Dari Lapuang Meneropong Jejak Lampau Passokkorang – Bagian 7

Makam Todilaling di Puncak Bukit Lapuang Desa Napo Kecamatan Limboro Polewali Mandar

Dalam periode awal sejarah, selain Kalumpang dan Bonehau, terdapat juga Banua Dato Karappuanna Adolang dan kerajaan besar di tanah Mandar bernama Banato yang perkembangan selanjutnya ditaklukkan oleh Kerajaan Pasokkorang. Kerajaan Banato hancur lebih dahulu dan lebur dibawah kekuasaan Passokkorang.

Salah satu dari Tomakaka’ Passokkorang pergi ke Bukit Karampuanna sehingga terjadi proses kawin mawin antara kedua belah pihak dan puncaknya kerajaan Passokkorang bertumbuh dengan pesat dan cukup lama di Mandar.

Perjanjian Bocco Tallu (Alu, Sendana dan Taramanu’) yang disinyalir oleh sebagian besar sejarawan Mandar telah ada pada abad ke-8 sampai abad ke-12.

Jika Alu, Sendana dan Taramanu benar telah ada pada abad ke-8, maka Passokkorang pasti lebih dahulu Berjaya, sebab Perjanjian Bocco Tallu pertama maupun yang kedua diinisiasi sebagai bentuk mengantisipasi ekspansi dan invasi dari Kerajaan Passokkorang.

Puatta di Saragian (Alu), Daeng Sirua (Sendana) dan Puatta di Galu-galung (Taramanu’) maupun Puatta I Lepong adalah sosok yang tak ingin menerima Passokkorang sehingga menggalang kekuatan baru untuk melawan Passokkorang.

Keberadaan Kerajaan Passokkorang pada masa itu juga diakui oleh Dr. Kathryn Wellen dalam sebuah tulisan singkatnya kepada penulis:

“On the summit of the hill were a number of ceramic sherds ranging from early Chinese monochromes to Ming celadons and Ming blue-and-whites. This is evidence that Passakorang was part of the trade networks that from the thirteenth century onwards connected South Sulawesi to the wider archipelago. On the opposite side of the river is a commemorative site known as Allamungung Batu where the “seven upriver and seven downriver” federation of Mandar is said to have been established.”

(Di puncak bukit ada sejumlah singkapan keramik mulai dari monokrom China awal hingga seladon Ming, Ming biru dan putih. Ini adalah bukti bahwa Passakorang adalah bagian dari jaringan perdagangan yang sejak abad ke-13 dan seterusnya menghubungkan Sulawesi Selatan ke nusantara yang lebih luas).

Beberapa situs tentang Passokkorang

Temuan Kathryn Wellen ini membuktikan kebesaran Passokkorang yang ditunjang oleh aliran sungai Maloso (sekarang sungai Mapilli) dan Pelabuhan Buku (sekarang Desa Buku Kecamatan Mapilli).

Keberadaan pelabuhan Buku ini boleh jadi bantahan bahwa jika selama ini penulisan sejarah menganggap Kerajaan Gowa satu-satunya kerajaan maritim terbesar setelah runtuhnya Majapahit di pulau Jawa, maka hal itu dapat ditampik dengan bukti arkeologi buatan bangsa Cina yang banyak ditemukan di daerah Buku sekitar tahun 1960-70-an. Benda arkeologi atau porselin yang dimaksud itu berupa keramik, guci, mahkota dan sebagainya. Disinyalir benda arkeologi tersebut adalah buatan pada masa Dinasti Tang (abad 7-10 M), Dinasti Song (abad 10-13 M), Dinasti Yuan (abad 13-14 M), dan Dinasti Ming (abad 14-17 M) di Cina (Suardi Kaco, 2018).

Keberadaan porselin ini bila dirujukkan ke penelitian Anthony Reid dalam bukunya “Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680”, yang menyebutkan bahwa perdagangan porselin lebih dominan dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Cina di Nusantara.

Demikian juga keberadaan Pelabuhan Buku yang kondisinya sangat didukung oleh beberapa faktor yang disyaratkan oleh Adrian B. Lapian dalam bukunya, “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 s/d 17”. Menurutnya, bukti keberadaan sebuah pelabuhan terletak pada faktor ekologinya yang normal dimana kapal berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin, dan arus yang kuat, serta tempat yang paling baik untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak jauh kedalam.

Kondisi ekologi Buku yang memang memiliki volume angin dan ombak yang sedang, tidak keras, serta keberadaan sungai Maloso (Mapilli) yang berbadan lebar dapat dijadikan tempat berlabuh kapal-kapal besar. Selain pendekatan teoritis, bukti lain yang menguatkan keberadaan pelabuhan di Buku adalah adanya memori kolektif berupa sejarah lisan (oral history) masyarakat setempat tentang kapal-kapal besar yang sandar di bibir pantai Buku sekitar tahun 1960-an.

(BERSAMBUNG)