Menguak Assitalliang Sipamandar

Catatan: Muhammad Munir
(Penulis/Pegiat Budaya Mandar)

Beberapa minggu terakhir ini, diskusi tentang Mandar kembali berseliweran di beranda akun media sosial. Temanya bermacam-macam. Ada yang mengangkat Mandar sebagai persekutuan, bukan suku.

Ada yang membincang Mandar sebagai wilayah teritorial, bukan suku. Ada yang menyoal Mandar sebagai nilai, bukan suku. Termasuk ada yang cenderung berani mengatakan bahwa Suku Mandar itu tidak ada.

Mandar dalam bingkai Sulawesi Barat ini seharusnya tak lagi ada perdebatan tentang makna kata Mandar, sesungguhnya pembacaan terhadap makna kata Mandar sesungguhnya sudah final dalam babad sejarah Tanah Mandar. Persoalan ini kerap muncul terutama menjelang perhelatan Pemilu atau Pilkada.

Dari sejumlah tanggapan yang ada, saya melihat dan mengambil kesimpulan bahwa ini akibat dari kurangnya bacaan yang membuat siapapun menjadi kehilangan arah dalam menemukenali konsepsi kata Mandar dengan pemaknaannya.

Kurangnya bacaan atau boleh jadi tak banyak membaca sehingga muncul berbagai persepsi yang beragam.

Padahal Mandar maupun tentang suku Mandar telah final pada ratusan tahun lalu. Periode tahun 1580 sampai 1602, setidaknya leluhur kita sudah sitalli (sepakat sebagai Mandar) dalam Muktamar Tammajarra 1 dan 2 yang puncaknya ada di Allamungan Batu di Lujo.

Mungkin diantara kita ada yang lalai mengenai Assitalliang di Lujo. MANDAR itu bukan baru lahir dari sana, tetapi mereka justru kembali mengeratkan amandarannya sebagai satu keturunan. Kalau tidak senasab bagaimana mereka dapat membangun konsensus secara sosial, budaya dan politik.

Hakikat Assitalliang atau Sipamandar itu bermakna kembali saling (Sipa), berarti sudah pernah saling bersama. Kenapa mereka sepakat untuk itu, karena konsensus secara sosial, budaya dan politik semakin hari semakin merosot. Perang atau bundu kerap terjadi antar kerajaan yang ada di Mandar.

Saat itu, berbagai komunitas atau klan mulai bersatu karena alasan politik, ekonomi, atau sosial, mereka dapat mulai mengembangkan identitas kolektif yang lebih luas. Proses ini sering melibatkan penggabungan berbagai kelompok menjadi satu entitas yang lebih besar yang kemudian mendapatkan nama sukusuku, yakni Mandar.

Intinya, sebelum terbentuknya identitas kolektif sebagai Suku Mandar, masyarakat di wilayah yang kini dikenal sebagai Mandar mungkin terdiri dari berbagai klan atau komunitas yang lebih kecil dengan nama-nama lokal atau berdasarkan garis keturunan. Kendati Nama “Mandar” sebagai suku baru muncul ketika kelompok-kelompok ini bersatu dalam persekutuan politik dan sosial.

****

Mandar (dialek PBB) atau Manda’ (dialek PUS) dan Menre’ (Bugis versi Lagaligo) secara tekstual memang tak tercatat sebagai sebuah suku. Ia adalah kosa kata yang bermakna sungai. Kata Mandar sebagai sungai sebangun dengan penyebutan orang-orang yang ada di wilayah geografis Sulawesi Barat. Manda’ atau Mandaq ini dikenal dalam kehidupan sosial Masyarakat di wilayah pegunungan seperti Matangnga, Tabulahan dan sekitarnya (baca: PUS).

Selain Mandar, penamaan sungai juga ditemukan sebagai Maloso’ (peradaban Lembang Mapi dan Passokkorang), Binanga (Banggae dan sekitarnya), Lembang dan lainnya. Artinya bahwa ketika Mandar menjadi nama sungai, kita tentu tak harus marah jika kemudian Mandar adalah nama sungai, bukan suku.

Mandar identik dengan air, air umumya dimaknai sungai dalam konsensus sejarah peradaban. Elemen air sejak Era Pongkapadang dengan Torine’ne (sekitar tahun 1100-1200). Beliau adalah moyang orang PUS dan PBB, dan keduanya memang belum menamai manamai dirinya sebagai suku Mandar.

Kenapa harus menggunakan Mandar sebagai simbol persekutuan mereka? Karena diantara 14 kerajaan (PUS dan PBB) itu terhubung melalui jalur trasportasi yang mengandalkan sungai. Kontur tanah di wilayah PUS adalah bukit, gunung, lembah dan dataran. Sungailah yang menjadi penghubung antara gunung dan pantai. Kondisi inilah yang membuat mereka sepakat mengusung sungai sebagai persekutuan yang dalam perkembangannya dikenal wilayah Konfederasi Mandar.