,

Eee Bolonge… Saeyyang Pattuqduq, antara Festival dan Ritual

Laporan: Wahyudi

Budaya masa lalu adalah legacy atau warisan yang telah ditinggalkan para pendahulu kita. Pelestariannya tentu menjadi sebuah hal yang tak bisa dinafikan.

Ada banyak cara untuk melestarikannya salah satunya dengan menggelar festival, menurut pengamatan penulis selama ini, bahwa ini adalah salah satu tradisi favorit di Mandar yang masih banyak dilakukan masyarakat Mandar.

Di Mandar dikenal memang ada tari diistilahkan tuqduq, sedang penari disebut pattuqduq, secara tradisional, tari-tarian merupakan persembahan kepada dewata. Dalam perkembangan selanjutnya, menjadi tarian upacara hiburan pada pesta atau upacara kerajaan. Akhirnya menjadi tarian menghibur untuk umum.

Tari pattuqduq ada diperkirakan sejak abad ke-10 tari pattuqduq/tuqduq dikenal oleh masyarakat Mandar. Dikenal berbagai tuqduq, yaitu tuqduq sore, tuqduq sarawadang, tuqduq cakkuriri, tuqduq losa-losa, tuqduq palappa, tuqduq kumba, tuqduq denggo, tuqduq tipalayo, dan tuqduq sawawar.

Pattuqduq yang paling terkenal dan dianggap mistis adalah Tuqduq Kumbaq. Tuqduq ini diketahui sebelum I Manyambungi Todilaling menjadi Raja Balanipa. Untuk tuqduq ini diperlukan dua buah gendang dan sekurang-kurangnya satu buah gong mengiringi tarian. Biasa dilakukan oleh delapan orang puteri.

Pada zaman dahulu hanya ditampilkan pada upacara kerajaan, melambangkan kesetiaan seseorang puteri yang ditinggalkan kekasih. Berdasarkan status sosial Pattuqduq, maka pattuqduq terbagi tiga yaitu (1) Pattuqduq Anaq Pattola Payung ‘Penari Tuqduq Anak Bangsawan Raja Murni’, (2) Pattuqduq Anaq Pattola Tau Pia ‘Penari Tuqduq Anak Bangsawan Hadat’, dan (3) Pattuqduq Tau Biasa ‘Penari Tuqduq Orang Awam/Biasa’. Ada juga disebut “Tuqduq Denggo”, yaitu tari tradisional yang mulai dikenal pada abad ke-16, sejak masuknya agama Islam di daerah Mandar. Biasanya ditarikan tujuh orang puteri dengan sendok di tangan, diikuti pukulan rebana dan lagu yang syairnya dalam bentuk kalindaqdaq. Dipilih kalindaqdaq yang bertema nasihat dan keagamaan.

Lalu tradisi saeyyang pattuqduq ini tidak diketahui persis kapan dimulai. Secara harfiah diartikan “kuda yang menari-nari”, yaitu arak-arakan kuda yang menggoyang-goyangkan kepala dan dua kaki depannya, yang mana di atas menunggang wanita, baik satu ataupun dua.

Diperkirakan tradisi itu dimulai ketika Islam menjadi agama resmi beberapa kerajaan di Mandar, kira-kira abad XVI. Sayyang pattuqdu awalnya hanya berkembang di kalangan istana, yang dikembangkan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kuda digunakan sebagai sarana sebab dulunya di Mandar, kuda adalah alat transportasi utama dan setiap pemuda dianjurkan untuk piawai berkuda.

Dalam perkembangannya, saeyyang pattuqdu menjadi alat motivasi bagi anak kecil agar segera menamatkan Al Quran. Ya, ketika seorang anak kecil mulai belajar Al Quran, oleh orang tuanya dijanji akan diarak keliling kampung dengan sayyang pattuqdu jika khatam Al Quran. Karena ingin segera naik kuda penari, maka sang anak ingin segera pintar mengaji dan khatam Al Quran “besar”.

Musim saeyyang pattuqdu dimulai setelah 12 Rabiul Awal. Beberapa kampung di Mandar, secara bergantian melaksanakan arakan sayyang pattuqdu dalam jumlah banyak. Jadi hampir tiap hari ada saja arak-arakan kuda yang di atasnya duduk anggun wanita-wanita cantik, yang diiringi tabuhan rebana nan rancak, dan irama kalindaqda (syair yang dilagukan) yang sering kali disambut sorakan penonton karena isi kalindadaq-nya jenaka.

Narasi tersebut di atas ditulis Muhammad Ridwan Alimuddin (MRA) dalam bukunya Alam Budaya, Manusia yang diterbitkan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Polewali Mandar tahun 2011.

Pengamaatan penulis selama ini kebiasaan orang di “pesisir” (saya underline pesisir, karena ini yang banyak penulis lihat sebagai tempat kelahiran) menggelar Saeyyang Pattuqduq ketika salah seorang gadis Mandar telah melakukan akad nikah, biasanya juga diikutkan keluarga dekat dari mempelai perempuan, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Kebiasaan yang banyak dilakukan setelah selesai melakukan “marattas baca”, istilah ini kalau diterjemahkan secara awam dalam Bahasa Indonesia adalah proses menyelesaikan bacaan Al-Qur’an yang dilakukan pada malam hari bersamaan dengan proses “melattigi” menuju hari akad nikah esoknya. Ini adalah penanda bahwa bila seseorang sudah tamat mengaji atau selesai membaca satu buah Al-Qur’an.

Juga sebagai tanda bahwa seseorang sudah bisa dipercaya untuk membaca Al-Qur’an dengan sistem tajwid ala orang Mandar, karena dalam proses ‘marrattas baca’ ada annangguru atau guru mengaji yang ditemani imam kampung setempat yang menjadi saksi bahwa yang akan “tammaq mangayi” itu benar sudah bisa membaca Al-Qur’an.

Dalam proses belajar membaca Al-Qur’an acara tersendiri yang pernah penulis alami, dimulai dari mengenal huruf hijaiyyah terlebih dahulu, setelah itu kemudian mengenal tanda bacanya. Untuk lebih mendekatkan baca Qur’an ini kepada anak-anak, biasanya dilagukan seperti memiliki nada, seperti di bawah ini: “Alepra senna’a, bara se’na ba, tara sennatta…dst” metode klasik seperti yang kami sebutkan itu terbilang sukses mengajarkan anak-anak mengaji, belakangan baru berubah dengan menggunakan metode Iqra.

Nah, penulis melihat bahwa si gadis calon pessawe tersebut tidak boleh naik kuda dengan bertumpu pada tanah, atau menyentuh tanah dengan kata lain si Pessawes atau penunggang naik dari tangga rumah, bahkan bila tidak sanggup dari tangga rumah. Karena faktor tubuh yang kecil atau lebih tinggi dari rumah maka keluarga terdekat akan membantunya, entah dengan menggendongnya untuk membantunya naik kuda.

Yang jelas prosesi naik ke Saeyyang Pattuqduq bagi orang yang tamat mengaji dilakukan persis di depan tangga rumah si penunggang. Mungkin ini dilakukan karena kudanya lebih tinggi dari si penunggang sehingga harus naik dari tangga rumah.

Di sinilah letak perbedaan menurut pengamatan penulis antara Pessawe Festival dan Pessawe Totammaq. Namun apakah pessawe festival juga melalukan hal tersebut di atas, naik ke atas kuda dari tangga rumah, wallahu a’lam.

Entah siapa yang memulai festival Saeyyang Pattuqduq ini, seingat saya sebelumnya sudah pernah dilakukan festival ini, ketika Dinas Pariwisata masih bergabung dengan Kebudayaan, di bawah komando Hj. Andi Nursami Masdar.

Pernah juga dilakukan dan juga tak kalah ramai, dihelat di Tinambung yang membuat fotografer sekelas Ebbie Vebri Adrian datang untuk mengabadikan momen tersebut, saat itu EO-nya adalah Inditia Community. Lalu seingat penulis juga pernah di Bala, Pambusuang yang pelaksanaannya diserahkan kepada Muhammad Adil Tambono.

Lalu pada Pawai Budaya Nusantara 2008 lalu, Sulawesi Barat berhasil meraih prestasi untuk pertama kalinya sebagai sebagai peserta terbaik satu, dengan tradisi yang diusung adalah adalah “Saeyyang Pattuqduq”.

Menurut Muhammad Ridwan itu adalah bukti keunikan budaya Mandar, yang juga bisa berarti bahwa bentuk-bentuk kebudayaan yang ada di Mandar belum terekspos banyak ke luar. Ketika pihak lain menyaksikan, ada sesuatu yang berbeda dari yang diusung tim Sulawesi Barat.

Senin, 23 Mei 2022 menjadi momentum tersendiri bagi Saeyyang Pattuqduq karena kehadiran pihak UNESCO sebagai lembaga penilai yang akan menentukan apakah kearifan lokal tersebut layak menjadi warisan budaya dunia.

Bagi dinas atau stakeholder terkait ini adalah momentum bahwa kebudayaan dalam ranah pendidikan harus lebih banyak melakukan riset-riset kebudayaan, kebudayaan bersifat edukasi bukan basis festival, mungkin urusan festival bisa diberikan kepada dinas lain, biarlah mulai dari kementerian, provinsi dan kabupaten fokus ke ranah kajian budayanya.

Sehingga dokumen tentang khazanah kebudayaan kita lebih banyak dan memudahkan pihak-pihak lain untuk mengaksesnya sebagai sarana dokumentasi untuk mendukung kebudayaan serta tradisi ini lebih banyak diketahu atau dipelajari oleh siapa saja yang membutuhkan.

Eeee…bolongeee… (*)