Geliat Musik di Tinambung

(Taman Budaya Sulawesi Barat yang Relatif Muda, “Bergairah”)

Oleh: Sahabuddin Mahganna

KOTA KECIL, Parameter bagi orang-orang ekspresif di Pesisir Mandar dalam aktivitas kreatif pada bincang kebudayaan. Tetapi tidak dinafikan, jauh ke belakang Balanipa lebih dulu membuka peristiwa, berkembang setelah dipahami secara umum demi administrasi negara bernama Kecamatan. “Tinambung Lama”

Generasi intelektualnya kini mengalir deras. Kemerdekaan mengolah ilmu dan pengetahuan dipengaruhi oleh faktor akulturasi. Dan ololioliolio pun (bunyi dan melodi) menjadi penyokong setia.

Emosional pelantun di Tinambung mampu membuat orang-orang tertarik untuk melakukan hal yang sama, meskipun diluar nya telah demikian tidak kalah penting menarik untuk dibahas.

Sebelumnya, masyarakat Tinambung dalam pergulatan bunyi, baik itu hanya sekadar pelepas penat saat selesai bekerja, anak-anak dalam aktifitas tari tradisional hingga melakukannya dengan suka cita, tidak terelakkan dan tidak terbendung. Pakacaping, pakkeke, hingga gambus bergenre keroncong, membuat para generasi aktif, menyebabkan alunan berkembang demi bentukan pencitraan komunitas.

Jantung bebunyian yang tidak pernah habisnya itu, signifikan terhadap genre sayang-sayang secara utuh oleh Syaiful Sindrang, konon laki-laki Pamboang-Majene itu punya pengaruh bagi pelantun Tinambung, eksplor kabar tentang evolusi nada, akhirnya Majene dianggap sebagai salah satu pembawa dampak, tapi pula disebut kelompok peniru.

Suatu proses paling penting, ketika kelompok Resota Band secara komersial 1985 di Majene, gitarisnya berdarah Tinambung (Rusman), memiliki kemampuan atau bakat dari ayahnya bernama Pikko di Napo, sang legenda pemain violis sekaligus vokalis ternama dalam kelompok Ensambel Gambus bernuansa Keroncong, memancing naluri seni Tinggas-tinggas kepada Syuaib, seorang pembuat guitar listrik yang karyanya ini banyak digunakan oleh kelompok-kelompok kesenian di zaman nya, mengubah profesi dari pelukis, kemudian membentuk Band “Canggih”. Misal. Saya salah satunya terlibat penyanyi cilik 1987.

Bersamaan dengan itu, Hamsah Ismail dkk, mengolah musik beraliran Roling Stone, namun tidak menjadi komersil seperti kedua perkumpulan tersebut di atas. Mengejutkan, karena tidak hanya di Kota, melainkan di pelosok terpencil seperti Band di Sayoang, pula Band Nagersi di Todang Sale’a, yang tidak tanggung-tanggung di pundak mereka terdapat seperangkat Speaker Sound sejauh kilo meter mendaki dan menurun (sekarang dua wilayah itu masuk dalam administrasi Kecamatan Limboro dan Alu). Tahun-tahun 90-an, mereka bersaing memburu perhatian (Fans), sayangnya, kekuatan band tidak semulus di Majene, mungkin karena mereka dekat dengan bekas kota bentukan Belanda secara urban. Dan boleh jadi aliran seni murni lebih pasif di kota kultur.

Terbukanya pintu-pintu kesenian atau kelompok-kelompok drama. Kita diberi informasi mengenai Teater sebatin di tahun 60-an dan 70-an, teater Flamboyan, kelompok Isorai, dan Tomepayung tahun 80-an, dan kelompok pelajar seperti Sanggar layonga Mandar, mereka banyak bersinggungan dengan cara-cara kebudayaan yang berkaitan dengan pengkajian, penerapan yang berujung pada sebuah pementasan. Satu yang menjadi titik fokus pada kelompok-kelompok ini, mereka menaruh ololioliolio dalam karyanya sebagai perlakuan wajib.

Geliat menyebar dan mengikuti generasi pendahulu secara alami, bahkan persaingan-persaingan dalam kekaryaan telah mengubah aura minder menjadi kekuatan. Ini kegiatan kesenian yang paling banyak digeluti, oleh karena pendekatannya pada tetabuhan atau permainan pola ritmis, dianggap tidak memerlukan latihan yang rumit. Kendati demikian, keprofesionalan itu penting diperhatikan demi satu bagian dari apa yang disebut dengan kebudayaan.

Sementara itu, generasi-generasi berikutnya mendalami dan hanya sekadar belajar mewarnai kehidupan pergulatan seputar nada di Tinambung, “serius” ada pula yang tidak, namun tidak jarang dilihat mereka bangga pada profesi seniman.

Tidaklah mengherankan, Ilmu-ilmu irama pun berkembang dari sini. Saya adalah bagian itu, mencoba mengatasnamakan etnomusikolog pada 2015, padahal disadari saya bukanlah sesuatu yang dimaksud, saya tidak pernah bergelut dalam dunia itu secara formal, hanya saja, menginformasikan ke hal layak, itu nyatanya tercatat mendapat sejumlah kegunaan, bahwa Ilmu Entnomusikologi itu penting untuk diketahui, mendekati atau cara melihat kebudayaan dalam jendela musik.

Di akhir 90 an, komunitas-komunitas bermunculan, konon belajar pada orang-orang yang kiprahnya di kelompok tersebut di atas, sekumpulan santri, dan para sarjana, membuka jejaring semangat atau bawaan. Kita mengenal Assamalewuang, Al. Ikhlas Pambusuang, Bantara Mtsn, Bambu Alu, Biring Bonde Art, Black Hole, Bondo Nekat Bala, Gesek Community, Hamas Badar, Inditia Community, Kakanna, Kaze Band, One dO Art Musik Exploration, Pinsil 2b, Uwake Culture Fundation, Sanggar SMK Limboro, Sossorang, Sure’Bolong, Tazos Band (Cikal bakal Nadia Band, Todilaling dll.

Pada 2020 yang lalu, hiruk pikuknya percaturan musik di Sulawesi Barat, disiplin ini mulai dibincang secara serius. Tulisan “Olioreang” entitas ritmis dan melodi Mandar, lalu para kelompok-Kelompok kesenian Tinambung seperti Balck Hole, Flamboyan (teater), Gesek Comunity, Kase Band, Inditia Comunity, One dO art, Sure’ Bolong, Uwake Culture, dan pendukung lainnya. Dengan bantuan teknologi Pinsil 2b, sejarah diskusi naluri Jaap Kunst secara Nasional terjadi di Tinambung. Ini disambut baik oleh pemerintah Kelurahan (sponsor Tunggal).

Muhammad Rifai Husdar, pimpinan di Kelurahan dan Inditia Comunity. Sebagai pelaku kesenian, beliau mengawal terdepan helatan ini, cukup memberi kesempatan merealisasikan dampak positif diskusi Etnomusikologi, sekaligus komunitas menjadi bangga mengumumkan karyanya.

Kita diperlihatkan bagaimana khusyu pertunjukan-pertunjukan pada gendre yang beragam, oleh Inditia Community dengan akustik kreatifnya, mencampur perpaduan ciri nusantara seperti Papua, Kalimantan dan Arabian, dilanjutkan oleh Komunitas Sure’ Bolong, pada kreatifitas inovatifnya, mungubah gaya sayang-sayang menuju global dengan ramuannya dari padang pasir ke Jazz, belum lagi ditambah dengan lirik yang ditransfer ke dalam bahasa Inggris. Kemudian Teater Flamboyan memaniskan aransemen lagu, menggugah penonton atau memperlihatkan bahwa lagu tidak hanya bisa dilihat dan dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh digubah, mereka berhasil memperlihatkan betapa kuatnya intelektual musisi-musisi Tinambung.

Di sesi berikutnya, One dO art pada Eksplorasi tabuhan, perkusi yang memukau, memainkan pesan-pesan edukatif tentang pendidikan “tidak seperti Centeng Kosong” mengolah beberapa ritmis hingga melakukan metode pertunjukan antraksi atau melibatkan penonton untuk ikut didalamnya, selain itu One dO art mengungkap fakta, bahwa kekayaan bunyi tidak hanya dalam bentuk lagu. Lalu dipertunjukkan terakhir, Uwake, sebuah talenta yang mumpuni, memainkan nada-nada kesedihan, mengolah berbagai instrumen, mencampur tradisi dan modern, seolah mengajak bagi mereka larut dalam lirik ” pessungoo pota’ pettamao randang” jangan biarkan kehidupan keruh merajalela di tanah yang kita cintai, tanah air atau mencintai Mandar”.

Peristiwa ini tentu bukan hal yang baru oleh para pegiat kesenian di Tinambung, melainkan citra lanjutan. Teater Falamboyan beberapa kali menjadi embrio untuk kesenian murni, bertahan pada posisinya sebagai pembentuk tumbuh kembang geliat-geliat itu, hingga terbentuk helatan-helatan yang sifatnya mandiri yang dilakukan oleh beberapa kelompok kesenian berikutnya secara tahunan.

Teater Flamboyant dalam satu judul “Papperandang Ate”, mengisi nada-nada melalui dakwa pada sasaran spritual, gabungan komunitas untuk workshop bersama, Kelakar Budaya, Mimbar Puisi, Tadarus Puisi, sekadar diskusi seputar kesenian, lalu “Galendrong Ramadhan” mengangkat tema-tema lokal dan sangat berguna untuk perjamuan para keluarga sesama pekerja kesenian dan kebudayaan ala Sure’Bolong dan Uwake Culture Pundation

Lain lagi One dO art untuk “Loalio Lorong” mengusung konsep buru publik, membawa item-item kesenian dan menjadi wadah penyampaian ikhtihar bagi siapa saja khususnya pelaku musik, mencoba memperlihatkan sisi lain dari bentuk-bentuk seni pertunjukan, dan itu untuk masyarakat awam.

Geliat-geliat berlanjut terus menerus, dianggap sebagai pertarungan untuk memperlihatkan keeksistensian yang bersifat timbal balik. As’ad Sattari ketua IGI Polewali Mandar, mengamati proses kesenian di Tinambung, pada pendekatan spritualnya, secara jujur mengatakan bahwa jika ada yang disebut Alim Ulama kesenian, maka perwujudan Ulama-ulama yang dimaksud itu nampak di Tinambung.

Tulisan ini sedapat mungkin tawarannya merupakan bentuk kepedulian yang semustinya dilalkukan pada tinjauan eksplanasi, yang menyimpulkan pernyataan secara deduktif, sebab disadari bahwa kita akan dibantu melakukan prediksi, atau pengalaman harus dijelaskan secara ilmiah apakah pembuktian itu benar sesuai dengan kenyataan.

Sayangnya hari ini, kita jarang melihat proses diskusi evaluasi setelah pementasan berlangsung, hal ini penting dilakukan untuk memastikan para generasi berikutnya dalam memahami proses, paham akan kekurangan dan kelebihannya yang bersifat kemajuan. Menarik dari catatan Rahmat Muchtar bahwa kedepan kesenian-kesenian lain juga harus digeliatkan, seperti teater dan sebagainya.

Padahal dalam proses teater itu membuat manusia-manusia lebih memahami arti penting berkehidupan, dan ini boleh jadi apa yang dilakukan oleh mereka dulu, kuat karena sebab dan akibat, seperti yang tertuang dalam geliat musik hari ini di Tinambung, selalu diharap bisa menyanggah kehidupan berkesenian Taman Budaya di Buttu Cipping Sulawesi Barat, kendati masih relatif muda.