Ia telah banyak melahirkan karya-karya ilmiah tentang sejarah dan tokoh-tokoh Mandar. Diantara beberapa karyanya yang terkait dengan Mandar adalah Perjuangan Hammad Saleh Menentang Jepang dan Belanda di Mandar 1942-1947; Gerakan Mara’dia Tokape di Mandar 1870-1873, Penataan Mandar dan sejumlah tulisan yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah seperti Walasuji, Pangadereng serta lainnya.
Demikian juga Pak Budi atau Budianto Hakim adalah peneliti dan arkeolog yang sejak tahun 1990-an sudah merambah berbagai wilayah Mandar, bahkan keluar masuk hutan Kalumpang dan Bonehau.
Penulis pertama kali bertemu dengan Pak Budi pada tahun 2017 saat menyertai Dr. Kathryn Wellen, Dr. Ian Caldwell bersama Horst H. Liebner dalam Tur Arkeologinya di sejumlah titik kerajaan tua di Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Passokkorang di Sulawesi Barat.
Tahun 2018, kembali bertemu di Makassar saat acara Seminar Nasional Mandar Discovery, sebuah kegiatan kerjasama UNHAS dan PEMDA Majene dimana Budianto menjadi salah satu pembicaranya. Dari dua kegiatan itulah sehingga penerima penghargaan Ahmad Bakri Award XVIII Tahun 2022 di Bidang Sains dengan prestasi sebagai penemu seni figuratif tertua di dunia ini menjadi sangat familiar bagi penulis. Ketika ia datang kembali ke Mandar, beliau tak lagi menjadi orang asing bagi penulis. Sama seperti Pak Amir yang kerap berkunjung ke Mandar untuk kegiatan penelitiannya.
Bahkan penulis pernah beberapa kali ke kantornya.
Pertemuan penulis dengan Pak Budi di Bukit Lapuang atau Makam Todilaling kali ini mengingatkan pada sebuah kegiatan melacak jejak Passokkorang di sejumlah titik di Polewali Mandar. Todilaling adalah sosok yang dikenal sebagai perekat antara Balanipa Mandar dengan Kerajaan Passokkorang.
Konflik yang terjadi antara Balanipa Mandar dengan Passokkorang berhasil diredam setelah Todilaling berhasil membunuh dan melumpuhkan beberapa tomakaka’ sekutu Passokkorang seperti Kayyang Palasang, Tomakaka’ Lerang, Tomakaka Salarri dan I Karae Lette, Tomakaka’ di Renggeang.
Kendati pada saat itu, Passokkorang yang dipimpin oleh Takia Bassi belum sepenuhnya jatuh dalam kekuasaan Balanipa tapi konflik antar kerajaan saat itu bisa diselesaikan lewat jalur perjanjian. Nanti setelah Takia Bassi wafat dan diganti oleh putranya bernama Labassi Kalling, baru kemudian Passokkorang ditumpas habis oleh Balanipa yang juga sudah dibawah kepemimpian Tomepayung, putra Todilaling.
Sampai disini, sejarah kemudian buram dan menjadikan Passokkorang sebagai pesakitan dengan stigma sebagai kerajaan yang dzalim dan biadab. Rajanya dicatat sebagai pemimpin yang suka perang dan arogan serta biadab.
Hal ini terdapat dalam manuskrip lontar Mandar yang tersimpan di Balai Kearsipan Makassar dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Lontar tersebut bisa dibaca pada lontar No. 01 /MKH/8/Unhas/UP Rol 55 No. 8 dengan Judul: Pattodioloang di Mandar; naskah potongan bahagian awal dari Naskah No. 01/MKH/2/Unhas/UP Rol. 9. No. 2 […] Silsilah Puang Ulunna Salu dan Maraddia Passokkoran; No. 01/MKH/2/Unhas/UP Rol 75 No. 2 dengan judul: Lontaraq Mandar Arung Passokorang kawin dengan anak Arung Batulappa. […]; dan No. 01/MKH/2/Unhas/UP Rol 07 No. 2 Judul: Lontaraq Adat Mandar I […] menceritakan tentang Mara’dia Passokkorang […] (Horts H. Liebner, 2016).