–Penguatan Identitas, Kebhinekaan dan Kemaritiman Mandar-
Reportase: Muhammad Munir
RISET yang dilakukan oleh Pusat Riset Rumah Program Identitas Kebangsaan BRIN ini menambah deretan sejarah panjang penelitian tentang Mandar (baca: Sulawesi Barat). Riset ini menjadi menarik dan penting sebab penggarapannya melibatkan arkeolog, sejarawan dan antropolog handal. Output-nya tentu diharapkan bisa memperkaya pemahaman tentang bhinneka tunggal ika dalam konteks sejarah kerajaan di Mandar, Sulawesi Barat. Harusnya ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat maupun pemerintah daerah kabupaten di Sulawesi Barat. Jangan hanya maksyuk dalam tarian, tedze’, tolo’. Elong dan sejumlah pertunjukan yang dikemas dalam sebuah festival. Terlebih inisiator Festival Kota Tua di Sulawesi Barat ini harusnya melirik wilayah riset seperti ini dan tidak hanya asik bersepeda dan berdendang ria di panggung.
Selama ini, sejarah Mandar masih menyisakan sebentuk irisan antara hasrat dan mimpi, demikian juga kedudayaannya. Saatnya pemerintah kabupaten dan provinsi Sulbar mengambil peran yang jelas dan terukur. Kendati apa yang dilakukan oleh BRIN ini merupakan hal yang sudah semestinya dilakukan, setidaknya ini bisa menggugah para pemangku kebijakan, bahwa mereka yang dari luar sana cukup memberi perhatian terhadap Mandar ketimbang kita yang selalu berkoar Iyau Tomandar. Daerah kita ini tidak cukup hanya ditulis mala’bi’ dan berbudaya, tapi kita kehilangan ingatan pada siapa dan bagaimana leluhur kita ini merumuskan sebuah tatanan yang sarat nilai dan melahirkan peradaban yang maju pada zamannya. Mandar pernah mengalami zaman keemasan dan sampai sekarang masih selalu dilisan tuliskan oleh masyarakat di bagian barat Sulawesi ini. Mandar kerapkali diusung dalam jargon politik dan slogan pemerintahan tapi melupakan hal yang sangat substantif.
Harusnya peneliti dari BRIN ini menjadi pemantik bahwa kesadaran akan nilai penting sejarah dan kebudayaan kita ini. Para peneliti yang pernah keluar masuk ke Mandar itu harus diapresiasi tidak sebatas ucapan saja, tapi lebih dari itu. Mandar yang kita cintai ini belum pernah dikaji secara serius oleh para peneliti dan akademisi. Mengungkap filosofi amara’diang di pitu ba’bana binanga adalah bagian dari langkah kongkrit dalam memperkuat identitas kebangsaan sebab mereka back up dengan uraian literatur dengan tahapan penelitian secara terstruktur dan berjenjang. Selain itu, tim yang berasal dari keilmuan dan kepakaran yang relevan dengan Mandar ini akan sangat membantu pemerintah dalam penguatan identitasnya sebagai Tomandar, Toi Mandar maupun bagi mereka yang disebut Pammandar.
Sekali Lagi Mereka Meneliti Mandar
Tulisan ini adalah reportase yang khusus menghimpun sejumlah informasi dan temuan di lapangan selama proses penelitian yang menggunakan metode penelitian arkeologi, sejarah, etnografi, dan filologi. Langka pertama yang dilakukan adalah mengumpulan data, baik melalui studi pustaka maupun pengumpulan data lapangan melalui survei arkeologi. Survei arkeologi adalah upaya mengumpulkan sebanyak mungkin data berupa artefak (benda alam yang diubah oleh manusia sebagian atau seluruhnya), fitur (artefak yang tidak dapat diangkat dari konteksnya), ekofak (benda alam yang dimanfaatkan manusia masa lalu atau tulang manusia itu sendiri), dan berbagai tinggalan arkeologi lainnya.
Untuk diketahui, survei lapangan ini, bukan hanya dilakukan pengamatan langsung permukaan tanah dari jarak dekat untuk mengetahui tinggalan-tinggalan arkeologi, melainkan juga mengamati permukaan di lingkungan sekitar tinggalan-tinggalan arkeologi untuk mendapatkan data arkeologi dalam konteks dengan lingkungan sekitarnya dan sekaligus untuk mengetahui hubungan antar data arkeologi. Survei ini juga menelusuri indikasi-indikasi tinggalan arkeologi pada lokasi-lokasi yang diperoleh dari studi pustaka dan hasil wawancara. Testpit (penggalian uji) terhadap lokus yang memiliki indikasi kuat sebagai pusat perkampungan (di wilayah Balanipa dan Sendana). Cara ini ditempuh untuk menentukan variable pendukung (artefak yang signifikan) dalam lapisan tanah yang dapat menjelaskan sebagai pusat peradaban atau amara’diangan (kerajaan). Penggalian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara temuan (artefak) permukaan dengan temuan yang ada dalam tanah. Termasuk juga untuk mengetahui usia atau penanggalan huniannya
Dalam kegiatan ini juga dilakukan pendeskripsian dan pemotretan temuan serta pengukuran benda temuan. Pendeskripsian meliputi kegiatan identifikasi dan klasifikasi tinggalan arkeologi, tipologi konteks, dan analogi utamanya yang berkaitan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Termasuk pencuplikan lokasi pengamatan dengan menggunakan GPS (Geographical Position System) dan aplikasi rekayasa rupa bumi yang relevan untuk melakukan pemetaan keletakan sebaran tinggalan arkeologi dalam suatu kawasan. Data-data hasil survei dan testpit ini amat penting, bukan saja sebagai salah satu bahan dalam analisis data yang berkaitan dengan tujuan riset, tetapi juga untuk kepentingan riset lebih lanjut di wilayah pitu ba’bana binanga.
Bila sebelumnya penulisan lebih berdasar pada sejumlah manuskrip dan wawancara tokoh, kali ini benda arekeologi berupa keramik atau porselin, gerabah, dan lainnya menjadi yang inti dalam melakukan penulisan sejarah. Langkah ini ditempuh untuk dijadikan bahan banding terhadap sejumlah penulisan sejarah yang berdasarkan lisan (tuturan) maupun tulisan (manuskrip dan lontara’). Ini tentu tak harus dimaknai bahwa penulisan berdasarkan manuskrip tidak penting, melainkan sebagai upaya membangun paradigma baru penulisan sejarah Mandar dengan pendekatan benda arkeologi tinggalan kebudayaan masa lampau.
Dari sejumlah riset yang pernah dilakukan oleh para peneliti di Sulawesi bagian barat (baca: Mandar) selain patung Sikendeng yang ditemukan di Kabupaten Mamuju (abad ke-2-7 M), sejumlah keramik, guci, mahkota dan sebagainya ditemukan di eks wilayah kerjaan Passokkorang yang disinyalir benda arkeologi buatan pada masa Dinasti Tang (abad 7-10 M), Dinasti Song (abad 10-13 M), Dinasti Yuan (abad 13-14 M), dan Dinasti Ming (abad 14-17 M) di Cina. Ini tentu harus menjadi bahan utama dalam mengungkap pusat amara’diangan di Mandar sebagai penguatan identitas, kebhinnekaan dan kemaritiman Mandar sebagaimana tema pada riset yang dimotori oleh BRIN di Sulawesi Barat ini.
Berkaca pada penemuan Patung Sikendeng, patung Buddha yang terbuat dari perunggu dan ditemukan di daerah Sikendeng, kira-kira 10 km masuk ke pedalaman Sampaga, menyusur sungai Sampaga, wilayah Kalumpang, Kabupaten Mamuju. Patung bersejarah ini ditemukan oleh Amiruddin Maulana, seorang penilik sekolah. Atas perintah Caron, gubernur waktu itu, patung tersebut dibawa ke Makassar. Dr. FDK. Bosch membandingkannya dengan patung-patung Buddha yang ada di Borobudur dan Palembang yang termasuk tradisi Hindu Jawa dan Hindu Sumatera.
Dari hasil penelitian disimpulkan, gaya patung Sikendeng mempunyai ciri yang khas sebagaimana mantel biarawan Sanghati yang berlipat-lipat dilukiskan. Lipatan-lipatan terjadi karena kain penutup bahu kiri ditarik keras, menyebabkan jalur-jalur dangkal pada kain tersebut. Di samping itu badan yang ramping seperti wanita, raut muka bulat, leher berisi, mulut kecil bibir tebal. Ini membuat Dr. FDK. Bosch akhirnya berkesimpulan bahwa patung Sikendeng dibawa langsung dari India Selatan dan mungkin dari Amarawaty. Masa penyebarannya mungkin terjadi antara abad ke-2 – 7 M.
Dibandingkan dengan gaya dan bentuk patung perunggu Buddha lainnya seperti dari Solok Jambi, Kotabangun Kalimantan Barat dan patung dari gunung Lawu Jawa Hindu kelihatannya tidak mempunyai kesamaan. Patung itu lebih dipengaruhi oleh gaya Buddha greeco yang terdapat di India Selatan. Di Amarawaty India Selatan pernah ada tradisi pembuatan patung yang mirip dengan gaya patung yang ditemukan di Sikendeng, terutama cara pemakaian dengan jalur-jalur yang dangkal dan cara menutup bahu dengan kain yang berlipat-lipat. Dr. Bosch akhirnya berkesimpulan bahwa patung Sikendeng dibawa langsung dari India Selatan dan mungkin dari Amarawaty.
Dikuatkan dengan penemuan berbagai kecek perunggu, kancing yang di gunakan sebagai pengusir roh-roh jahat bagi dukun sewaktu upacara kelahiran bayi memperlihatkan juga adanya kesamaan dengan genta-genta perunggu dari India Selatan. Dari sejarah India Selatan telah di ketahui bahwa Dinasti Catawahana dalam memerintah terkenal sebagai penganut kuat agama budha aliran Hinayana sewaktu abad ke-2 M dan selanjutnya tersebar ke kawasan Asia Tenggara. Pada perkembangan Catawahana, sangat memperlihatkan aktivitas-aktivitas di bidang maritim dan aliran Budha Hinayana melebarkan sayapnya ke Asia Tenggara dengan melalui perdagangan laut dan penyebaran terjadi pada abad ke-2 M.
Dari berbagai penemuan-penemuan di atas, Salahuddin Mahmud seorang peneliti Mandar, menyimpulkan bahwa di daerah Kalumpang pernah terdapat sebuah kerajaan yang telah menjalani hubungan dengan daerah luar adapun pelabuhannya terdapat di Sekendeng, hal tersebut di perkuat dengan memperhatikan letak muara sungai Karama yang berhadapan dengan muara sungai Mahakam di pulau Kalimantan, yang juga banyak di layari untuk memasuki daerah pedalaman Kalimantan. Adapun di hulu sungai Mahakam terdapat kerajaan Kutai yang sangat termashur pada abad ke-4 M.
Dengan demikian kerajaan di Kalumpang tersebut merupakan kerajaan yang tertua di daerah Mandar. Diduga kerajaan-kerajaan yang terdapat di Kalumpang berpindah ke pegunungan, tepatnya ke Toraja atau ke Luwu berhubungan dengan adanya invansi militer dari luar atau adanya wabah penyakit yang menyerang daerah tersebut. Perpindahan tersebut di buktikan dengan berlanjutnya desain dari corak ukiran yang tinggi nilai seninya yang masih di lanjutkan tradisinya oleh masyarakat Toraja dewasa ini. Sebagaimana cerita yang umum berkembang di masyarakat Indonesia mengenai asal usul nenek moyang mereka, di Mandar juga di kenal dengan orang yang turun dari kayangan yang akan memimpin manusia di muka bumi yang dikenal sebagai Tomanurung.
Menjelmanya tomanurung di atas muka bumi, menurut legenda dan mitos, adalah muncul dari belahan bambu (Tobisse Ditallang) ada juga turunan bidadari (Tomonete Ditarauwe) yang tertawan di bumi karena di intip oleh pangeran yang kemudian menyembunyikan sayapnya. Selain itu ada juga tomanurung yang menjelma dan meniti di atas buih aliran sungai (Tokombong Dibura) ada yang di hempaskan dari perut ikan hiu dan menjelma menjadi manusia (Tonisesse Ditingalor atau Tobisse Diare’ Bau). Semua mitos-mitos tersebut di anggap keturunan pertama atau cikal bakal penguasa yang ada di daerah Mandar.
Selama ini, wilayah Mandar (Sulawesi Barat) memang telah banyak peneliti yang melakukan riset. Hasil riset tersebut menjadi bahan penulisan sejarah di Mandar kendati belum sepenuhnya bisa dirumuskan periodesasi sejarah yang ada di Mandar. Pada tahun 1933 diadakan penggalian oleh A.A. Cense di daerah Sampaga tepatnya di lembah sungai Karama, Kabupaten Mamuju dan menemukan beberapa peralatan pra-sejarah yaitu batu dan Gerabah. Kegiatan tersebut kemudian di lanjutkan oleh Piter Van Callenfels dengan menggali di bagian timur bukit Kamassi, dan menemukan alat-alat berupa: pisau, kapak batu, kapak batu segi empat, mata panah yang halus, dan pecahan-pecahan tembikar yang berdekorasi. Penggalian tersebut di laksanakan pada tanggal 25 September 1933 sampai 17 Oktober 1933.
Penggalian kedua di lakukan oleh dr. HR. Van Hee Karem dari tanggal 23 Agustus sampai September 1949 di bagian selatan puncak Kamasi, 13 meter di atas permukaan sungai. Penggalian itu menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat neolithic di Luzon (Philipina), Lanchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Juga di temukan gerabah yang berhias.
Gerabah yang berhias di nilai oleh para arkeolog mempunyai corak yang tinggi dengan desain halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan di daerah Kalumpang di kembangkan oleh masyarakat yang telah teratur sifatnya. Kebudayaan yang terlingkup dalam satu wilayah Sa Huynh Kalanay, yaitu wilayah yang meliputi daerah Cina, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan pasifik.
Riset yang dilakukan oleh Muhammad Amir, Budianto Hakim dkk ini adalah penelitian pertama yang dilakukan di wilayah Kerajaan Balanipa dan Sendana dalam mengungkap pusat amara’diangan di Mandar. Tahun ini, Kerajaan Balanipa dan Sendana menjadi prioritas atas pertimbangan bahwa Balanipa adalah Ama dari persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Sendana sebagai indo.
Riset ini bukan hanya bertujuan merekonstruksi dan menjelaskan letak pusat Amara’diang (Kerajaan) Balanipa dan Amara’diang Sendana pada awal berdirinya hingga masuknya Islam di Mandar, melainkan juga tentang pemindahan pusat pemerintahan kedua amaraidiang itu dari pedalaman ke pesisir pantai atau muara sungai. Di samping itu, juga bertujuan menguraikan dinamika kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi masyarakat kedua amara’diang tersebut. Selain Amara’diang Balanipa dan Sendana, berdiri pula amara’diang lainnya di Mandar, yaitu Amara’diang Banggae atau Majene, Amara’diang Pamboang, Amara’diang Tappalang, Amara’diang Mamuju, dan Amara’diang Binuang. Ketujuh Amara’diang ini kemudian menjalin kerjasama dalam menata kehidupan bersama dalam kebinekaan yang dikenal dengan persekutuan pitu ba’bana binanga (tujuh Amara’diang di muara sungai atau pesisir pantai) di Mandar. Namun hasil kajian yang ada tentang persekutuan ini belum dapat memastikan letak pusat pemerintahan ketujuh Amara’diang itu pada awal berdirinya dan penjelasan yang konprehensif tentang pemindahan pusat perintahan dari pedalaman ke pesisir pantai. Oleh karena itu, riset ini penting dilakukan sebab dapat memberikan pemahaman tentang akar-akar kebinekaan, identitas, dan kemaritiman dalam merawat keindonesiaan kita. (BERSAMBUNG).