Lembaga pendidikan ini berdiri pada tahun 1992 dalam bentuk pondok pesantren yang peletakan batu pertamanya dilakukan langsung oleh KH. Abdul Rahman Ambo Dalle. Ketika Ustad M. Said, pendiri meninggal dunia, lembaga ini hak lagi menjadi pondok pesantren melainkan hanya membuka MI, MTs dan MA DDI saja.
Nanti pada tahun 2021 kembali membuka penerimaan santri baru, itupun dibatasi hanya 50 orang sebab fasilitas pondok hanya bisa menampung santri sebanyak 50 orang.
Setelah sholat Ashar, rombongan kemudian kembali ke Majene. Kami sengaja kembali lebih awal, sebab di Leppangan atau area lonsoran masih menggunakan sistim buka tutup bagi pengguna jalan sehingga kami menjaga agar tiba di kota Majene tidak terlalu kemalaman.
Para tim harus beristirahat penuh mala mini, sebab besoknya giliran Sa’adawang Desa Putta’da yang akan kami datangi. Butuh tenaga ekstra untuk bisa tembus ke pusat perkampungan lama yang bernama Sa’dawang, puncak Buttu Suso. Sa’dawang adalah wilayah pertama peradaban di Sendana yang berada di ketinggian kurang lebih 500 mdpl.
Pada saat pulang, penulis masih numpang dimobil Pak Supriadi dan Bu Hapni. Sepanjang perjalanan, hujan terus menemani meski tidak lebat. Bahkan sampai ke Kota Majene hujannya juga awet.
Agenda hari ini bisa dibilang tidak maksimal karena cuaca yang kurang bersahabat. Tapi apapun kondisinya, setidaknya para tim sudah bisa memetakan wilayah penelitian selanjutnya sebab di wilayah Kerajaan Sendana, kami masih butuh melakukan satu kali testpit.
Apakah nantinya testpit dilakukan di Sa’adawang atau di Podang. Tergantung hasil akhir dari penjejakan yang dilakukan oleh para tim peneliti ini esok harinya di Sa’adawang.
Wilayah kerajaan Sendana yang berjarak 30 KM dari Kota Majene ini memang masih sangat membutuhkan riset arkeologi sebab penulisan sejarah selama ini kerap kali menjadi ajang bantah-bantahan dan klaim mengklaim diakibatkan tidak adanya periodesasi sejarah yang bisa dijadikan acuan.
Darmansyah misalnya menulis bahwa Sendana berdiri pada abad ke-13 yang didirikan oleh dua orang kakak beradik, Daeng Palulung yang bergelar Topapo dan Daeng Sirua yang bergelar Todzibonde’.
Salah satu sumber menyebutkan, dua bersaudara ini berasal dari Tabulahan (Pitu Ulu Salu), sedang sumber lain juga menyebutkan, baik Topapo pun Todzibonde’ keduanya adalah putra Datu ri Luwu (Palopo). Pendapat ini didasarkan pada sumber lontar Mandar yang ditransliterasi oleh Suradi Yasil dkk, pada tahun 1984/1985.