Oleh: Sahabuddin Mahganna
Provinsi ke 33 dimekarkan tanggal 5 Oktober 2004 berdasarkan UU NO. 26 tahun 2004 dari Sulawesi Selatan ini, lalu dikenal dengan kejujuran, keadilan, ketabahan, kesabaran serta keberaniannya, proses itu terjadi disebabkan istilah tentang Arayang. Dibalik semua itu, kampung Mandar akan banyak ditemukan diberbagai daerah di Sulawesi Barat bahkan Indonesia.
Oleh karena budaya musik Indonesia telah dikuasai oleh panggung industri, atau dengan kata lain musik yang tidak memberikan nilai penting pada pesan-pesan edukatif, baik melalui lirik maupun penampilan dan dukungan penyajian lainnya, musik populer nyatanya tidak menjanjikan pesan atau nilai-nilai leluhur yang bersumber dari kearifan lokal budaya tradisi musik. Adalah ironis, anak-anak sebagai salah satu potensi dan kader budaya bangsa, dalam kenyataanya justru terasing dari budayanya.
Telah diakui dunia ini semakin memperlihatkan eksistensinya sebagai sesuatu yang diperebutkan, alat ataupun segala sarana dan fasilitas yang semakin canggih, tentu sangat mengundang perhatian untuk lebih menengok ke sana, tanpa sadar juga makin terlupakan dimana kita memulai aktifitas itu. Dengan demikian perlu perenungan untuk revitalisasi, paling tidak menghargai bahwa dunia bisa modern akibat dituntun oleh tradisi “apa saja”.
Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan tersebut, kita patut untuk memberikan sedikit pemahaman tentang indikator musik secara pakem guna menunjang idealisme bermusik bagi generasi musisi khususnya di Sulawesi Barat.
Sebuah instrumental musik Mandar yang merupakan hasil dari eksperimen masyarakatnya, dari sini akan dipertemukan beberapa maestro musisi dawai dan penerusnya, melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional khususnya musik dawai (Kacaping dan Sayang-Sayang), mengangkat kembali beberapa item not maupun lirik, menghar-monikan, membuat harmoni atau menjadikan harmoni, tentu diharapkan pergeseran nilai-nilai tradisi dapat dibendung serta duka dan kejenuhan bisa terobati.
Sebagai perbandingan, musik dawai hadir ditengah-tengah masyarakat Mandar terkhusus untuk wilayah Kabupaten Polewali Mandar, telah mencatat peristiwa historis culture, yang tentu saja tidak terlepas dari pelakunya, menyimpan bahkan menitipkan sesuatu yang bermakna untuk dipelajari dan dihargai.
Selain itu, mereka dahulu telah memberi pelajaran penting bagi generasinya, yang sejatinya sudah dipetik dan dipraktekkan meski proses penemuannya amatlah sederhana, warisan emas berbentuk hiburan yang ditemukan itu, menjadi identitas wilayah, menjadi tontonan yang lagi-lagi patut untuk kita kaji, sumbangan pemikiran yang tidak terencana oleh pelaku tradisi musik dawai, menambah khasanah daerah secara tidak langsung.
Kontinuitas perulangan ritmis dan melodi di Mandar secara makro dan secara khusus untuk Etnik Mandar Sulawesi Barat. Dari sini, dipandang perlu penguatan sejarah dengan menjadikan Kacaping dan Sayang- sayang dalam total, disebar luaskan sebagai muatan lokal berbasis edukasi, bahwa sejak dahulu di Mandar pengenalan, pemahaman tentang ketaatan, atau total pada perulangan-perulangan yang menjadikan kita lebih ter-asah, bahkan saling memahami diantara sesama dan lebih jauh pada metode untuk mengenal Tuhannya.
Kontinuitas dari Mandar ini, telah dirancang dalam bentuk even Mandar Dawai Etnik Festival 2021 sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan kebudayaan, berharap memiliki pengaruh kuat bagi masyarakat sebagai bentuk penghargaan untuk pelaku tradisi khususnya musisi dawai yang masih taat dalam permainannya.
Gagasan yang berbasiskan seni pertunjukan musik tradisi merasa perlu sebuah even yang diformulasi sesuai even pertunjukan musik rakyat dengan tajuk Mandar Dawai Etnik Festival 2021 sebagai refleksi dari panggilan rasa untuk tetap konsisten dan komitmen memberikan sumbangsih yang bergerak dalam wilayah kesenian dan kebudayaan.
EKSISTENSI DAWAI MANDAR SEBAGAI KULTUR
Merupakan suatu hal yang tidak lepas dari peradaban sejarah. Dawai di Mandar sejak ribuan tahun yang lalu, dan karena kepentingan suatu instrumen dari kebiasaan masyarakatnya
mengalunkan lagu ketika sedang menidurkan anaknya tanpa pengiring, sementara pandangan lain konon peristiwa itu muncul oleh pedagang dari India sebagai embrio.
Kedua versi itu, menjadi cikal bakal di Mandar pegunungan, melahirkan media bentuk ruang resonansi dari tempurung dengan seutas tali berbahan rotan.
“Kanjilo” juga disebut “Tandilo” dalam wilayah Pitu Ulu Salu, instrumen sederhana sebagai pengadopsian nya. Lalu entah kapan dimulai, masyarakat mendomestikasi menjadi
“Kacaping” yang kemudian lebih populer dalam pertunjukannya dengan menghadirkan beberapa gadis ayu sebagai Peoro, atau sumber inspirasi bagi pemain dan disawer.
Dalam Peoro ini memiliki banyak pesan, sejatinya telah memperlihatkan keperkasaan untuk perempuan Mandar yang nampak bukan dengan kekuatan, melainkan kesabaran pada segala hal, ini pula telah membuktikan bahwa keterlibatan dari tiga sisi, (Pamain, Peoro dan Penonton), berjalan dengan penuh keakraban.
Kacaping dan Pakkacaping adalah sesuatu hal yang berbeda, namun memiliki hubungan yang erat dan tak terpisah. Semetara pada masa yang bersamaan itu, bentuk yang lainnya seperti Gesoq, hanya tinggal cerita di pegunungan hingga dataran rendah, membuktikan bahwa dari dulu manusia Mandar punya daya insting alunan yang kuat.
Pemain-pemain periode pertama dimulai dari Aman, Sumaati, dan Paso, mereka sebagai pelopor profesional yang sebelumnya telah diketahui memiliki guru yang juga berguru. Sainong Mambie mengikuti guru Aman, lalu Sainong menurunkan ilmu itu pada Taghi (kannai Pejang), demikian pula Taghi kepada Sara’. Paragai kemudian muncul sebagai pemain yang populer karena kebesaran hati Sara’ yang melanjutkan dan menurunkan ilmu-ilmu itu, sehingga suara khas dari Paragai diikuti oleh Kende (Kannai Adam kannai Toraya) anak menantu dari Aman, begitu pula pada Hamil Segerang.
Suara-suara khas mereka telah memperkenalkan Mandar menjadi punya power dalam alunan tradisi, kendati demikian dalam sesama pakkacaping tak ada istilah guru, sebab mereka bermain hanya mengikuti lagu-lagu yang dilakukan atau dimainkan oleh pemain-pemain sebelumnya. Sementara Kadathira (Abana Fatimah) masih seangkatan dengan Kannai Toraya, pemain tak asing bagi kita semua, berjalan sendiri mengikuti orang tuanya, yang juga banyak mengikuti ciri khas dari pemain sebelumnya. Beliau melahirkan murid seperti Ka Musa, telah dipahami lebih lihai pada nyanyian keke. Kai, Baharuddin juga demikian. Periode-periodenya atau tahun apa, ini diakui tak banyak diketahui, oleh sebab mereka hanya mampu memperkirakan.
Lebih memprihatinkan, pemain kakak beradik dari kalangan perempuan seperti Marayama dan Satuni, mereka berguru langsung pada kakaknya bernama Asih, dipastikan tidak bisa lagi bermain seperti dulu kala hingga saat ini, oleh karena Marayama terganggu dengan fisik, penglihatan dan kekakuan tangannya. Sementara Satuni dengan kerentahan masa tuanya, terganggu pada pendengaran dan pernafasan yang tidak lagi mampu bertahan dalam meramu dinamika atau ketepatan nada-nada.
Dalam masa kolonial permaianan dawai lain tiba pada 1512, Ensambel Fado masuk ke Indonesia melalui para pelaut dan budak portugis, namun 1661, hiburan ini mendapat pengaruh dari Gereja protestan Belanda, hingga 1880 beralih atau dilokalkan oleh Indonesia menjadi Keroncong.
1950 alunan itu tiba di Sulawesi menjadi Langgam atau Gambus dengan penyesuaian lagu lokal mereka, juga Mandar pun tak ketinggalan seperti kelompok gambus Tarakan, Rahim Camanda Tande di majene, juga Pikko melalui pimpinannya Hawu dari Napo, Alimuddin Wonomulyo (orkes Gambus El Soraya).
Dalam periode yang sama, penyanyi penyanyi tersohor seperti Syaiful Sindrang seorang pejuang Pamboang yang memiliki banyak pengalaman di Makassar mengenai musik, telah
mendirikan dan memimpin hiburan rakyat Rewata’a Rio juga mempopulerkan lagu-lagu modern.
Kemudian dipertengahan 1950-an atau 1954 beliau telah memperkenalkan alunan campuran itu yakni Losquin (melodis dari instrumen guitar), telah punya pengaruh besar dengan sedikit digubah menjadi permainan tunggal, gitar dijadikan pendamping alunan lagu yang sebelumnya tanpa pengiring, kemudian tunggal dipetik dan menyanyikannya. Losquin diperdengarkan menjadi Kemayoran Losquin atau Kemayoran itu sendiri.
Sang guru besar 60-an yakni Tarakan dan pimpinan grupnya Rahim Cama’da Tande di Orkes Nirwana masa Diponegoro, telah mencetak pemain muda seperti M. Firdaus K, ketika grupnya terkenal di masa SMP 1961 di Majene. Beliau dikenal sebagai pembuat teknik kombangan atau dari klasik menjadi melodis utuh. Maksudnya adalah dari
melodis karamabangan atau kembang-kembang yang sebelumnya dilakukan dengan metode klasik atau dengan istilah lain, ramuan petik pada penggabungan antara baas (snar 6-5-4) atau dengan menggunakan jari-jari dan ibu jari, menjadi petikan pada teknik menggunakan alat bantu atau tidak sekalipun (pick).
Teknik-teknik itu kemudian dianggap sebagai laku rumit bagi yang lain, dan mencatatkan beliau sebagai pelaku dengan pengalaman di Band dan penggunaan teknik baru dikalangan semua gitaris (ko’bi sayang-sayang). Tetapi sebelumnya, di era 1954 itu, terdapat pemain yang secara total melagukan sayang-sayang yakni penyanyi Suhaemi dengan ditemani gitaris amatiran bernama Mustafa dan Bahar.
Dari periode Firdaus, kemudian disusul dan dilakukan secara bersamaan oleh pemain-pemain seperti Tasim, Rustam, Pila, serta Hamma Aris (1968), diikuti penyanyi seperti Suwuranna (1968), demikian pula Juba Wuta seorang perempuan di Majene (1968), Ega di Majene (1968). Dari sini Tasim penyanyi sekaligus gitaris dan Suwuranna vokal wanita menjadi populer karena kaset-kasetnya yang beredar.
Mereka telah terhenti, kecuali Rustam yang tetap berjalan secara total dan bertahan pada grupnya hingga tahun 1970-an sampai sekarang.
Pada tahun 1970-an itu, muncul para pemain petik sekaligus penyanyi sayang-sayang seperti I Ka’deng (Pol-mas), Asis (Pol-Mas), Kaco Siro (Polmas), I Pinda (Polmas), I Gale’ (Polmas), Ibu Samida (Polmas) Sang gitaris hiburan Band Resota Majene 1985, pemain muda yang kecerdasannya diakui oleh Syarifuddin (Pua Ino) sang pokalis (1968), kemudian mengarahkannya untuk berupaya menjadikan guru dari semua nama yang tersebutkan di awal.
Rusman pada segala teknik yang dimilikinya, kemudian melengkapi pormasi permainan instrumen seperti adanya Bass dan Ritem, kendati demikian bahwa perjalanan sebelumnya, kadang ditemukan permainan dua gitar saja yakni melodi dan Ritem. Ditempat lain, juga muncul pemain yang dipahami telah berguru kepada Hamma aris, ia bernama Ali dari Polewali, lalu berkembang banyak pemain-pemain seperti Dahalan dan
lain-lain.
Semua itu menjadi indah ketika Halija (1968) total menjadi penyanyi sayang-sayang yang awalnya tunggal saja, karena atas desakan para penonton untuk menjawab setiap lirik yang keluar dari bibir manis Halija. Syarifuddin (Pua Ino) yang hanya penyanyi dangdutan dari Band hiburan rakyat di Majene, mencoba memenuhi desakan itu, kendati kemudian Pua’ Ino’ tak mampu merealisasikan permintaan. Dari sini kemudian ia berupaya memberi motivasi dari dirinya untuk belajar, hingga akhirnya menjadi seperti sekarang dan serius menjadi pendamping Halija dalam menerima tawaran untuk bermain sebagai pasangan duet.
Pua’ Ino’ kemudian menciptakan metode penyampaian lagu atau tidak lagi melakukan metode Siwali (berbalas), tetapi lebih pada sindirannya terhadap penonton, hingga para aprisiator ternyata lebih menikmati dan meminatinya sebelum akhirnya Syarifuddin hijrah ke Polewali Mandar.
Sakaria, Sapri (Lewu), Cindara dan Nurhayati sang penyanyi yang baru belakangan diketahui sebagai penyanyi populer di Polewali Mandar, lalu juga demikian secara total hingga sekarang, menjadikan Sayang-sayang menjadi lebih berarti, sampai pada alunan khas ini kemudian dirumuskan masuk dalam catatan Warisan Tak Benda oleh
pemerintah RI.
Perkembangan Sayang-sayang menarik dibincang sebab kemunculannya tidak bisa dipisahkan dari berbagai kehidupan yang bervariasi dikalangan pelaku itu sendiri. Akhirnya, Melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat, dawai Kacaping dan Sayang-sayang menuju pada Mandar Dawai Etnik Festival 2021.