Kini kata linor atau lindu mestinya dimaknai sebagai tanda atau tinanda pada aspek mitigasi bencana yang berkesinambungan. Ini bukan sekadar semiotika alam semata yang menetaskan konsep linor tentang kata tanda. Apakah yang membuat kita sebagai manusia membutuhkan pemahaman tentang tanda dan apakah tanda itu? Itu merupakan teks yang mesti dibaca berulang kali secara kritis, atau menjadi konteks yang niscaya meletupkan daya dorong pihak siapapun yang mestinya lebih progresif di wilayah rawan bencana alam.
Kumpulan tulisan di buku ini tidak hanya bunga rampai pengalaman semata, namun cermin benggala bagaimana semestinya pelatihan kesiagaan dan tindakan di masa sebelum bencana itu benar diaplikasikan secara ril. Relawan tangguh dari berbagai elemen atau organisasi kemanusian di tahap darurat gempa tempo hari menemukan kesimpangsiuran koordinasi dari dekat di lokasi bencana. Pada sisi lain, itu mungkin lema yang selalu berusaha minta dipahami bahwa tidak ada pihak manapun yang sanggup bekerja optimal dalam nanar bencana yang mengguncang nalar.
Buku ini patut sebagai anjuran penting bagi badan yang berwenang dalam penanggulangan bencana. Mengingat Sulawesi Barat melingkar dalam cincin api: ring of fire yang membentang pada kawasan Pasifik. Kata linor yang tetas dari sumbu pengetahuan peradaban manusia Mandar menegaskan itu.
Dalam KumparanSains, catatan BMKG menyebut, Indonesia setiap tahun diguncang sekitar 5.000 gempa. Pembaca mungkin sedang membaca buku ini di atas lempeng zona subduksi di Cincin Api Pasifik yang merupakan tempat palung laut terdalam di bumi berada. Tempat terjadinya gempa bumi yang dalam.
Buku ini bagian dari mitigasi bencana yang dapat dibaca berulang agar kita melahirkan kearifan baru dan kontekstual dari kata linor. Tetaplah siaga dan waspada.
Mamuju, Oktober 2021
*Tulisan ini diambil dari pengantar buku Linor 6,2 Magnitudo yang diterbitkan Gerbang Visual, bekerjasama dengan mandarnesia.com dan Nusantara Palestina Center (NPC)