bagaimana jika matematika diwarnai seperti pelangi?” 

“Apa jadinya bila sejarah ditulis oleh para pecundang?”

Pembelajaran berbasis proyek bisa diibaratkan sebagai petualangan memilih rasa es krim – biarkan siswa mengeksplorasi rasa favorit mereka. Ada yang memilih proyek seni seperti es krim stroberi, lainnya mungkin lebih suka robotik seperti es krim coklat mint. Hasilnya? Festival belajar yang semeriah pasar malam, dimana setiap stan memamerkan keunikan masing-masing.

Guru, dari Dalang Wayang menjadi Pelatih Skateboard

Peran guru perlu berubah dari dalang yang mengendalikan setiap gerak wayang, menjadi pelatih skateboard yang membimbing anak mengambil risiko kreatif. Ketika siswa bertanya “Mengapa langit biru?”, alih-alih memberi ceramah fisika, balas dengan “Bagaimana menurut hasil pengamatanmu?” seperti melempar skateboard dan berkata “Cobalah trik baru!”

Menggunakan teknologi dalam pendidikan harus seperti memberi kacamata pembesar pada anak yang penasaran – alat untuk melihat lebih dekat keajaiban semut atau struktur daun, bukan sulap yang membuat proses belajar jadi instan. VR untuk menyelam ke terumbu karang, AI untuk menciptakan puisi bersama, tapi tetap jaga keajaiban tangan kotor berkebun di halaman sekolah.

Sistem penilaian kita selama ini seperti memenjarakan burung dalam sangkar lalu mengukur kualitasnya dari kerapatan bulu. Mari ubah menjadi permainan lego – dimana setiap siswa bebas menyusun balok-balok pengetahuannya menjadi bentuk unik. Nilai tak lagi tentang seberapa tinggi menara yang dibuat, tapi bagaimana cara mereka memecahkan masalah ketika menara itu roboh.

Kurikulum, dari Ransel Batu ke Kantong Ajaib Doraemon

Kurikulum kita sekarang ibarat ransel penuh batu – berat tapi tak banyak gunanya. Mari ubah menjadi kantong ajaib Doraemon, dimana setiap alat dipilih sesuai kebutuhan petualangan belajar. Hari ini mungkin diperlukan bambu terbang untuk memahami fisika, besok mungkin kue ingatan untuk pelajaran sejarah.

Jika pendidikan konvensional seperti pabrik spaghetti yang menghasilkan mi seragam, pendidikan masa depan harus seperti restoran molecular gastronomy – dimana setiap hidangan adalah eksperimen kreatif. Siswa tak lagi dicetak seperti mi instan kemasan, tapi diajak menjadi koki yang berani menciptakan rasa baru.

Sekolah Seperti Pohon Beringin

Pendidikan ideal ibarat pohon beringin tua – akarnya kuat menghujam dalam (fondasi karakter), dahannya lentur bergoyang tertiup angin perubahan (adaptabilitas), dan kanopinya luas memberi tempat pada berbagai jenis burung (keberagaman). Di bawahnya, tersedia tempat teduh untuk diskusi seru, bermain, dan kadang sekadar melamun – karena dari lamunanlah sering lahir ide-ide brilian.

Pendidikan bukan tentang mengisi ember, tapi tentang menyalakan api. Api yang tak perlu disiram dengan bensin kurikulum berlebihan, cukup ditiup perlahan dengan pertanyaan-pertanyaan menggugah. Mari ubah sekolah dari penjara waktu menjadi taman bermain gagasan, dimana setiap anak bebas menjelajah dengan kompas rasa ingin tahu mereka sendiri. Karena masa depan bukanlah tempat yang kita tuju, tapi yang kita ciptakan dengan keberanian berbeda hari ini.

 

*) Penulis adalah Pemerhati Pendidikan dari TIM Eksternal Riset Ikatan Alumni Jogjakarta (IKAJO), Dosen PPs Universitas Negeri Makassar