Menyebarkan Hoaks Hukumnya Haram (Bagian Kedua)

Dr. Aco Musaddad HM | Kadis Kominfo SP Polewali Mandar dan Pengurus Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Polewali Mandar.

BERITA bohong atau hoaks sudah ada sejak dulu, tetapi disebarkan dari mulut ke mulut atau secara lisan, di era sekarang lebih banyak melalui media sosial. Media sosial dapat diakses oleh siapa saja, dengan kemudahan tersebut akhirnya informasi hoaks dapat terbaca dan tershare dengan cepat.

Dalam ajaran Islam ada tuntutan terkait jika mendapatkan berita supaya dilakukan verifikasi. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an yang sudah disampaikan pada tulisan yang lalu, yaitu Surat Al Hujurat, Ayat: 6. Ayat ini memerintahkan untuk klarifikasi jika mendapatkan berita. Kemudian pada Surah An -Nur Ayat 19.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Olehnya itu menyebarkan berita bohong (hoaks) hukumnya haram bagi seorang muslim.

Hal ini tertuang dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau MUI Nomor 24 Tahun 2017, Tentang Pedoman Bermuamalah di Media Sosial.

Pertama: Haram menyebarkan Informasi bohong, seperti hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib dan ujaran kebencian.

Kedua: Haram menyebarkan konten pribadi yang tidak patut untuk disebarkan ke publik.

Ketiga: Haram menyebarkan konten yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar.

Keempat: Haram menjadi buzzer di media sosial yang menyebarkan informasi bohong.

(Dapat dibaca lebih detail pada Fatwa MUI Nomor: 24 Tahun 2017).

Sebagai bahan pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa tersebut diantaranya:

Pertama: Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi di tengah masyarakat.

Kedua: Penggunaan media digital, khususnya yang berbasis media sosial di tengah masyarakat seringkali tidak disertai dengan tanggung jawab sehingga seringkali menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoaks, fitnah, ghibah, naminah, gosip, pemutarbalikan fakta dan lain-lain.

Ketiga: Banyak pihak mdnjad konten media digital yang berisi hoaks, fitnah, ghibah, naminah, desas-desus, kabar bohong, ujaran kebencian, kejelekan seseorang, informasi pribadi yang diumbar ke publik dll, sebagai sarana memperoleh simpati, lahan pekerjaan, sarana provokasi, agitasi, sarana mencari keuntungan politik serta ekonomi dll.

Dan masih banyak lagi yang menjadi dasar MUI melalui Komisi Fatwa memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial untuk digunakan sebagai pedoman.

Disadur dari berbagai sumber.