Daun Berdarah

Cerpen oleh: Masnur, Mahasiswa Unasman

Aku Masnur, anak seorang petani yang hidup sederhana. Saudaraku semua sudah berumah tangga, hingga membuatku kadang kesepian. Kedua orang tua sibuk bekerja, juga kakakku semuanya punya kesibukan masing-masing jadi kami jarang berbagi cerita bersama. Maka dari itu aku coba memelihara seekor kucing lucu yang terlantar di sawah. Ayah yang membawanya pulang, kemudian menggodaku dengan mengatakan jika kucing lucu itu sudah resmi menjadi adikku. Haha Menggemaskan.

Hari ini sepertinya akan sedikit melelahkan. Setelah lulus SMK, aku mendaftar kuliah di salah satu kampus yang ada di Mandar. Meski sebenarnya hanya memilih asal-asalan saja, mengingat aku ini tidak berminat lanjut S1. Tetapi, Ayah dan Ibu sangat menginginkan anaknya bisa sarjana lalu kemudian berprofesi sebagai seorang guru padahal aku tidak berminat sama sekali. Namun, dengan alasan ingin berbakti kepada orang tua, kucoba untuk lanjut ke perguruan tinggi.

Setelah melewati berbagai tahap sebelum resmi menjadi mahasiswa, kini hanya tersisa satu tahap lagi yaitu menginap semalaman di kampus. Entah apalagi yang akan kami lakukan, aku sudah cukup lelah.

Malam sepertinya sudah mulai menyambut, kami yang beragama Islam melaksanakan shalat magrib berjamaah di masjid. Sedangkan yang non-muslim istirahat di Aula.

Kampus ini memiliki banyak gedung, tapi entah mengapa barang-barang kami mereka simpan di gedung paling pojok lantai dua. Hal ini membuatku kesal karena jauh dari aula terus naik turun tangga pula. Tapi anehnya, mereka yang bertugas sebagai penjaga keamanan kampus tidak mengizinkan kami untuk kesana, bahkan senior yang mengospek kita sekalipun. Jika butuh sesuatu mereka yang akan memberikan tas kami. Ini membuatku bingung dan sedikit penasaran.

Tiba-tiba aku teringat pesan Ayah untuk memberi kabar jika akan menginap, tapi ponselku ternyata tertinggal di dalam tas. Aku mencoba cari salah satu penjaga keamanan kampus tapi tidak kutemukan mereka di mana pun, ingin bertanya pada yang lain malah tidak bisa. Aku yang pengecut ini merasa malu walau sekedar bertanya. Miris.

Aku tidak punya pilihan lain selain nekat kesana seorang diri. Saat menuju kesana, aku tak sengaja berpapasan dengan satpam kampus, rautnya tampak murung dan pucat, tapi aku coba menyapanya dengan sopan namun pak satpam tak merespon sama sekali, kurasa ini cukup aneh. Berpikir positif saja lah mungkin Pak satpam hanya kelelahan karena harus menjaga kita dari pagi hingga malam saat ini.

Aku menapaki anak tangga satu per satu, suara benturan sepatuku menggema di gedung sunyi itu. Setelah sampai aku makin terheran-heran, kok lampunya tidak dinyalakan padahal Pak satpam habis dari atas sini.

Gedung ini sangat gelap hingga membuatku merinding. Aku mulai menyesal karena pergi seorang diri. Tapi kemudian aku berfikir lagi, memang nya aku akan minta tolong kepada siapa? teman saja belum punya. Yah, aku yang pemalu dan sulit bersosialisasi ini agak sulit berbaur dengan yang lain hingga sampai hari ini masih belum memiliki teman.

Setelah sampai di atas gedung ini, suasananya begitu gelap dan mencekam, ada pohon lebat yang rantingnya mencapai koridor hingga daun-daun keringnya bertebaran di lantai, ini menambah kesan menyeramkan pada gedung.

Selain merinding, aku juga merasa sesak, tapi kuberanikan diri untuk mencari saklar lampunya karena jika gelap akan sulit menemukan keberadaan tasku.

Saat sudah berada di depan pintu, aku melihat ke bawah sepatu. Aku menginjak daun hijau segar berbeda dengan daun lain yang memenuhi lantai. Namun, saat aku ambil terdapat bercak merah pada daun itu. Mungkin hanya cat pikirku.

Aku membuka pintu ber-cat biru itu dengan perlahan, tetapi hawa di sekitarnya terasa dingin, jantungku juga berpacu dengan cepat, ada apa ini?.

Tolooong,

Tooloong,

Kudengar suara lirih meminta tolong, aku ketakutan tapi juga penasaran. Aku masuk dan meraba-raba dinding. Saklarnya susah sekali didapat.

Tolooong,

Suara itu semakin mendekat, aku panik. Keringatku mengucur deras. Dengan nafas memburu aku ingin menoleh ke belakang tapi, brukk. Suara benda terjatuh membuatku terlonjak kaget, hampir saja aku teriak. Jantungku makin berpacu dengan cepat, ritme nafasku sudah tidak beraturan lagi.

Aku mendengar suara lirih minta tolong tadi berada tepat di belakangku. Aku ketakutan. Sangat ketakutan. Kuberanikan diri menoleh dan betapa terkejutnya aku.

Seorang wanita berambut hitam panjang dengan pakaian putih. Wajahnya berantakan penuh oleh darah dan nanah. Perutnya bolong hingga organ tubuhnya kelihatan. Ada daun-daun menempel di sekitarnya. Aku jadi teringat daun bercak merah yang kudapat di depan pintu.

Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Aku gemetar, menangis karena ketakutan.

“Kumohon jangan ganggu aku!”

Kalimat itu aku katakan berulang kali.

Tapi hantu itu malah mengulurkan tangannya, penuh ulat yang sedang menggerogoti dagingnya. Aku mundur dengan tergesa-gesa.

“Tolong.. Tolong aku.. Aku kesepian.. “

Aku terpojok. Meja di belakang menghalangi pergerakanku. Tangan hantu itu mencapai leherku, baunya sangat menyengat dan busuk. Rasanya ingin muntah, tapi ketakutan lebih mendominasi.

“K-kumohon jangan lakukan ini, b-biarkan aku pergi.”

“Tidak. Kau akan ikut bersamaku hihihi.. Akhirnya aku tidak kesepian lagi . Hihihi…”

Aku menangis. Hantu ini tidak mau mendengarku. Dia terus mencekikku hingga rasanya sulit bernafas. Mungkin inilah akhir hidupku, sangat tidak elit. Mati di tangan hantu.

Tiba-tiba aku mendengar suara memanggil namaku dengan keras. Kubuka mata dengan cepat. Aku melihat sekeliling. Loh, ini kan di aula kampus, yang tadi itu cuma mimpi?. Aku melihat sekeliling lagi, orang-orang sibuk dengan kegiatan masing-masing, sedangkan di sampingku ada seseorang, mungkin dia yang membangunkanku.

“Sepertinya kamu mimpi buruk yah?” Tanya orang di sampingku itu. Aku hanya menatapnya kebingungan, namun tak lama kujawab.

“Yeah, kurasa begitu.” Aku memijat dahi karena masih terasa pusing. Bisa-bisanya aku mimpi hal menyeramkan seperti itu di kampus. Kemudian aku merasa ada mengganjal di tangan, ternyata aku daun bercak merah persis yang ada dalam mimpi. Jangan-jangan yang aku alami itu bukan mimpi? Tapi.. Ah aku sangat kebingungan.

Kuambil tisu untuk membungkus daun tersebut, kebetulan mahasiswa lain sedang diberi tugas untuk membakar sampah. Kubuang daun itu ke dalam api yang berkobar tinggi dan terbakar dalam sekejap.

Kucoba melupakan mimpi itu, tapi setiap melihat gedungnya, aku selalu teringat. Bisa saja mimpi ini hanya bunga tidur tapi kemungkinan bisa juga merupakan sebuah petunjuk akan gedung itu.

Waktu demi waktu berlalu dengan cepat, pikiran akan gedung itu makin terkikis diingatanku. Aku sibuk akan urusan kuliah, tugas dan kegiatan organisasi. Meski gedung itu masih menjadi misteri.

Sumber Gambar: bibitbunga.com