FPRT (Front Pembebasan Rakyat Tertindas) | Narasi Perjuangan Yang Tersobek | (Bagian 5)
Catatan Muhammad Munir
Kabupaten Mamasa, eks wilayah konfederasi Pitu Ulunna Salu yang di zaman penajajahn menjadi Onder Afdelling Mamasa dalam wilayah pemerintahan Afdelling Mandar. Daerah ini dikenal sebagai pusat pengembangan agama Kristen di wilayah Mandar saat pemerintahan Hindia Belanda benar-benar menguasai daerah ini pada dari tahun 1908 sampai menjelang kemerdekaan. Pembawanya adalah para pendeta (zending) dari Maluku dan Makassar yang ikut pada kapal-kapal Belanda seperti pendeta Becer dan D.S.H.P. Bransma yang mendirikan gereja-gereja di Mamasa, Mambi, Pana’ dan Sumarorong, kemudian sekolah-sekolah dan rumah sakit yang hingga kini masih ada yang di fungsikan.
Kala itu, taraf hidup masyarakat daerah Pitu Ulunna Salu ini masih sangat tertinggal, sehingga untuk memajukan kehidupan mereka, pemerintah Belanda membuat poros jalan yang menghubungkan Polewali (daerah pesisir) dengan Mamasa (daerah pegunungan) sepanjang 92 kilometer. Pekerjaan jalan poros ini dimulai pada tahun 1920-an dan selesai setelah menjelang tahun 1940. Pekerjanya terdiri dari masyarakat pegunungan sendiri bersama dengan masyarakat pesisir dengan kerja suka rela.
Dengan adanya jalan ini, taraf hidup masyarakat pegunungan (penganut kepercayaan tradisional) mulai maju. Banyak di antara mereka yang dipindahkan oleh Belanda ke daerah pesisir untuk menjadi pengurus gereja disamping karyawan pada kantor-kantor Belanda. Mereka inilah yang kemudian menjadi pembina Kristen Protestan dan Katolik yang sekarang masih bisa dijumpai organisasinya dengan nama “Persatuan Pemuda Gereja Mamasa” yang pusatnya ada di Mamasa.
Data tersebut memberikan keterangan bahwa cara masuknya Kristen di daerah Mandar ini mengikuti pola pada struktur pemerintahan penjajahan Belanda dengan pendekatan materi, seperti menarik calon pemeluknya dengan kekuatan ekonomi, pengadaan sarana kegiatan dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat primitif pegunungan yang merasakan keuntungan materi dari pemerintah Belanda, tertarik untuk menerima tawaran misi para pendeta yang mengikuti pola penjajahan.
Dilain pihak masyarakat Islam mayoritas yang merasakan intimidasi penjajahan, tidak dapat berbuat lebih sempurna mengenai kegiatannya dibidang Agama karena para ulama berada dalam kungkungan dilematis membina masyarakat Islam. Terlebih untuk mengislamkan sisa-sisa penganut kepercayaan tradisional setempat sangat tidak mungkin dilakukan karena telah menjadi obyek para pendeta. Semua ini menegaskan kepada kita bahwa penjajahan Belanda bukan hanya mencari keuntungan materi bagi kepentingannya, tapi juga penjajahan Agama dan budaya (ideologi) dengan pengaruh negatifnya sebagaimana yang terkandung pada kutipan di bawah ini:
Kebudayaan Belanda dimasukkan secara berencana melalui apa yang disebut “politik sopan” atau “etische politiek” sejak tahun 1901. Pengawasan terhadap lembaga pendidikan Islam yang disebutnya sebagai “Mohammedaan schescholen” diawasi dengan peraturan termasuk dalam staad blad 1905 nomor 550, kemudian dirubah dengan staat blad 1925 nomor 219 yang di kenal dengan “Georoe Ordonantie”. Keterangan mengenai daerah Mandar dikatakan: Pada tahun 1908, datanglah Belanda di Daerah Mandar terutama di daerah Balanipa menanamkan pemerintahan penjajahan sehingga terjadilah perubahan besar di Balanipa. Disinilah tradisi adat atau adat-istiadat Balanipa berkurang atau terkikis sedikit demi sedikit akhirnya menjadi usang (B.K.P3. Departemen Agama R.I).
Kendati demikian, kehidupan masyarakat saat itu tidak mengedepankan agama sebagai symbol persaudaraan. Dintara meraka banyak orang bersaudara, kakak beradik, sepupu dekat hidup rukun walaupun mereka berbeda agama. Ada adik beragama Islam dan kakak beragama Kristen dan Mappurondo (Aluktodolo). Mereka hidup rukun dan tak saling mengganggu. Tapi ketika DI/TII masuk ke wilayah ini, semua hubungan itu menjadi rusak. Warga yang beragama Islam dihasut dan menteror rakyat beragama Kristen dan Aluk Todolo’ (Mappurondo). Hal tersebut terjadi di wilayah distrik Mambi dan Mehalaan. Di perkampungan Kristen, rakyat selalu siaga dan membuat pos penjagaan yang dilengkapi dengan katto’-katto’ (gentongan bambu) sebagai alat untuk memberi tanda jika ada serangan dari gerombolan pengacau DI/TII.
Dalam catatan Albert Allo (2015), ia mencatat peristiwa di Mehalaan pada Sabtu, 5 Juli 1952, Saat itu terdengar bunyi katto’-katto’ yang menandakan ada bahaya serangan gerombolan DI/TII. Gerombolan DI/TII masuk kampung Mehalaan dari arah Botteng sambil menembak ke udara menakut-nakuti rakyat beragama Kristen. Semua warga Kristen panik dan mengungsi ke hutan. Gerombolan terus ke kampung Keppe’dan membunuh banyak umat Kristen, ada yang menyebutkan sampai angka 120 orang mati terbunuh. Salah seorang korban adalah Guru J.F. Pelupessy asal Maluku yang telah menikahi seorang wanita Keppe’ dan yang telah berjasa mendidik anak-anak Keppe’/Salualo sejak tahun 1938. Ia dibunuh dengan sadis, lehernya digorok menggunakan parang dan mayatnya dibakar bersama rumahnya sedang istrinya diculik pasukan DI/TII dan dibawa ke daerah Mandar.
Keesokan harinya, Minggu tanggal 6 Juli 1952, umat Kristen Mehalaan yang telah melarikan diri ke hutan melakukan ibadah Minggu di tepi hutan di atas padang penggembalaan kerbau. Guru jemaat sedang memimpin doa syafaat ketika terdengar bunyi ledakan senjata dalam kampung Mehalaan. Tak lama kemudian mereka menyaksikan gereja dan rumah-rumah mereka dibakar. Gereja di Mehalaan ketika itu berdinding papan dan atap rumbia. Pada hari itu ada 3 orang penduduk Mehalaan yang terbunuh, mungkin gerombolan mengira mereka orang Kristen, ternyata ketiganya beragama Islam. Ketiga penduduk yang malang itu bernama Palu’, Pua’ Beroka dan Pua’ Salokko’.