Perempuan dalam Pusaran Pemilu

Oleh: Ratna Istianah

(Koordinator Daerah Pemantau Pemilu Jaringan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Kota Sukabumi)

 

HARI ini tanggal 22 Desember, bangsa Indonesia memperingati hari Ibu. Peringatan hari Ibu di Indonesia berbeda dengan perayaan Mother’s Day seperti di negara lain. Perbedaan tersebut diantaranya terletak pada waktu peringatannya.

Sejarah mencatat peringatan Hari Ibu di Indonesia merupakan tonggak perjuangan kaum perempuan untuk terlibat dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan pergerakan perempuan Indonesia dari masa ke masa sebagai sumber daya dalam pembangunan dan berbagai sektor seperti pendidikan, sosial dan politik.

Tepat hari ini pula Indonesia 53 hari lagi akan menggelar pesta demokrasi, pemilu tahun 2024. Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu diharapkan mampu menghasilkan pemerintahan yang mendapat legitimasi yang kuat dan dipercaya. Pemilu pun menjadi tonggak tegaknya demokrasi, dimana rakyat secara langsung terlibat aktif dalam menentukan arah dan kebijakan politik negara untuk satu periode pemerintahan ke depan.

Ciri sebuah negara demokratis dilihat dari seberapa besar negara melibatkan  masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena partisipasi politik masyarakat merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, baik masyarakat terlibat aktif sebagai peserta pemilu, penyelenggara pemilu ataupun hanya sebagai pemilih.

Perempuan memegang peranan penting dalam menyukseskan pesta demokrasi pada 2024 mendatang. Baik sebagai Peserta pemilu (calon legislator), penyelenggara ataupun sebagai pemilih. Tercatat di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang telah ditetapkan oleh KPU RI jumlah pemilih perempuan sebanyak 102.588.719 lebih banyak dibanding dengan laki-laki sebanyak 102.218.503 pemilih. Dengan angka pemilih yang besar ini harusnya perempuan menjadi elemen penting dalam demokrasi di Indonesia.

Namun faktanya, banyak rintangan ketika perempuan berpartisipasi aktif dalam pemilu salah satunya keterbatasan dalam akses dan representasi (keterwakilan). Pemikiran dan pandangan perempuan seringkali tidak dipertimbangkan dengan serius dalam proses pengambilan keputusan politik. Problem muncul sejak mereka menggagas ide atau sebuah gagasan tak mendapat respon dari pengambil kebijakan. Dimana terdapat kesenjangan dari penggagas ide dan penerima ide.

Kesenjangan ini yang membuat perempuan apatis terhadap pemilu dan politik, dan ini pula yang membuat perempuan lebih tidak aksesibel. Apalagi keterwakilan perempuan sebagai legislator dan penyelenggara pemilu sangat sedikit. Isu-isu perempuan di parlemen masih kurang terwakilkan. Satu contoh Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum telah mengatur menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada pengurus partai politik tingkat pusat.

Undang-undang Pemilu juga mengatur penyelenggara pemilu wajib memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen baik untuk tim seleksi, KPU, dan Bawaslu. Namun kebijakan afirmasi perempuan belum dilakukan secara maksimal. Data menunjukkan keterwakilan perempuan yang duduk di DPR RI tercatat hanya 20,4 persen, DPD RI 30, 14 persen, DPRD Kota Sukabumi 17,1 persen.

Hal yang sama terjadi pada seleksi penyelenggara pemilu  kebijakan yang belum berperspektif keadilan gender contohnya hasil seleksi calon anggota KPU Kota/Kabupaten dari 12 Kota/Kabupaten di Jawa Barat tahun 2023 berdasarkan Pengumuman KPU RI nomor 117 tahun 2023 representasi perempuan hanya sebesar 11 persen. Terjadi penurunan sebesar 6 persen dibanding dengan hasil seleksi pada tahun 2018.

Hal ini menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di ranah pemilu dan politik masih jauh dari cukup untuk memperjuangkan dan mengangkat isu perempuan Regulasi yang mengatur memperhatikan keterwakilan perempuan sekitar 30 persen belum sepenuhnya bisa mengakomodir perempuan sepenuhnya sehingga perlu adanya usaha untuk meningkatkan keterwakilan dan akses keterlibatan perempuan dalam politik.

Usaha tersebut salah satunya adalah pertama,  pelatihan dan pendidikan politik untuk perempuan yang ingin maju dalam karier politik atau pemimpin masyarakat. Kedua, jaringan dan organisasi khusus perempuan yang mendukung dan memperjuangkan hak-hak perempuan serta menyediakan tempat yang aman untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, membangun kemitraan, dan memperkuat pemahaman politik.

Ketiga, kampanye kesadaran berpolitik. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah pandangan negatif tentang perempuan dalam kepemimpinan serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan untuk aktif dalam pemilu dan politik. Sehingga Angka keterwakilan perempuan dan dukungan perempuan untuk maju dalam kancah politik terus meningkat. Namun apakah semua itu cukup untuk menembus