Nama Podang mulai dikenal di Mandar saat Muktamar Tammajarra pertama yang di helat di Balanipa pada tahun 1580. Nama Podang disebut dalam paragraph awal transkrip naskah perjanian Tammajarra yang berbunyi:
Tepui tangngar di Podang, sirumummi tau di Tammajarra ma’julu’ tangngar ma’julu’ nawa-nawa mammesa pattuyu mappenduku mappendongang aburassunganna Passokkorang. (Setelah bulat pertimbangan di Podang, berkumpullah kita di Tamajarra melakukan musyawarah mufakat, bertekad bulat duduk tengadah memikirkan kekejaman kerajaan Passokkorang).
Sejak itulah, Podang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sendana. Masyarakat yang tadinya berdomisili di Sa’adawang berpindah membentuk kawasan pemukiman baru yang lebih terjangkau dan landai yakni di Putta’da sekarang ini.
Kondisi Kampung Sa’adawang dianggap sudah tak strategis lagi menjadi pusat pemerintahan untuk membangun relasi dagang ke dunia luar. Satu-satunya pilihan adalah memindahkan pusat pemerintahan ke pesisir. Pilihan itu jatuh ke Podang yang sekarang masuk dalam wilayah administrative Desa Banua Sendana.
Kerajaan Sendana mengalami masa kejayaannya pada periode Podang menjadi pusat peradabannya. Podang menjadi pusat peradaban mulai periode Puatta I Podang sampai kemudian dipindahkan ke Somba pada saat Belanda benar-benar telah menancapkan kekuasaanya di Bumi Mandar, tepatnya di era kepemimpinan Mappa’giling, Pawelai dan seterusnya.
Awalnya kami dibawa meninjau batu battayang yang terdapat di areal perkampungan dekat pantai. Batu ini diyakini sebagai situs pertemuan leluhur masyarakat Sendana tempo dulu.
Rencana melakukan testpit disini, tapi urung karena Budianto Hakim masih ingin melacak beberapa situs yang kemungkinannya lebih besar menjadi pusat perkampungan kuno di Podang. Atas pertimbangan itu, Hasan mengarahkan kami menuju ke bukit Banua tepatnya ke Kompleks Makam I Pura Para’bue yang letaknya sekitar 1 KM dari Jalan Trans Sulawesi.
Kami lalu menuju ke kompleks Makam I Pura Para’bue. Kami berjalan dari Batu Battayang ke Makam I Pura Para’bue. Kondisi jalan menuju ke situs ini sudah bagus karena disana ada Pondok Pesantren DDI, tapi akses menuju ke situs makam agak susah. Tak ada jalan khusus untuk sampai ke makam. Semua harus cari jalan sendiri untuk bisa sampai ke situs.
Agak miris memang, situs ini dikenal sebagai tempat pemakaman tokoh adat Kerajaan Sendana, tapi jalanan masuk ke situs ini tidak tersedia. Terlebih setelah sampai ke lokasi makam. Sungguh sebuah perlakuan yang tak semestinya dilakukan oleh orang beradab.