Dalam pantauan penulis, tahapan prosedural dari pengusulan Tokape sebagai pahlawan nasional hingga kini belum ada, maka jangan heran jika kemudian muncul tanggapan bahwa selama tahun 2019 sampai 2022 ini, pemerintah terkesan tidak serius dalam melakukan upaya pengusulan terhadap tokoh pejuang di Mandar. Padahal salah satu yang menjadi syarat kebesaran suatu bangsa ditentukan oleh seberapa tinggi penghargaan bangsa tersebut terhadap jasa para pejuang atau pahlawan.
Inilah yang mungkin disebut oleh Syarkawi Rauf bahwa kebudayaan kita beririsan antara hasrat dengan mimpi. Hasratnya masuk surga tapi kelakuannya ke neraka. Hasrat mengahrgai pejuangnya, tapi perlakuannya hanya menghabiskan anggaran dengan dalih pengusulan.
Untuk momentum peringatan Hari Pahlawan Nasional tahun ini, semua kabupaten harusnya mulai membuat rencana kerja yang matang guna mengusulkan beberapa tokoh Sulbar yang layak untuk jadi Pahlawan Nasional. I Calo’ Ammana Wewang, Demmatande, Tapanguju Punggawa Malolo dan Hj. Sitti Maemunah Djud Pantje sejatinya mendapat perhatian khusus dan mulai diusul oleh masing-masing daerah asal para tokoh tersebut.
Untuk pemerintah Daerah Kabupaten Majene, harusnya tokoh Hj. Sitti Maemunah Djud Pantje diberi ruang, sebab Maemunah yang nota bene sebagai guru sebangun dengan proyeksi Kota Pendidikan di Sulawesi Barat.
Maemunah adalah adalah seorang guru dan pejuang kemerdekaan yang terakhir menjabat sebagai Kepala Sekolah di Ba’babulo Pamboang. Dengan wadah GAPRI 5.3.1. ia merangcang strategi perlawanan sekaligus ikut menenteng senjata.
Kendati perlawanannnya kerap harus berurusan dengan penjara, tapi ia dengan segala upayanya terus melawan. Penjara tak membuatnya takluk kendati tangsi Belanda di Majene seperti neraka bagi para pejuang.
Kondisi penjara amat mencekam pikiran. Dinding dan halaman rumput nya bercampur darah, drum-drumnya yang berkarat sebagai wadah makanan pejuang, dan tiang-tiang bangunan tempat ratusan pejuang diikat tanpa ampun. Itu seperti slide yang tentu menyayat imajinasi.
Bahwa tempat seperti itu pernah ada dì Mandar, bahwa Maemunah juga pernah digebuk di sana. Bahwa jajar pejuang dan pengkhianat tak pernah pupus dari ingatan.
Daya tahan para pejuang yang dikisahkan dari catatan pribadi Maemunah dan tokoh lain yang menjadi saksi sekaligus korban keganasan KNIL dan antek-anteknya seolah pembabaran, betapa kawasan ini pernah disinggahi peristiwa kelam yang melukai sisi kemanusian.
Para pejuang kemerdekaan Republik itu tidak hanya diburu, dan disiksa sedemikian licik namun segalanya telah dirampas sedemikian rupa. Maemunah telah menyimak irisan keganasan tentara kota dan gurilla (gerilyawan) yang dalam banyak catatan disebut sebagai kaum republik di Tanah Mandar.
Penulis pernah menyimak penuturan mengenai kegetiran hidup seorang algojo yang seolah menyesali mengapa ia hidup di era saat wilayah Mandar dicekam kegelapan seperti itu.