Orasi Kebudayaan: Membaca Sejarah untuk Masa Depan Majene

Dr. Abd. Rahman Hamid, Dosen Sejarah pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (Foto: facebook Abd. Rahman Hamid)

Penduduk Majene tidak hanya menjadi korban aksi bajak laut, tetapi juga bergiat memberantasnya, seperti dilakukan oleh I Tamassala Pua Aco Saboyang, Pua Cambang, dan Pua Labai dari Tubo Sendana yang membunuh puluhan bajak laut dari Kalimantan Timur di Kepulauan Balabalakang pada abad ke-19.

Fenomena bajak laut telah mengilhami sastrawan Makassar, La Side Daeng Tapala, menulis novel Badjak Laoet (1940) yang sangat diminati oleh pembaca. Ia juga menginspirasi budayawan Mandar, Andi Saiful Sinrang, membuat syair lagu “Tenggang-tenggang Lopi”, yang dipopulerkan Mety Baan. Dalam lirik lagu ini ada kata panja’jaq (penjajab), jenis perahu yang sering dipakai bajak laut Mangindanao melintasi Selat Makassar pada Desember, Januari, dan serta Oktober sampai Maret.

Bapak/Ibu hadiran yang berbahagia

Kapten Kapal America, David Woodard, yang singgah di Pambon (Pamboang) selama 3 hari pada Juni 1795 menulis bahwa Pamboang merupakan sebuah pelabuhan di Tremany (Mandar). Di sana banyak perahu dagang (padewakang) besar yang biasa berlayar ke Makassar, Batavia, dan pelabuhan lain di Nusantara. Saat menginap di istana, Maradia Pamboang memperlihatkan kepadanya 100 pucuk senapan miliknya.

Asisten Residen Kutai, J. Zwager (1853-1864), mencatat bahwa perahu- perahu dari Pamboang tiba di Kutai membawa beras, kelapa, minyak kelapa, “sarung Bugis” [sebenarnya sarung Mandar], dan budak belian. Beras diambil dari Kaili, Sulawesi Tengah.

Satu sumber asing menyebutkan bahwa Maradia Pamboang mempunyai 100 perahu, antara lain digunakan untuk mengangkut kelapa dari Mamuju ke Kaili. Ketika budidaya kelapa masih terbatas dan kurang produksi, para pedagang Pamboang menjual kelapa dan minyak kelapa ke pantai timur Kalimantan.

Pada abad ke-19 pelayaran di Selat Makassar mendapat perhatian Belanda. Pemerintah kolonial menjalin kontrak politik dengan raja-raja Banggae, Pamboang, Sendana, Binuang, Mamuju, Tappalang, dan Balanipa. Di antara poin kontraknya adalah bahwa (1) raja tidak membiarkan perompakan, perdagangan budak, dan perbudakan di wilayahnya, (2) pelaut dan pedagang hanya boleh berlayar atas izin pemerintah dan harus mengibarkan bendera Belanda, dan (3) tidak mengizinkan orang asing tinggal di luar pelabuhan tanpa izin Belanda.

Kalau terjadi perompakan kapal Belanda, seperti yang dilakukan oleh La Kapere (pengeran Pamboang) dan La Matupuang (mantan maradia Mamuju) pada 1858-1859, Belanda meminta ganti rugi kepada Maradia Pamboang dan Mamuju, namun kadang hanya dibayar sebagian atau tidak sama sekali. Pada bulan Oktober 1863, terjadi perompakan kapal Belanda di Tanjung Kait Tapalang. Mararabali sebagai Maradia Banggae dan pelaksana tugas Maradia Balanipa dengan tegas tidak mau membayar ganti rugi kepada Belanda.

Perompakan tersebut dalam pandangan Belanda merupakan tindakan melanggar hukum dan pelakunya disebut “bajak laut”. Tetapi, kalau ditinjau dari segi hukum laut, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh penguasa atau penduduk setempat yang memiliki pemerintahan sendiri sesungguhnya tidak melanggar hukum, sehingga pelakunya disebut “raja laut”.

Dari kajian sarjana hukum Belanda, G.J. Resink (2012), bahwa sampai akhir abad ke-19 negeri-negeri Mandar merupakan daerah yang merdeka dan berada di luar kuasa hukum Hindia Belanda. Itu menjadi salah satu fakta bahwa tidak benar Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh Belanda.

Sikap raja-raja di Mandar menyulut kemarahan Belanda. Pada 19 Mei 1866, Belanda mengirim tiga dari Makassar ke Mandar. Setelah pemukiman penduduk Balanipa dibakar, kapal menuju Teluk Majene menghancurkan istana Banggae sehingga maradia terpaksa menyingkir ke pedalaman Pamboang.

Belanda juga menghadapi perlawanan rakyat Mandar di bawah pimpinan Maradia Tokape pada tahun 1872-1873. Namun, dengan kekuatan militernya, Belanda berhasil menumpas perlawanan tersebut. Tokape ditangkap lalu diasingkan ke Pacitan Jawa Timur.