Oleh: Muliadi Saleh
Sejarah. Kata yang terdengar sederhana, namun memikul beban waktu yang agung. Dalam bisikannya, mengalun gema ribuan tahun. Dalam goresannya, bersemayam kisah peradaban manusia—tentang kelahiran, kejatuhan, kebangkitan, kisah sedih dan bahagia yang tak pernah usai selama manusia ada.
Asal katanya dari bahasa Arab: as-sajaratun—yang berarti pohon. Sebuah simbol yang tak pernah usang. Pohon, seperti halnya sejarah, adalah makhluk hidup yang meneguhkan makna waktu. Ia tumbuh perlahan, berakar ke dalam tanah, menggapai langit dengan batang dan ranting, lalu mekar dalam daun dan buah. Di sanalah filosofi sejarah mengambil bentuk paling agungnya.
Akar sejarah adalah masa lalu—yang terkubur di dalam tanah waktu, tak selalu tampak di permukaan, tapi menjadi penopang segalanya. Tanpa akar, pohon akan tumbang. Tanpa pengakuan pada masa lalu, manusia kehilangan arah. Di dalam akar itulah tertanam jejak para leluhur, kearifan yang dibisikkan dari generasi ke generasi, dan luka yang mengajarkan tentang daya tahan.
Batang sejarah adalah masa kini—yang kokoh atau rapuh tergantung dari akar yang memeliharanya. Di batang itulah kehidupan berdenyut, tempat generasi kini berdiri, memikul hasil dari masa lalu dan menumbuhkan harapan untuk masa depan. Di sinilah sejarah menjadi kesadaran—bahwa hari ini tak pernah tercipta sendiri, bahwa apa yang kita nikmati adalah hasil dari peluh orang-orang yang mendahului kita.
Daun dan buah sejarah adalah masa depan—yang mekar dari kesadaran dan kesabaran. Daun memberi naungan, buah memberi kehidupan. Sejarah yang dipahami dengan jernih akan menumbuhkan masa depan yang matang, bijak, dan adil. Tapi jika sejarah dibuang, masa depan akan tumbuh layu, seperti pohon yang tak lagi mengenali akarnya.
Dalam istilah lain, sejarah disebut tarikh dalam bahasa Arab, berarti penanggalan, penandaan waktu. Dalam bahasa Yunani, dikenal sebagai historia, berarti penyelidikan, pencarian. Kedua makna itu menyatu: sejarah adalah usaha sadar manusia untuk memahami jejak waktu dan menggali maknanya. Bukan sekadar rentetan tahun dan peristiwa, tapi jalinan ruhani antara waktu, nilai, dan kesadaran.
Sejarah adalah cermin dan lentera. Ia cermin karena memperlihatkan siapa kita, sejauh mana kita telah melangkah, dan apa yang membentuk diri kita hari ini. Ia lentera karena menerangi jalan ke depan, agar kita tak mengulang kesalahan, agar kita belajar dari kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu.
Namun, sejarah bukan sekadar buku tua berdebu di rak perpustakaan. Ia hidup dalam percakapan di beranda rumah, dalam upacara adat yang diwariskan, dalam makanan yang diresepkan nenek moyang, dalam nyanyian yang dinyanyikan anak-anak di rumah-rumah, pelabuhan, di pematang dan hamparan sawah, serta di bangunan-bangunan tua. Sejarah ada di batik yang dilukis, di goresan kertas l, di rumah panggung yang tak pernah roboh, di puisi yang dibacakan di senja hari.
Sikap kita terhadap sejarah seharusnya bukan hanya mengenang, tetapi juga merawat dan menjaganya. Mengenangnya dengan hormat, dan merawatnya dengan kesadaran. Kita harus menjadi penjaga mata air sejarah, bukan sekadar peminum sesaat. Karena jika sejarah hanya jadi hafalan kosong, ia akan mati di lidah yang tak mengerti. Tapi jika ia ditanam dalam hati, sejarah akan tumbuh—seperti pohon sajaratun yang tak pernah kering di musim apa pun.
Dalam dunia yang bergerak cepat, sejarah mengajarkan kita untuk pelan. Untuk merenung. Untuk mengerti bahwa perubahan sejati memerlukan akar. Bahwa masa depan tak bisa dipetik dari langit, tapi tumbuh perlahan dari tanah yang diberi arti. Maka, sejarah bukan beban masa lalu, tapi pupuk bagi masa depan.
Kita hidup di antara akar dan buah sejarah. Di sinilah kita memutuskan: apakah kita akan menjadi ranting kering yang mudah patah, atau menjadi daun segar yang menyerap cahaya matahari dan menyumbang kehidupan. Apakah kita akan melupakan akar dan tumbang, atau merawat akar dan mewariskan buah.
Dalam keheningan waktu, sejarah terus berbicara. Ia tak menjerit, tapi berbisik—lewat prasasti, lewat sajak, lewat luka-luka yang mengendap dalam diam. Dan dalam bisikan itu, sejarah mengajak kita untuk mendengar, untuk belajar, untuk menjadi manusia yang utuh: yang tahu dari mana ia berasal, dan untuk apa ia melangkah.
Sejarah, pada akhirnya, adalah pohon kehidupan itu sendiri—dan kita, manusia, adalah daunnya yang singkat namun bermakna.
Sejarah akan berpulang ke kita. Memaknainya dengan bijak atau membiarkannya pergi tanpa arti.
Wallahu A’lamu Bissawaab.