Kisah Cinta Penyintas Gempa di Malunda (6)

Penulis : Hasriani Hanafi

Bertarung Nasib

SABTU, 16 Januari 2021 kembali mendirikan tenda ketiga, namun cuaca masih berawan. Laksana cinta yang tak kunjung bersemi. Mentaripun nampak masih  bermuram durja. Tak menebarkan seberkas sinar dalam helai daun yang diam tak bergeming. Menghalau segala kehidupan yang semakin menuai. Kami masih menatap pada langit, mengintai angin, dan memantau inci gerak rerumputan di kompleks SMK Bukit Tinggi. Semua masih hening, menjadikan sesak tiada berdaya.

Atap dan lantai tenda biru menjadi pemandangan baru di kampung itu. Paras baru ikut mewarnai, menambah goresan kisah gempa di lokasi yang menjadi pilihan terbaik kami. Bahkan, bibir jalan raya menjadi lantai pengungsi untuk mengusik segala kepenatan dalam penyelamatan dari ancaman penjuru bumi. Jalan ke ibu kota Mamuju semakin sempit, karena kami yang terjepit ikut menghimpit.

Lokasi zona merah yang selama ini ditakuti karena belokan tajam berliku dan menurun yang telah menelang banyak korban kecelakaan. Dari luka ringan hingga berat sudah tercatat disana, kini berubah arah. Dibanjiri pengunjung, hingga kemacetan tak lagi terelakkan. Akan tetapi, mereka bukan  dari wisatawan, atau rombongan pelajar yang sedang studytour, yang akan menyediakan persiapan untuk makan dan minumnya, atau memasang tenda untuk saling berseda gurau sambil menikmati indah panorama alam, namun merekalah manusia yang keringatnya sudah kering karena dehidrasi tanpa asupan yang cukup, menghabiskan air matanya dalam kabar duka disetiap selubungnya. Dan, dialah yang mengenakan pakaian bercak darah akibat reruntuhan yang telah menimpanya. 

Waktu berjalan lengang, segala pundi kehidupan meregang. Puskesmas darurat yang sibuk dengan berbagai macam kasus cedera, mencabik seisi sukma kebahagiaan. Sanggar tangisan memeras semangat, aku juga semakin lemah melihat banyaknya warga yang menjadi sasaran reruntuhan saat gempa menerjang dalam tandu yang beradu.

Iklan Nusantara Palestina Center

Bu Rahma sapaan teman mengajar di SMA Negeri 1 Malunda juga menjadi korban puing tembok saat menyelamatkan anak bungsunya. Wanita yang menjadi pahlawan keluarganya itu, membuktikan bahwa cinta mampu merubah wanita menjadi super hiro. Ketika hujan batu menghantam, ia langsung tiarap melindungi anaknya yang tengah tidur pulas. Sehingga, ia harus mendapat perawatan medis karena hantaman keras mengenai kepalanya. Ketulusan seorang ibu terlukis jelas  didirinya. Walau sakit, ia tak akan memperlihatkan perih pada anaknya agar mereka tidak semakin ketakutan. Begitulah tuturnya padaku.

Kutengadahkan wajah sambil menyemai syukur yang teramat besar. Aku salah satu orang yang beruntung, karena selamat dari hamparan luka tiada tara. Semakin aku menatap para korban di atas tandu, semakin melebur air mata deras tak terhenti. Cinta yang ku titipkan pada suami dan anakku, mendapat balasan cinta dari-Nya. Aku yakin semua atas kebesaran-Nya, walau raga menantang maut, menerobos pintu bahaya oleh amukan lindu, takdir akan terlihat hebat dalam nyata, bahwa aku selamat dan mendapat lindungan dari-Nya.

Sudah terhitung sepekan, wajah merona suamiku tak kunjung merekah. Meski tempat kami di bukit, namun akses jaringan di luar jangkauan. Penyebab itu yang membuat perasaan rusuh, kerja mengejar hati meresah, semboyang yang selaras dengan suara hatinya. Kami harus merentangkan jarak, karena peranan sebagai pelayan publik mengharuskannya mencari, menulis, dan mengirim berita, sedang kami juga bertengger di urat nadinya. Bahara tanggung jawab semakin membengkak terkuak oleh ekspresi yang tergambar darinya.

Di pengungsian ketiga ini, didiami 17 kepala keluarga. Para suami secara bergantian memanggul air yang diambil dari masjid yang  berkisar kurang lebih 1 kilo perjalanan menuju tempat itu, namun suamiku hanya bisa membantu seadanya. Rasa sungkan mengelitik, setiap kali Maryam akan buang air ataupun mandi. Aku tak bisa berbuat banyak, akhirnya aku harus mengajak Maryam untuk berjalan kaki setiap kali ingin mandi dan buang air. Banyak yang melarang, tapi aku bukan tipe wanita yang suka mengumbar perasaan pada orang lain, sekalipun itu keluarga sendiri.

Waktu berjalan sesuai perputaran maka usahlah mencemaskan kegelisahan, karena Tuhan yang akan menyelesaikan rotasi kehidupan. Sekuat tenaga aku menggendongnya menyisir jalan raya nan berliku. Menjadi tontonan warga setiap kali Maryam merengek kecapean. Tidak sedikit pula yang memajangkan mimik kasian padaku, hingga tawaran mereka ajukan dan aku harus menyela karena ku tau gencatan airnya tidak sederas yang mereka ucapkan bahkan terkadang tidak mengalir.

“Turunka dulu di Malunda karena akan ada posko relawan yang akan terbentuk, mungkin jadi anggotaka juga,” kata suamiku dengan nada samar.

Jeda waktu seakan terdengar, mengusik ketenangan jantungku yang berdetak lemah. Aku menahan desakan air yang sudah berada di tepi mataku karena berjuta opini menyerang dengan hebat. Kalau saja gempa kembali, maka  ia akan menembus jalan pesisir pantai dengan resiko membancang. Pikiran kalut itu yang meluapkan ibaku. Sarang kokoh yang ku bangun selama ini berangsur hancur. Kami sudah melewati kehidupan yang merana, jika saja Tuhan masih menguji maka aku harus mengikutinya.

Hembusan desah terdengar nyaring, peringatan darurat masih bergulir dan kami harus melawan arus. Kami sudah pasrah pada keadaan dan menjadi keputusan terbaik saat itu, menyerahkan kepada sang khalik akan keselamatan dan pelindungan. Kalaupun nafas akan berakhir di bumi Malunda, maka aku ikhlas karena kesetiaanku pada sang suami menjadi akhir dari segalanya, Tuhan maha pengasih  dan penyayang. Akhirat menjadi tujuan utama karenanya, sumber dari keberanianku kembali melebarkan sayap.

Foto Utama: Wahyudi Muslimin

(BERSAMBUNG KE KEMBALI MENATA HIDUP)

Deking, 3 Maret 2021

====

Hasriani, lahir di Lampa 26 Juni 1989. Anak ketiga dari Hanafi dan Marwah. Wanita yang berprofesi guru dalam status  honorer di SMA 1 Malunda  berasal dari Mapillie Desa Bonra kec. Mapilli Kabupaten Polman. Namun, sudah lama merantau ke Tapalang -Malunda.

Tahun 2009-2011 tinggal dikediaman Ramli Habidul dan Hj. Mudiah sebagai orang tua asuh di Pasa’bu Tapalang Barat. Dan, Tahun 2012 hijrah ke Malunda dengan alasan menyelesaikan studi S1 di kampus 2 Universitas Al-Asyariah Mandar. Kemudian, memilih menetap di Malunda setelah menemukan tambatan hatinya Busriadi, yang kini dikaruniai seorang anak bernama lengkap Maryam Busriadi.

Selain bekerja sebagai honorer, seorang penyintas gempa di Malunda yang berkekuatan 6,2 Magnitudo ini juga menjadi salah satu pendiri Sanggar Ta Sende di Malunda yang bergerak dalam bidang seni tari. Dan, saat ini tengah menekuni dunia sastra.