Oleh: Chaerul Anam
Kartini, Perempuan, dan Pembangunan dalam konteks Indonesia merupakan tiga kata yang amat mudah dan penting untuk diingat. Apa lagi kalau kita tengah melangkah ke bulan april. Tepatnya setiap tanggal 21 April ditiap tahun. Seperti sebuah ilham yang merasuki tubuh bangsa ini.
Kartini merupakan sosok perempuan, yang disimbolkan sebagai perempuan yang berani “menabrak” tembok tradisi yang mengungkungnya. Dengan segala kemampuan, ia berani berjalan ke jendela tradisi, membukanya dan mengintip ke ruang publik yang begitu luas, di luar tembok yang mengepungnya. Ada cahaya benderang yang menyusup masuk ke rumahnya, menelisik hatinya dan mengguncang dadanya. Dia tidak ingin kaumnya terjerumus ke dalam kubangan ketidakberdayaan (powerless). Dia menepis kegelapan dan merengkuh cahaya “pembebasan” kaumnya.
*****
Seorang.Budayawan Mandar Sulbar, almarhum M. DARWIS HAMSAH, dalam salah satu tulisannya di Majalah Ilmiah PRISMA (1983), mencoba mengurai peran wanita dibeberapa suku bangsa di negeri ini. Beliau menggambarkan bahwa dalam konteks budaya, kita saksikan peran perempuan (wanita), khususnya pada masyarakat konvensional seperti terpantul pada konsep organisasi keluarga, wanita menempati posisi sebagai “konco wingking”, teman digaris belakang, laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga berkewajiban bertarung di luar rumah, mencari sesuap nasi, membanting tulang dan memeras keringat untuk memenuhi.kebutuhan keluarga.
Status sosial suatu rumah tangga amat tergantung pada jenis dan posisi sang suami ditengah tengah masyarakat. Hal ini menjadi salah satu penyebab ketidakwajaran dalam kehidupan rumah tangga. Hak dan kesempatan wanita terpasung di sekitar tapal batas rumah tangga. Dalam rumah tangga pun mereka tidak disertakan dalam pengambilan keputusan.
Pada masyarakat Mandar Sulawesi Barat dikenal pula konsep keluarga yang disebut “siwali parri”, saling menopang dalam kesempitan. Pada mulanya konsep ini masih berjalan dengan.menggunakan halaman rumah sebagai tapal batasnya. Sang suami berlayar kemana-mana. Sang isteri.menjaga garis belakang, disamping sebagai pendidik dan pendamping anak, juga sebagai penunjang ekonomi rumah tangga. Di rumah ia bekerja sebagai penenun atau sebagai pengrajin barang sulaman.
Seiring dengan tuntutan emansipasi wanita dan segayut dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga, serta pergerakan pembangunan yang makin cepat. . Konsep pengelolaan organisasi rumah tangga mengalami pergeseran. Dikalangan masyarakat jawa, terutama.masyarakat pedesaan, wanita tidak lagi terpaku pada posisinya sebagai teman digaris belakang saja. Mereka terlihat diberbagai lapangan kegiatan (pasar tenaga kerja). Mereka berada ditengah tengah tegalan dan ditengah sawah. Entah sebagai pengolah tanah, entah sebagai penyiang, penanam, dan mungkin juga sebagai penuai hasil.
Demikian pula di daerah perkotaan di Indonesia. Kaum perempuan telah memasuki dan berkompetisi dalam berbagai jenis lapangan pekerjaan. Khusus di Sulawesi Tengah partisipasi perempuan dalam lapangan pekerjaan mengalami peningkatan. Berdasarkan data penduduk yang bekerja, maka dii tahun 2012 peran perempuan sebesar 33,63 % dan di tahun 2015 menjadi 35,01 %. Dari total penduduk yang pekerja di Sulawesi Tengah.
*****
Kartini telah berhasil membuka pintu ruang publik untuk diisi oleh kaum perempuan sebagai.manifestasi partisipasi perempuan dalam penbangunan. Namun kaum perempuan harus merefleksi di hari Kartini bahwa harmoni dari hentakan gendang rumah tangga tidak bisa diabaikan. Bahkan harus dijaga untuk mengantar seluruh penghuni rumah tangga ke pintu bahagia yang hakiki. Wallahu a’lam bissawab
Palu, 3/4 Malam: Jum’at, 21 April 2017