(Catatan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
PEMERINTAHAN Joko Widodo (JKW) dan Jusuf Kalla (JK) telah genap tiga tahun. Konsolidasi dukungan partai politik (parpol) pemerintah terbilang terus mendapat ujian. Pada periode awal pemerintahan, dukungan hanya berasal dari PDI Perjuangan, PKB, Hanura, dan Nasdem.
Koalisi ini awalnya hanya meraup 40.95 persen suara atau setara dengan 208 kursi parlemen (37.1 persen dari total jumlah kursi DPR). Dengan sebaran, PDI Perjuangan 109 kursi atau 19.4 persen. PKB dengan 47 kursi atau 8.4 persen. Nasdem dengan 36 kursi atau 6.4 persen. Hanura dengan 16 kursi dengan 2.9 persen.
Setelah pemerintahan berlangsung setahun, PPP, Golkar, dan PAN bergabung dengan Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KPPP). Dengan masuknya tiga partai menjadi bagian KPPP-PPP dengan 39 kursi atau tuju persen, Partai Golkar 91 kursi atau 16.2 persen, dan PAN dengan 48 kursi 8.6 persen.
Praktis, kekuatan koalisi yang awalnya minoritas, berubah menjadi mayoritas dengan porsi penguasaan 68.9 persen kursi DPR. Situasi demikian roda pemerintahan teoretis berjalan efektif, karena lebih mudah dalam pengambilan setiap kebijakan.
“Kekompakan koalisi KPPP dapat diukur menggunakan Rice Index. Ini dapat dilihat dari lima kasus pengambilan kebijakan yang melibatkan Pemerintah dan DPR. Satu pembahasan RUU, empat pembahasan Perpu,” buka Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz, melalui rilis yang dikirim kepada Mandarnesia.com, Rabu (1/11/2017).
Diterangkan August, Rice Index, bertujuan mengukur kekompakan atau disiplin fraksi pemerintah di DPR. Dari pengukuran tingkat disiplin fraksi, terdapat 5 kategori penilaian, yaitu antara 100 Sampai Dengan (S/D) 91 sangat tinggi. 90 s/d 81 tinggi. 80 s/d 61 rendah. 60 s/d 41 sangat rendah. Sedangkan di bawah nilai 40 dikategorikan tidak ada disiplin fraksi.
Dari pengukuran Rice Index yang dilajukan. Pada pembahasan Perpu No 1 Tahun 2015 Tentang KPK, Perppu No 1 Tahun 2016 Tentang Hukuman Kebiri dan Perpu No 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Pajak, tingkat disiplin fraksi pemerintah sangat tinggi dengan nilai 100 (Rice Index).
Namun, pada kasus pengesahan UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan Perppu No 2 Tahun 2017 Tentang Ormas, tingkat disiplin fraksi koalisi, turun menjadi 73,33 persen dan masuk dalam kategori rendah.
Menurunnya nilai Rice index koalisi KPPP pada dua kasus terakhir disebabkan beragam faktor. Seperti perbedaan kepentingan anggota koalisi dalam membaca produk regulasi usulan pemerintah. Atau bisa saja ‘ketiadaan’ atau ‘ketidakmampuan’ tim komunikator pemerintah dalam menerjemahkan regulasi kepada anggota koalisi.
Pada pemungutan suara pembahasan UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan Perppu No 2 Tahun 2017 Tentang Ormas. PAN mengambil langkah politik berbeda dengan anggota koalisi KPPP lainnya.
PAN menolak opsi yang ditawarkan dalam dua produk regulasi usulan pemerintah. Akibatnya, PAN mendapat kritik dari internal koalisi. Bahkan muncul desakan agar JKW-JK melakukan perombakan kabinet dengan mencopot wakil PAN di Kabinet Kerja.
Meski mengalami penurunan, tingkat disiplin fraksi koalisi pemerintah era JKW-JK dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya, meskipun tetap harus menjadi perhatian.
“Coba kita bandingkan tingkat disiplin fraksi DPR pada masa pemerintahan SBY-Boediono. Apakah fraksi-fraksi partai pendukung pemerintah memiliki tingkat disiplin koalisi yang tinggi. Terutama pada isu krusial seperti kenaikan harga BBM,”
Kata August.
Pengambilan keputusan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), koalisi SBY-Boediono yang didukung oleh enam parpol, Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PPP, dan PKS memiliki 423 atau setara dengan 75,54 persen kursi di DPR.
Namun pada saat pengambilan keputusan, Partai Golkar dan PKS menyatakan tidak setuju dengan opsi kenaikan harga BBM. Berdasarkan pengukuran Rice Index koalisi SBY-Boediono pada isu kenaikan BBM, menghasilkan nilai 22.93 persen. Dengan hasil pengukuran berdasarkan indeks tersebut, maka masuk kategori tidak ada disiplin koalisi dalam koalisi era SBY-Boediono.
Ujian Tahun Politik Joko Widodo 2018 dapat dikatakan sebagai tahun politik. Setidaknya ada perhelatan politik yang bakal menyedot energi besar parpol.
Pertama, Pilkada serentak 2018 di 171 daerah yang terdiri dari 17 Pilgub, 39 Pilwakot, dan 115 Pilbub. Kedua, pembahasan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Parpol. Dapat diprediksi, hasil kedua perhelatan politik di atas akan berdampak langsung dengan konstelasi politik dan peta koalisi menjelang Pilpres 2019.
Dari hasil kontestasi Pilkada serentak 2018, akan diperoleh peta kekuatan masing-masing Parpol. Partai mana saja yang menguasai wilayah dengan basis pemilih yang besar serta berapa jumlah daerah yang berhasil dimenangkan, akan menjadi modal berharga terlebih lagi pada momen Pemilu serentak 2019.
“Hasil Pilkada 2018. Menjadi acuan dalam menghitung peta kekuatan masing-masing parpol”
Sedangkan hasil pembahasan UU MD3 dan UU Parpol, menurut August, akan menentukan preferensi politik Joko Widodo dalam membangun koalisi Pilpres mendatang. Apakah koalisi yang dia bangun masih efektif atau tidak?
Peta politik saat pengambilan keputusan dua regulasi tersebut akan menjadi penentu. Apakah hasil Rice Index akan turun, stagnan, atau naik. Ujian terakhir bagi Joko Widodo atas infrastruktur politik yang telah dibangun.
#SudirmanSyarif