Dari Lapuang Meneropong Jejak Lampau Passokkorang – Bagian 7

Makam Todilaling di Puncak Bukit Lapuang Desa Napo Kecamatan Limboro Polewali Mandar

Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana – Penguatan Identitas, Kebhinnekaan dan Kemaritiman Mandar

Reportase: Muhammad Munir

KAMI tiba di puncak Lapuang atau Makam Todilaling disambut dengan hujan gerimis. Di Kompleks makam yang sementara masih proses renovasi perluasan ini kami dijamu oleh keluarga Adam, penjaga makam. Tak ada pilihan, menu makanan khas para peziarah makam Todilaling menggoda selera para peneliti. Kami kemudian makan bersama, foto bareng, sebagian lagi selfie dan berdiskusi dalam berbagai tema tentang Mandar.

Ini menjadi sebentuk bina akrab antar tim dari Rumah Program Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra BRIN Makassar dengan Tim lokal serta penjaga makam. Setelah makan, sebgian mendokumentasi suasana makam dan mengintai hal-hal penting di sekitar makam. Mulai dari jenis pohon disekitar makam sampai kepada temuan-temuan disekitar pelataran makam. Penulis memilih bergabung dengan Ian dan Ifa bersama Muhammad Dachlan untuk proses pengukuran situs makam Todilaling. Dua buah batu bulat panjang berdiri tegak.

Ukuran batunya berbeda, satu agak besar dan satunya kecil, bagian ujung kepala nisan diikat dengan kain putih. Model batu nisan ini menandai bahwa itu adalah jenis nisan masa pra islam. Terlebih setelah orientasi makam dilacak melalui anfroid oleh salah satu tim menunjukkan posisi barat timur sebagai ciri bahwa makam tersebut adalah makam pra Islam, sebab pemakaman setelah Islam semuanya berorintasi arah utara ke selatan.

Sebatas itulah yang dilakukan oleh tim, sebab proses selanjutnya sangat tidak mungkin dilakukan yakni Testpit dengan cara penggalian di sekitar makam yang tentu saja membuat semua tim sepakat untuk tidak melakukan hal tersebut. Jangankan menggali, untuk hadir di sekitar makam saja sudah beruntung sebab penulis pernah mengantar seorang penelti yang tidak sempat melakukan risetnya dengan fokus lantaran ia tidak direstui oleh arwah Todilaling.

Tanda tidak restunya itu ditandai pada saat berada di lokasi gerbang masuk kompleks makam. Angin tiba-tiba bertiup kencang. Daun dan ranting berjatuhan. Begitu mengerikan. Tamu yang penulis antar itu akhirnya harus dipulangkan. Begitu terjauh dari kompleks makam, tiba-tiba angin berhenti bertiup. Bahkan pernah seorang wanita di Jogyakarta kesurupan saat berada di lokasi makam.

Selama beberapa hari, kondisinya tidak berubah. Menurut para sepuh di Tinambung, orang itu punya niat jelek atau maksud tertentu tentang Mandar. Wallahu A’lam.

Hujan masih membasahi saat semua proses pengintaian dan pemantauan Makam Todilaling selesai. Kami menunggu hujan reda, kami berdiskusi terkait agenda selanjutnya setelah dari Kompleks Todilaling. Pak Amir dan Budianto menyarankan untuk menelusuri eks perkampungan Saleko (Napo Saleko) yang letaknya masih dalam wilayah administratif Desa Napo. Pak Amir dan Pak Budianto adalah peneliti yang dituakan dalam rombongan ini. Pak Amir adalah ketua rombongan berdasarkan surat tugas No. B. 42615/III8.7/KP.11.00/10/2022 bertanggal 04 Oktober 2022. Muhammad Amir selama ini dikenal sebagai peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulsel.