Sementara Drs. H. Kalang Sadaid dan Muhammad Soenoesi (Pa’bicara Tangnga Sendana) mengklaim bahwa Tomanurung pertama di Sendana adalah I Mana Pahodo, dialah yang digelar Tomesaraung Bulawang sebagai pendiri Kerajaan Sendana. Hal ini bisa dibaca dalam makalah yang disumbangkan pada acara Seminar Kebudayaan Mandar di Majene, 1984 dengan Judul “Sejarah Sendana Selayang Pandang” hal. 284.

Sosok Tomesaraung Bulawan sendiri sampai saat ini masih saja diperdebatkan sebab versi Lontar Mandar (Suradi Yasil dkk) menyebutkan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah seorang perempuan yang tak lain adalah istri dari Daeng Palulung atau Topapo.
Sementara Kallang Sadaid mengklaim Tomesaraung Bulawang, bukanlah nama asli. Saraung bulawang yang dalam bahasa Indonesia berarti topi yang terbuat dari emas. To diawalan kata saraung bulawang bermakna orang yang memakai topi emas. Dari pengertian ini telah melahirkan perbedaan pendapat dikalangan sesepuh dan sejarawan Sendana.
Ada yang beranggapan bahwa Tomesaraung bulawang itu adalah seorang laki-laki namanya Amana Pahodo’ dan dia adalah pendiri kerajaan Sendana (Kalang Sadaid, 1984) Sementara Lontar Pattappingan menyebutkan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah seorang putri Arung Bone yang dipersunting oleh Daeng Palullung (putra Datu ri Luwu’) yang dikemudian tiba di Sa’adawang (Sendana) dan membentuk pemerintahan/kerajaan Sendana.
Hal yang juga masih diperdebatkan adalah kelahiran kerajaan Sendana pada abad ke-13 tapi kemudian terdapat juga kisah perjumpaan Topapo dengan adiknya, Todzibonde di Batu Mara’dia (di Desa Bukit Samang Kecamatan Sendana).
Dikisahkan, bahwa saat mereka bertemu, keduanya menggunakan sapaan sebagaimana tradisi masyarakat Islam, “Assalamu’alaikum yang kemudian berjawab Wa’alaikumussalam”.
Keberadaan panji atau bendera Cakkuriri, bendera kebesaran Kerajaan Sendana yang didatangkan oleh Todzibonde, telah pula melambangkan kalimat tauhid atau syahadat bertuliskan Arab “Lailaha Illallah Muhammadan Rasulullah”. Ini berarti Islam sudah masuk ke Kerajaan Sendana sejak periode Sa’adawang. Fakta dilapangan, makam Daeng Palulung dan Daeng Sirua maupun Amana Pahodo di Sa’adawang Buttu Suso itu orientasinya bukan utara selatan, melainkan orientasi barat timur.
Makam yang orientasi barat timur umumnya dianggap sebagai makam pra Islam. Bagaimana mungkin seorang muslim dimakamkan layaknya tradisi pemakaman pra Islam.
Baru sampai pada persoalan Amana Pahodo dan Tomesaraung Bulawang serta Islam yang masuk sejak Abad ke-13 di Sendana saja pasti diperdebatkan sebab Syekh Zakariah dalam riwayatnya adalah penganjur Islam di Sendana datangnya hamper bersamaan dengan Raden Mas Suryodilogo.
RM. Suryodilogo sendiri direkam dalam lontar masuk ke Mandar pada tahun 1650 M. Ini persoalan yang tentu saja membutuhkan riset lebih mendalam dan peran arkeolog. Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab para peneliti BRIN ini masuk ke Sendana kali ini.
(Bersmbung)