Orasi Kebudayaan: Membaca Sejarah untuk Masa Depan Majene

Dr. Abd. Rahman Hamid, Dosen Sejarah pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (Foto: facebook Abd. Rahman Hamid)

Bapak/Ibu hadiran yang berbahagia

 3.  Perjuangan ALRI PS-Mandar

Pada awal tahun 1946, KRIS Muda Mandar mengutus seorang pemuda Pamboang Muhammad Amier untuk mengikuti pendidikan militer dan mencari bantuan senjata dari pemerintah RI di Yogyakarta. Di sana ia bertemu dan bergabung dengan para pejuang dari Sulawesi Selatan seperti Andi Mattalata, Andi Achmad Rivai, K.S. Masud, Edy Sabara, Alim Bachrie, dan Muhammad Daeng Patompo.

Sebelum Amier datang, markas tinggi TKR Laut membentuk ALRI 0018 pada Desember 1945. Lalu, pada 2 Mei 1946 namanya diganti menjadi ALRI Penyelidik Seberang (ALRI-PS) di bawah pimpinan Mayor Laut Djohan Daeng Mangoen berkedudukan di Sidoarjo. Wilayah operasinya meliputi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dari 500 anggotanya, ada 89 orang di Mandar di bawah komando M. Amier.

Pada bulan Juni, pimpinan ALRI PS mengeluarkan perintah segera ke Sulawesi. Satu dari dua rombongan itu menggunakan perahu layar menuju Majene di bawah pimpinan Kapten Said dengan tugas memberikan penerangan kepada rakyat dan mengacaukan siasat Belanda. Setelah bertempur dengan Belanda, rombongan ini kembali ke Jawa. Tiga bulan kemudian dibentuk 5 kelompok ekspedisi ke Sulawesi, namun hanya dua kelompok yang berhasil tiba yaitu rombongan Letnan I M. Arsjat Temba ke Polombangkeng dan rombongan Letnan II M. Amier dan Sersan Abd. Rachman ke Mandar.

Sebelum Amier berangkat ke Mandar, ia menerima dua pemuda Pamboang, Abd. Hae dan Buraera, yang diutus oleh GAPRI 5.3.1. Mereka berangkat ke Sulawesi pada awal November melalui pelabuhan Pasuruan dengan perahu lambo ke Pagarungan. Dari Pagarungan, untuk mengelabui musuh, mereka mengganti perahunya dengan perahu letelete Fathul Jannah. Dengan perahu ini mereka ke Kalukalukuang. Di sana mereka mendapat dua perahu dari penduduk setempat. Tiga perahu tersebut membawa para pejuang ke Sulawesi.

Perahu Fathul Jannah tiba di pantai Soreang 17 November. Pada hari itu juga dibentuk ALRI PS Daerah I Mandar di Pamboang dengan kepala staf Abd. Hae, kepala bagian Sabotase Muh. Daali dan Abd. Waris, kepala bagian penyidik M. Jahja, dan kepala Intendance Buraera dan Adang. Pada 25 Desember, pasukan ini pimpinan Abd Hae menyerang kubu pertahanan NICA di Pamboang. Mereka menghancurkan asrama dan menguasai Pamboang selama 17 jam, sehingga tentara NICA menyingkir ke Majene.

Rombongan M. Amier bertolak dari pelabuhan Pasuruan ke Sulawesi pada 17 November 1947 dengan perahu lambo Bintang Suasa. Tiga hari kemudian berlabuh di Paotere Makassar. Ia bertemu para pimpinan kelaskaran Hariamu Indonesia (HI) di Makassar dan Barru, sekaligus menyerahkan surat dari Letkol Abdul Qahhar Mudzakkar, Komandan TRIPS. Setelah itu Amier kembali ke Jawa membawa surat balasan dari pimpinan HI untuk Qahhar Mudzakkar dan Andi Mattalata di Yogyakarta.

Setelah tiba di Jawa, Amier mendapat tugas menyiapkan perahu untuk ekspedisi ke Sulawesi yang akan dipimpin Kapten Hasan Rala membawa 43 orang. Dalam rombongan ini ada A.A. Rifai, Sahabuddin, M. Djafar, R. Nasution, dan Mangoe Daeng Sialla.

Muhammad Amier menemukan sebuah perahu lete Kapten Baru (dibuat 1931) di pelabuhan Situbondo sedang mengisi muatan untuk pulang ke Pulau Kalukalukuang. Ia naik perahu itu untuk bertemu pemiliknya, H. Siti Hawa. Setelah mengetahui maksud Amier, Hawa setuju perahunya digunakan membawa pejuang ke Sulawesi. Perahu dan awaknya dibawa oleh Amier ke Situbondo. Nakhodanya adalah Haji Puang Menda dan lima awaknya: Ibnu Nadjar, N. Idris, Amin, Kunding, dan Nurdin.

Perahu Kapten Baru meninggalkan Situbondo pada 28 Januari 1947. Dua hari kemudian tiba di Pulau Raas, lalu lanjut ke Pulau Kalukalukuang. Ia tiba pada 2 Februari. Sebelas hari kemudian, perahu menuju Pulau Panikian, Barru. Pada 16 Februari, perahu ini diterpa angin sehingga tidak terkendali dan pada akhirnya kandas di atas batu. Pada malam itu dua motor boat Belanda menembaki mereka. Tiang perahu dan layar rusak. Para pejuang berenang ke darat dengan papan.