Penulis: Hasriani Hanafi
Tidur dalam Sembab
Matahari kembali mengecup bibir senja. Yang menjadikan kami harus bersiap secara fisik dan mental untuk mengahadapi segala bahaya yang datang. Tidak hanya ketakutan pada gempa yang membuat persendian melemah. Tapi, gelapnya malam juga menjadi bumbu keresahan.
Kami sudah jatuh, dan tak ingin ditimpa tangga lagi. Mengukir pada gempa subuh yang melanda. Hampir semua trauma pada detik itu. “Muaq bongiqi andangi dzissang inna nadziola.” Beberapa orang mengulang kata ini. Sehingga, menjadi kekhawatiran setiap kali terang dilipurkan malam.
Suasana dan derita sangat terasa ketika malam tiba. Aku juga bingung, mengapa demikian. Di siang hari, bisa saja kami mengumpulkan peluru canda untuk membasmi beberapa rasa hampa. Tapi, di waktu malam, bola mata liar, penuh kewaspadaan dalam setiap gerakan dan suara.
Kami tidur dalam kepadatan penumpang. Tenda yang hanya berukuran 4 x 6 tidak mampu menampung keluarga besar kami yang berjumlah 39 orang. Posisi tidur sudah tidak karuan. Dan, bahkan aku dan suamiku sudah tidak mendapat tempat. Dan, harus tidur di tepi tikar, yang sebagian sudah harus beralas dengan rumput.
Kembali aku harus mengulang pengorbanan. Menjaga agar anak dan suamiku bisa tidur dengan lelap. Mereka adalah pelita dan penyemangat hidupku. Melihatnya bahagia, menjadi keinginan dan keharusan buatku.
Kami harus hijrah dari tempat itu. Kala hujan, melarang kami untuk tetap bertahan pada posisi yang teramat memilukan. Tak ada alasan untuk bertahan. Bajuku sudah bercampur dengan lumpur akibat hujan yang terus mengguyur.
Tempat yang menjadi pilihan kedua kami juga tidak aman. Palpon teras itu sudah patah, dan balok penyanggahnya nyaris jatuh. Dan, kami berada tepat di bawah titik patahan yang menyebabkan lengkungan tripleks dan balok.
Kesabaranku sangat di uji. Anakku yang tidak tahu menahu, hanyut dalam dengkurnya. Hampir semalam suntuk, aku berjaga. Karena, sedikit saja gerakan dan getaran gempa, akan mampu menggugurkan balok dan tripleks yang sudah terlihat melengkung itu. Semua, bahkan khawatir, tapi kami sudah tidak punya pilihan. Karena, tempat tidur kami sudah bercampur air dan lumpur. Yang ku lakukan, hanya bisa berjaga agar dapat mendeteksi getaran yang datangnya tidak pernah di duga.
Sesekali ku sorot persawahan, yang berada di depan posko pengungsi di tengah malam buta. Suara ombak terdengar keras dan masih jelas dari tempat kami, suasana semakin mengerikan. Secara bergantian, melebarkan senter mengecek keadaan di sekitar. Tidak jarang, cahaya lampu bertemu. Dan, patroli malam terus kami lakukan, untuk bersiap pada perubahan cuaca selanjutnya.
Amma’ Sa’na penderita penyakit stroke ringan yang juga keluarga kami, telah menyaksikanku dalam ronda semalam penuh itu. “Minnassa andango’o matindo amma’ Maryam, semata mimbueo uwita.” ia rupanya diam-diam menyelinap memandangiku.
Mereka yang bersibaku air dan lumpur, juga ikut mencari tempat yang lebih layak. Berkali-kali mereka harus mengganti pakaian, karena sudah sembab dan menjadi momok penyakit jika dipertahankan. Tak ada alternatif lagi buat mereka, selain di tempat yang dekat denganku di bawah teras yang sejengkal akan rubuh. Kami tidur sedang di atas ada maut yang mengetuk.
Kami hanya mengandalkan jam. Karena, waktu menuju subuh menjadi bisu. Yang dulunya, terdengar suara ayam berkokok atau sholawat tarhim sebagai penanda, kini menghilang terbelit bala membalun. Kerinduan pada suara adzan berkobar. Mencari dalam rimbunan duka yang tak tahu kapan akan tiba.
Sholat subuh mulai tiba. Pancuran air hujan dari tepi seng beralih fungsi menjadi tempat wudhu. Memerlukan tenaga untuk bisa tiba di sumur yang lumayan berjarak dari tempat kami. Sehingga, niat untuk kesana diurungkan. Air hujan ini berkah, dan memudahkan kami mendapatkan air untuk berwudhu.
Seberkas sinar fajar mulai menampakkan diri. Kehidupan kembali lapang. Karena, siang menjadi salah satu penawar kemelaratan di tengah cerita tenda biru yang berkibar. Semakin gelabah, mencair bersatu dalam air dan lumpur dengan himpitan penduduk tenda yang begitu padat malam itu.
Jam 8 pagi, penduduk posko pengungsi di Lingk. Galung Malunda kembali ricuh dengan adanya kabar, akan datangnya petaka besar tersiar. Jaslan, kakak ipar ku, yang memiliki anak kembar yang baru berumur 6 bulan, memilih Majene sebagai opsi terbaik untuk menyelamatkan diri dari petaka itu. Sedang kami, tetap masih bertahan. Meski, akhirnya harus pindah ke posko induk di Bukit Tinggi karena keterbatasan bahan dan keperluan.
Pak Muslimin atau Pukkali Malunda, selalu memberikan arahan untuk tetap tenang dan waspada. Perintah untuk banyak berdzikir dan berdo’a selalu disampaikan. Ia mengabaikan kabar buruk yang tersiar itu. Parasnya masih sangat biasa. Seakan menyimbolkan, tak ada yang berarti untuk ditakuti seperti yang sedang hangat dibicarakan itu.
Sebelum beranjak ke Bukit Tinggi, kami memilih untuk pulang mengambil selimut dan pakaian tambahan untuk persediaan. Karena, sebelumnya kami tak berani mengambil pakaian dari dalam rumah. Karena, kondisinya semakin menyayat setelah gempa 6,2 magnitudo menghantam. Kami hanya bisa mengambil pakaian yang tersisa di jemuran, itupun hanya beberapa lembar, sehingga kami telah kehabisan amunisi.
Aku dan suami berencana mengambil pakaian yang lebih banyak, untuk persiapan kami di pengungsian ke 3 ini, terutama untuk kebutuhan Maryam. Tak ada lagi perundingan, siapa yang akan masuk. Karena, aku mengambil alih jalan, menghindari perdebatan untuk mengurangi dosa sebelum nyawaku melayang.
Sebab, kisahku kembali terputar pada cerita yang sama, persis saat gempa pertama melanda. Hanya saja, letak perbedaannya berada pada patok kondisi yang semakin parah. Badan rumah mulai miring ke kiri, lantai terbongkar seperti terbelah dan sebagian lantai seperti di seruduk dari bawah, tembok depan rumah juga sudah menganga. Keadaan itu semakin menusuk, tapi tidak dengan cintaku pada mereka. Aku masih kuat dan masih mampu menahan rasa takut. Aku hanya ingin mereka berdua tetap selamat. Dan, tetap akan kuhalangi suamiku untuk masuk ke rumah itu. Biarlah tetap aku yang menanggungnya. “Takkalai” batinku bergejolak.
Cinta bukan dihitung dari seberapa banyaknya diucap, tapi sejauh mana menyelam ke dalam pengorbanannya, hingga tiada titik penyesalan karena cinta sudah terlaksana. Benakku membayang, memoriku merebak pada kuatnya cinta melawan gempa.
Persiapan kami sudah rapi. Aku sudah berhasil mengeluarkan semua kebutuhan untuk beberapa hari. Berselang beberapa detik, tepat kakiku berada di tepi pintu. Bunyi berdesak dari tanah, dan guncangan gempa menghadang yang berkekuatan 5,2 magnitudo. Kami berlari menjauhi bangunan. Aku sudah melihat jelas, kuasa Tuhan yang teramat dekat. Meloloskanku dari maut demi melindungi suami dan anakku.
Kami segera mengangkut barang ke Bukit Tinggi. Dengan mengendarai motor Blade hitam, yang menjadi sahabat kami 2 tahun terakhir ini, masih setia menemani.
Disana, kami sudah bisa tidur nyenyak. Setelah berhari-hari, berada dalam kantuk maha dahsyat. Disini kami, merasa jauh lebih aman. Aku leburkan diriku dalam hamparan pulas berkepanjangan, yang sekian lama bertengger dalam kesetiaan penjaga.
(BERSAMBUNG KE BERTARUNG NASIB)
Deking, 3 Maret 2021
====
Hasriani, lahir di Lampa 26 Juni 1989. Anak ketiga dari Hanafi dan Marwah. Wanita yang berprofesi guru dalam status honorer di SMA 1 Malunda berasal dari Mapillie Desa Bonra kec. Mapilli Kabupaten Polman. Namun, sudah lama merantau ke Tapalang -Malunda.
Tahun 2009-2011 tinggal dikediaman Ramli Habidul dan Hj. Mudiah sebagai orang tua asuh di Pasa’bu Tapalang Barat. Dan, Tahun 2012 hijrah ke Malunda dengan alasan menyelesaikan studi S1 di kampus 2 Universitas Al-Asyariah Mandar. Kemudian, memilih menetap di Malunda setelah menemukan tambatan hatinya Busriadi, yang kini dikaruniai seorang anak bernama lengkap Maryam Busriadi.
Selain bekerja sebagai honorer, seorang penyintas gempa di Malunda yang berkekuatan 6,2 Magnitudo ini juga menjadi salah satu pendiri Sanggar Ta Sende di Malunda yang bergerak dalam bidang seni tari. Dan, saat ini tengah menekuni dunia sastra.