Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana | Penguatan Identitas, Kebhinekaan dan Kemaritiman Mandar | Bagian 21
Reportase Muhammad Munir
Waktu menunjukkan jam 14.30 ketika kami meninggalkan areal pemakaman Daeng Palulung. Kami berjalan menuju makam Daeng Tumana (Amana Pahodo) diiringi hujan yang mulai rintik. Dua lagi situs yang harus kami datangi, yakni situs makam Daeng Tumana dan makam Tomesaraung Bulawang.
Perut sudah minta diisi yang sejak siang belum pernah diberikan haknya. Telpon WA Hapni yang kerap masuk tapi tak bisa tersambung. Kami memang harus bisa berdamai dengan rasa lapar ketika di lokasi tak nampak Pak Supriadi dan Ibu Hapni. Mengantar catering ke puncak Sa’dawang memang bukan urusan mudah.
Terlebih harus memboyong kotak yang jumlahnya puluhan. Satu-satunya jalan adalah menuntaskan target penelusuran lalu kembali ke kampung Putta’da. Alternatif terakhir ini seketika menjadi momok yang menakutkan, sebab turun gunung membutuhkan energy lebih banyak ketimbang mendaki. Berharap energy lebih pada kondisi perut kosong adalah menghayal.
Tapi tak ada pilihan lain lagi kami harus turun gunung secepatnya, atau hujan akan menjadi siksaan pada saat turun hujan
“Ya Tuhan, Selamatkan kami dalam misi ini”. Sebaris do’a itu penulis langitkan ketika anak-anak yang mengikuti kami mulai bertengger pada pohon-pohon jambu yang kami lalui. Anak-anak kampung Putta’da yang manis dan ganteng-ganteng itu terlihat mengunyah jambu batu yang ia petik.
Persediaan minum juga sudah tak ada lagi. Kondisi ini membuat kami lebih mempercepat langkah ke arah makam Daeng Tumana yang berada dekat aliran sungai kecil di Sa’adawang. Setiba disana, kegiatan hanya sebatas mendokumentasi dengan menggunakan skala. Tak ada acara bersih-bersih sekitar makam, sebab kami berburu waktu agar tak terhalang hujan saat turun gunung.
Setelah semua proses pendokumentasian yang dilakukan oleh Ifa dan Ian, kami langsung beranjak dari makam penemu Kampung Sa’adawang itu.
Jarak dari makam Daeng Tumana dengan Tomesaraung Bulawang berkisar 2 KM dengan melintasi persawahan warga lalu mendaki bukit sebab situs makam Tomesaraung Bulawang berada diatas bukit. Kondisinya juga sangat memperihatinkan. Ia merana sendiri dan tak ada makam di sekitarnya.