-Penguatan Identitas, Kebhinekaan dan Kemaritiman Mandar-
Reportase: Muhammad Munir
Amara’diang yang semula dipusatkan di daerah pedalaman kemudian dipindahkan ke pesisir pantai atau muara sungai. Pemindahan pusat amara’diang Balanipa misalnya, juga disertai pembentukan sakka’ maranang (sejumlah bidang keahlian), seperti kelompok pembuat perahu, pembuat layar perahu, pemintal tali, pandai besi, pandai emas, tukang kayu, pembuat alat kesenian, dan pasukan pengawal. Masing-masing kelompok terdiri atas 20 orang (Saharuddin, 1985:18; Rahman,2014:43).
Sejak itu amara’diang Balanipa lebih memusatkan perhatiannya aspek kemaritiman. Demikian pula dengan amara’diang lainnya dan inilah yang mendasari orang Mandar dikenal sebagai salah satu suku bahari di Indonesia. Pelayaran dan perdagangan maritim orang Mandar mencakup seluruh wilayah Nusantara, sehingga dikenal sebagai pelaut ulung (Anonim,1912:514).
Semangat kemaritiman mereka juga tercermin dalam sebuah ungkapan, bahwa sisara pai mata malotong anna mapute, anna sisara sasi lopi lopi, anna to Mandar (nanti berpisah mata hitam dari putuhnya barulah laut, perahu, dan orang Mandar berpisah). Hal ini penting dalam membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Dalam perkembangannya persekutuan pitu ba’bana binanga menjalin kerjasama dengan persekutuan pitu ulunna salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) berdasarkan Perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo) pada abad ke-16. Perjanjian ini bukan saja menjadi tonggak lahirnya Konfederasi Mandar, tetapi juga mendasari lahirnya istilah “sipamandar”, yang berarti saling memperkuat persatuan dan kesatuan (Hamzah,1987:6).
Jika disimak lebih jauh Assitalliang Tammajarra dan Allamungan Batu di Luyo, maka dapat dikatakan bahwa kedua perjanjian bukan hanya bertujuan menjalin kerjasama dalam membangun persaudaraan dan toleransi serta mewujudkan kesejahtraan dan kedamaian, melainkan juga sebagai bukti bahwa kedua persekutuan itu telah melakukan penataan dan membangun kebersamaan dalam kebinekaan di wilayah Mandar.
Berdasarkan uraian singkat tersebut, riset ini akan menggunakan pendekatan teori konflik dan integrasi. Maswadi Rauf (2001:1-2) antara lain merumuskan bahwa konflik adalah pertentangan atau perbedaaan pendapat antara minimal dua orang atau kelompok. Konflik merupakan gejala sosial yang selalu terdapat pada suatu masyarakat dalam setiap kurung waktu. Sementara Lewis A. Coser (1956) antara lain merumuskan bahwa konflik adalah suatu bentuk interaksi sosial; semua hubungan sosial memiliki antagonisme; dan konflik dapat berkonsekuensi menguntungkan (dalam Johnson, 1986: 195-206).
Karena itu konflik memungkinkan terjadinya integrasi yang membantu terciptanya adanya kesamaan dalam struktur sosial dan unsur-unsur yang dapat meredam konflik antar hubungan sosial (Coser, dalam Rahman, 2014:12). Dalam konteks ini, bahwa pembentukan amara’diang di wilayah Mandar, Assitallliang Tammajarra, dan Allamungan Batu di Luyo menunjukkan bahwa konflik tidak selalu merusak sistem yang telah ada, bahkan dapat bersifat positif, memperkuat solidaritas dan toleransi serta dapat membantu terciptanya suatu integrasi dalam menata kehidupan masyarakat yang berlandaskan pada kebinekaan.
Kajian Tentang Amara’diang di Mandar
Kajian tentang Amara’diang di Mandar atau di wilayah pitu ba’bana binanga, sesungguhnya telah banyak dilakukan, namun belum ada kajian yang dapat memastikan letak pusat pemerintahan pada awalnya yang kemudian dipindahkan ke pesisir pantai. Kajian dan laporan tentang Mandar, di antaranya adalah Nota van Toelichting Betreffende het Landschap Balangnipa.
Dari tulisan singkat ini diperoleh sejumlah data tentang Balanipa, baik yang berkaitan dengan adat-istiadat, kehidupan sosial ekonomi, sejarah singkat, dan kontrak-kontrak politik antara Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda, maupun yang berkaitan dengan data-data geografis Balanipa (Anonim,1912:503-535). Kemudian kajian J. Mallinckrodt dengan judul Zuid – Celebes Serie P. No. 77, Gegevens over Mandar en Andere Landschappen van Zuid – Celebes, memuat uraian singkat tentang susunan hadat, sejarah, dan adat-istiadat di Mandar (Mallinckrodt,1933: 303-367).
Berikutnya adalah laporan W.J. Leyds, Memori van Overgave Assistent Resident Mandar. Laporan ini tidak saja menguraikan secara umum tentang Mandar selama ia bertugas di wilayah tersebut, tetapi juga menyajikan sejumlah data penting yang berkaitan dengan keadaan geografis, penduduk, keadaan sosial, budaya, dan ekonomi, serta pemerintahan pribumi (Leyds,1940).
Selain itu, terdapat pula sejumlah kajian tentang Mandar yang tidak kalah penting untuk dikemukakan, antara lain Mengenal Pitu Babana Binanga (Mandar) dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan oleh Saharuddin. Kajian ini menyajikan sejumlah data tentang hubungan pitu ba’bana binanga dengan akkarungeng (kerajaan) lainnya dan Belanda, susunan pemerintahan, serta sistem pengangkatan pejabat pemangku adat (Saharuddin, 1985).
Saharuddin juga menulis Susunan dan Sistem Pemerintahan Balanipa Dahulu Dalam Hubungannya dengan Kebudayaan Daerah Mandar”, dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan (1977). Berikutnya adalah disertasi Darmawan Mas’ud Rahman, tentang Puang dan Daeng; Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar. Kajian ini merupakan salah satu sumber yang dapat membantu dalam memahami kehidupan sosial dan budaya politik orang Balanipa Mandar. Hal ini penting, sebab berbagai peristiwa dalam dinamika kesejarahan Amara’diang Balanipa, tampaknya amat sulit untuk dipahami tanpa mengetahui nilai-nilai budaya masyarakatnya.
Puang dan daeng merupakan simbol dalam sapaan dan identitas seseorang atau keluarga yang mempunyai makna dan tempat tersendiri dalam sistem sosial dan budaya orang Balanipa Mandar. Simbol puang merupakan representasi dan melekat pada diri kaum ada’ dan turunannya, sementara simbol daeng merupakan representasi dan melekat pada diri mara’dia dan turunannya.
Dalam budaya politik orang Balanipa Mandar disebutkan, bahwa para daeng mendapat wewenang untuk memegang kekuasaan pemerintahan yang diserahkan oleh kaum ada’, dan kaum ada’ senantiasa mengawasi pelaksanaan tata cara pemerintahan tersebut. Manakala pelaksanaan itu di luar jalur menyelamatan tana dan rakyat, maka golongan daeng yaitu mara’dia akan dipecat oleh kaum ada’ atas nama rakyat.
Itulah sebabnya dalam dinamika kesejarahan Amara’diang Balanipa sering terjadi konflik antara puang dan daeng, dan tidak sedikit mara’dia yang dipecat oleh kaum ada’ (Rahman, 2014).
Tahun 2003 diterbitkan sebuah buku hasil karya Ahmad Asdy, dengan judul Mandar dalam Kenangan Tentang Latar Belakang Keberadaan Arajang Balanipa Ke-52. Meskipun pusat perhatiannya pada pemerintahan Mara’dia Balanipa Andi Depu (1950-1959), tetapi juga menguraikan secara singkat tentang latar belakang persekutuan amara’diang, pembentukan dan struktur pemerintahan di Mandar (Asdy,2003).
Kemudian deskripsi tentang budaya bahari orang Mandar dilakukan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dalam karyanya yang berjudul Orang Mandar Orang Laut (2005). Karya ini selain menunjukkan bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung, juga tentang keunggulan budaya bahari Mandar pada daya cipta mereka untuk terus menerus menyesuaikan diri terhadap gelombang perubahan zaman.
Karya tulis tentang Mandar lainnya adalah Mengenal Mandar Sekilas Lintas oleh A. Saiful Sinrang (1994), Sejarah Mandar oleh M.T. Azis Syah (1997), Pendekatan Budaya Mandar oleh Ibrahim Abbas (1999), Sistem Pemerintahan Tradisional Masyarakat Mandar oleh Abd. Hafid (2000), dan Sejarah dan Budaya Masyarakat Mandar oleh Syahrir Kila (2001).
Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat oleh Edward L. Poelinggomang (2012), dan sejumlah tulisan tentang Mandar oleh A. Muis Mandra antara lain: Beberapa Perjanjian dan Hukum Tradisi Mandar (1987), Berbagai Kajian Masalah Budaya Mandar dan Agama Islam (1988), Mandar dan Bone Dalam Lontar Mandar (1990), dan Sejarah Timbulnya Adat Istiadat Sendana (2000).
Selain itu, terdapat pula sejumlah kajian yang menyinggung secara singkat tentang Mandar dalam historiografi Sulawesi Selatan. Hal ini dapat dipahami, sebab hingga tahun 2004 Mandar merupakan bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Di antaranya Sejarah Perkembangan Pemerintahan, Departemen Dalam Negeri di Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan yang disusun dan diterbitkan oleh Pemda Sulawesi Selatan (1991), Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan oleh Mattulada (1998), Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17 oleh Leonard Y. Andaya (2004), dan Sejarah Sulawesi Selatan oleh Edward L. Poelinggomang, dkk (2005).
Di samping itu, terdapat pula sejumlah hasil transliterasi dan terjemahan manuskrip atau naskah lontara tentang Mandar, di antaranya Lontara’ Pattodioloang di Mandar: Alih Aksara dan Terjemahan Jilid I (1991) dan Jilid II (1992) oleh M. T Azis Syah, Lontara Pattappingang Mandar: Translitersi dan Terjemahan oleh Suradi Yasil, dkk. (1985), Lontara’ Balanipa Mandar: Translitersi dan Terjemahan oleh Muis Mandra, dkk. (1991), dan Hubungan Mandar dan Bone Dalam Lontar Mandar oleh Muis Mandra (1990).
Selain itu, juga terdapat beberapa naskah lontara’ yang belum ditranslitersi dan diterjemahkan, di antaranya Lontara’ Pappuangan Limboro (Pemangku Ada’ Sappulo Sokko’) Amara’diang Balanipa, Lontara’ Pa’bicara Kaiyang (Pemangku Ada’ Sappulo Sokko’) Amara’diang Balanipa, dan Lontara’ Tappalang (salah satu amara’diang di pitu ba’bana binanga).
Sementara penelitian-penelitian arkeologi di Sulawesi Barat, terutama di wilayah Mamuju juga telah banyak dilakukan. Di antaranya penelitian A.A. Cense di Sampaga pada bulan Mei pada 1933, penelitian F.V. Callenfels di Bukit Kamassi sebelah timur pada 25 Sepetember hingga 17 Oktober 1937, dan penelitian H.R. van Heekeren di Bukit Kamassi bagian selatan 23 Agustus hingga September pada 1949.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Balai Arkeologi Makassar berkerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di situs Kamassi dan Minanga Sipakko pada 1994. Penelitian di situs Minanga Sipakko juga dilakukan oleh Nasrudding pada 1995. Berikutnya rangkaian penelitian di Daerah Aliran Sungai (DAS) Karama dan Minanga Sipakko yang dipimpin oleh Dr. Truman Simanjuntak pada 2003-2008. Kemudian Balai Arkeologi Makassar kembali melanjutkan penelitian di wilayah Kalumpang sejak 2010 hingga 2017.
Penelitian secara intensif di sepanjang DAS Karama yang dilakukan oleh Budianto Hakim, dkk. berhasil menemukan dua situs baru yang berciri neolitik dan paleometalik, yaitu situs Salu Makula di Kalumpang dan situs Sakkarra di Bonehau (Hakim,2017:3).
Selain penelitian arkeologi di DAS Karama, juga dilakukan penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Lariang oleh Hasanuddin, dkk. pada 2015. Terakhir dilakukan survei dan ekskavasi arkeologi di wilayah Mamuju dan Mamuju Tengah pada 2019. Penelitian yang dilakukan oleh Nani Somba, dkk. tersebut menemukan adanya kesinambungan antara masa neolitik akhir sampai ke peradaban masa pra Islam berlanjut pada masa kolonial (Somba, 2019) Selain melakukan penelitian di wilayah Mamuju, Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, juga melakukan penelitian di wilayah Mamasa sejak 1996.
Penelitian arkeologi di wilayah Mamasa kembali dilanjutkan pada 2009 hingga 2013. Dari kegiatan penelitian tersebut diperoleh gambaran mengenai potensi beberapa situs hunian yang tersebar di Mamasa yang membuktikan sebagai wilayah yang dihuni oleh manusia ribuan tahun lalu (Bernadeta AKW, dkk,2013).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa penelitian arkeologi yang selama ini dilakukan di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, baik yang dilaksanakan oleh peneliti dalam negeri maupun peneliti asing masih lebih menitikberatkan pada wilayah Mamuju dan Mamasa. Sementara penelitian arkeologi di luar kedua wilayah tersebut, terutama di wilayah Polewali Mandar (Polman) dan Majene masih sangat kurang dilakukan.
Padahal kedua kabupaten (Polewali Mandar dan Majene) ini, bukan saja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Provinsi Sulawesi Barat, tetapi juga merupakan pusat kekuasaan dari lima amara’diang di wilayah pitu ba’bana binanga. Oleh karena itu, penelitian koloborasi (arkeologi, sejarah, dan budaya) di wilayah Polewali Mandar dan Majene ini perlu dilakukan atau tidak dapat diabaikan dalam memahami secara utuh sejarah kebudayaan Sulawesi Barat.
Selain itu, penelitian arkeologi yang dilakukan di wilayah Sulawesi Barat selama ini, juga lebih banyak yang mencurahkan perhatiaannya pada periode pra sejarah. Sementara penelitian arkeologi pada periode sejarah masih sangat kurang dilakukan, sehingga data arkeologi pada periode itu seakan terabaikan atau kurang tersentuh.
Itulah sebabnya jika kita menyimak sejumlah kajian tentang amara’diang di wilayah pitu ba’bana binanga, terutama pada awal berdirinya lebih banyak didasarkan pada mitos dan keterangan-keterangan lisan, dan kurang berdasarkan pada data arkeologi dan sejarah. Oleh karena itu, penelitian koloborasi pada periode sejarah di wilayah Polewali Mandar dan Majene, terutama pada Amara’diang Balanipa dan Amara’diang Sendana (penelitian tahap pertama) pada 2022, bukan hanya semakin memperkaya data dan perspektif tentang awal berdirinya amara’diang di wilayah pitu ba’bana binanga, melainkan juga dapat memberi pemahaman secara konprehensif tentang kebinekaan, kemaritiman, dan identitas Mandar yang banyak ditentukan pada periode sejarah.
Bersambung…