TARAWIH PEPOHONAN

Catatan Mini Kebudayaan: M. Rahmat Muhtar

Beberapa malam di bulan suci ramadhan ini absen shalat sunah tarawih bersama di mesjid. Usai buka puasa, shalat magrib dan isya. Terasa seluruh darah menghela sekujur badan duduk diam nongkrong pada kursi santai di atas loteng studio kerja. Tanpa gadget, laptop dan buku catatan. Hanya rokok dan kopi berkepul angan bebas tembus insting kemana mengalir.

Di atas studi loteng yang semi out door, semilir angin hilir mudik memapah suara nyaring dari corong toa mesjid yang membacakan hasil celengan tarwih kemarin malam, ceramah uztas serta bacaan surat pendek dalam tarawih. Serasa nimbrung di mesjid meski berjarak tanpa sajadah, baju koko dan kopiah. Terus memusat diam. Langit, bintang dan rembulan yang nampak seakan jadi tayamum. Inikah masrum spiritual, godanya.

Diam perlahan memucuk, tidak juga hening. Pepohonan di luar yang dari awal bersaksi menggoda fokus : lihatlah aku, lihatlah aku. Ya, pepohonan meliuk-liuk pelan naik turun dituntun semilir semesta, seperti ikuti atau tarawih bersama di mesjid jagat. Magma air mata bergemuruh, tertahan tak mengalir. Kalau toh mengalir, mungkin ia kan jadi danau dosa yang dalam. Serasa sangat kecil. Kecil sekali di ruangnya.

Diam sekonyong meranggas, sedikit dibuyarkan Kucing tetangga yang lewat memapah anaknya pindah tempat. Biarlah lewat, jangan bergerak. Keseimbangan kembali tertangkap, melihat kanvas putih dan kuas bagai kain kavan dan nisan kuburan tak bernama. Diri kembali gadget, online dan online, maya yang nyata dan nyata yang maya. Sedang Pepohonan masih tarawih.