Bahasa Keluhuran

60 / 100

Oleh: Abdul Muttalib*

Daku sangat menikmati ketika suatu waktu diajak ke suatu acara oleh komunitas pemuda, untuk berdiskusi di peringatan hari sumpah pemuda, menggunakan sudut pandang bahasa dan sastra.

Acara yang tadinya terasa hikmat, seketika berubah setelah ditodong pertanyaan dari salah satu peserta diskusi. “Bagaimana cara menjaga keluhuran dalam berbahasa?”

Sejenak daku diam seribu bahasa. Kata keluhuran itu seketika mengajak daku meninjau keluhuran dari para leluhur yang sudah berada di masa lampau. Masa lampau yang seketika daku jenguk dengan nostalgia penuh kenangan.

Kenangan atas cara berbahasa yang lebih banyak ditunjukkan melalui tindakan. Keindahan bahasa leluhur yang minim terbahasakan secara lisan, melainkan lebih banyak terperagakan lewat laku.

Mungkin para leluhur senantiasa menghindari parade kata-kata teknis bernada: petunjuk, himbauan bahkan bernada perintah yang justru miskin pelaksanaan. Daku mendadak malu, membicarakan keluhuran yang bisa jadi didekati dengan kacamata yang tidak luhur.

Kosakata luhur yang tampaknya sudah jarang ditemui dalam tindak berbahasa, terlebih fokus dan orientasi hidup berkebudayaan di era milenial. Diksi luhur itu kini seolah hilang di telan gegap gempita acara webinar, seminar, sarasehan, dan diskusi yang teramat banyak dipenuhi kata-kata bisa jadi minim aksi.

Serupa dengan gejala bahasa yang membanjiri dunia virtual yang dipenuhi rangsangan, intervensi, bahkan interupsi atas kasadaran berbahasa yang terlanjur miskin arti, minim makna, dan kehilangan hikmah atas segenap peristiwa kebahasaan.

Peralihan dari dimensi hidup yang nyata, bergerak dan merinsek-lebur ke dalam dunia yang maya. Peralihan budaya kebahasaan yang tidak lagi diarungi dengan mata air pena penghayatan hidup, melainkan dipenuhi jejak digital kelingking.

Jejak digital di ragam sosmed lewat ragam aplikasi gawai yang secepat kilat melahirkan ribuan, bahkan jutaan kosakata dalam sepersekian detiknya. Prinsip kecepatan yang meniadakan etos, laku dan keluhuran etik kebahasaan.

Padahal rekam jejak leluhur dulu, dengan segala keterbatasan media bahasa, justru meninggalkan jejak makna keluhuran yang mengabadi dan masih menancap di kesadaran dan batin zaman. Sehingga diskursus “teks” terasa kurang memadai jika hanya dilihat sebagai gejala bahasa semata.

Melainkan sedianya ikut diterjemahkan sebagai gejala “konteks” yang sudah jauh berbeda. Kehadiran “teks” yang lazim didahului “konteks”, sepertinya tidak akan memberikan banyak waktu bagi generasi milenial untuk memahami makna dari kata “anjai” misalnya.

Gejala “konteks” yang menganut prinsip kecepatan, bahkan percepatan yang sudah memicu lahirnya kosakata yang cenderung tertatih secara gramatikal, cacat logika, dan miskin makna jika hendak dikaji secara mantik. Atas pertanyaan itu, daku hanya mampu memberikan pernyataan sederhana.

Biasanya “teks” yang gegas terlahir mendahului “konteks” pasti terasa ganjil, dan untuk sesuatu yang ganjil, daku tidak berani berharap lahirnya nilai keluhuran berbahasa?!.

*Pecinta perkutut, tinggal di Tinambung.