Berkah di Persimpangan Jalan

58 / 100
Cerpen: Darmawati Majid

Aku tahu dan paham betul bahwa manusia diciptakan Allah memiliki sisi baik dan buruknya, ada kelebihan dan kekurangan. Namun, apapun kondisi kita, baik yang lalu maupun hari ini, kita pantas dicintai. Kan? Sebagai wanita yang amat sangat sederhana aku meyakini bahwa kehormatanlah yang mampu menjadi daya tarik kita, agar bisa dihargai dan disayangi orang lain. Aku selalu berusaha menjaga diriku agar kehormatan sebagai wanita tetap aku miliki dan menjadi nilai jualku, sebab aku tahu aku tak punya apa-apa selain itu. Kesadaran inilah yang kuanggap sebagai kelebihan dan  menutupi segala kekurangan-kekurangan yang dianggap hina oleh orang lain.

Aku selalu teringat pesan Ibu ketika petang datang menjelang dan itu terus diulang-ulang pada setiap kesempatan duduk bersantai dengannya. Katanya “Nak, kita bukan siapa-siapa, yah. Uang, tahta, jabatan, dan lainnya kita tak punya, satu-satunya yang mesti kita punya adalah kehormatan. Jika kamu menjaga kehormatanmu, maka sama saja kamu menjaga kehormatan keluargamu. Begitupun sebaliknya”. Terenyuh mendengar petuah Ibu  yang sarat akan makna dan tentu menjadi bekalku untuk berbaur di mana saja.

Mungkin karena aku begitu mendalami kata atau petuah Ibu sehingga apapun yang aku lakukan harus sesuai dengan rambu agama maupun aturan di masyarakat, tapi anehnya aku memaknainya secara berlebihan. Aku selalu berusaha untuk membuat sekat pemisah antara aku dengan teman-teman lelakiku di kampus. Aku begitu berhati-hati dalam berbaur tak terkecuali kepada senior dan juga dosenku . Entahlah, agak aneh memang tapi bagiku petuah Ibu lebih utama ketimbang apapun.

Yah, dengan sikapku seperti itu pada akhirnya, di awal kuliah aku dikenal oleh teman-teman di kampus sebagai wanita cuek dan juga tertutup. Kadang merasa sedih juga ketika dijauhi teman-teman cowok di kelas padahal sesungguhnya aku ingin sekali bercerita dan berdiskusi panjang dengan mereka. Setiap hari aku berusaha hidup sewajarnya saja dan berusaha seperti teman  yang lain, bisa berbaur tanpa ada sekat pemisah. Suatu ketika Allah mengirimkan sosok lelaki yang mampu mengubah pola pikirku selama ini.

Sebut saja namanya Wawan, lelaki yang kutemui di persimpangan jalan saat hendak menuju ke kampus seorang diri. Lelaki yang memiliki paras yang cukup rupawan, tubuhnya juga ideal dia pun sangat pandai memainkan gitar. Wanita seperti diriku ini tentu hal wajar jika melihat sosoknya ada rasa kagum yang meletup-letup dalam hati hahaha.

Sekilas tak ada yang aneh dari lelaki itu, tetapi siapa sangka ternyata dia memiliki kelemahan yang tentu sangat disayangkan, sebab dia lelaki yang hampir sempurna. Yah, Allah menakdirkan hidupnya tidak bisa berbicara dan juga mendengar. Aku mengetahui kekurangannya  saat dia memberiku sebungkus roti keju, sisa dari pemberiannya kepada anak–anak jalanan. Dia memberiku isyarat dengan menggunakan tangannya tanda bahwa aku harus mengambil rotinya.

Astagfirullah, lelaki itu bisu?,”

Mataku terbelalak dan tak tahu mau bilang apa menyaksikan hal itu, aku tersadar dengan apa yang selalu dikatakan orang di luar sana bahwa di muka bumi ini tidak ada yang benar-benar sempurna. Kesempurnaan hanyalah milikNya.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari arah belakang. Sontak roti yang aku genggam terjatuh. “ Upss, maafkan saya dik,” katanya. “Iya, Kak. Tidak apa-apa” sembari tersenyum tipis dan mengambil roti yang aku jatuhkan

“Apa Kakak tahu, dia itu siapa?” tanyaku penuh penasaran. “Oh, tentu Dik. Dia adalah sahabat baikku. Namanya Wawan”. Kami diam sejenak, sembari menikmati angin dan juga menyaksikan Wawan sedang asyik bergurau dengan para anak jalanan. “Kak, mohon maaf sebelumnya, Wawan itu, bisu dan tuli yah? Tanyaku lagi. “ Iya, dik. Waktu dia kecil, dia pernah  terjatuh dari motor dan dampaknya pada kekurangannya sekarang yakni dia tuli dan juga bisu”

Kami pun mulai bercerita panjang lebar di tepi jalan, rasa risih untuk berdekatan dengan lelaki pun kucoba untuk aku tahan demi mendapatkan informasi lebih jauh tentang sosok seorang lelaki yang bernama Wawan ini.

“Jika mau mengenalnya lebih dekat, silakan ikutlah bersama kami, setiap Jumat sampai Minggu kami turun ke jalan membagikan makanan” saat itulah, aku mulai membuka diri untuk bisa berbaur dengan banyak orang termasuk berbaur dengan para teman laki-laki.

Setiap Jumat sampai Sabtu usai kuliah aku ikut kegiatan mereka, ke pantai kadang juga ke pasar untuk melakukan aksi sosial. Dari mereka aku belajar banyak hal, tentang bersyukur, berbagi, dan bahagia dengan cara kita masing-masing. Wawan adalah contoh pertama yang membuatku bisa membuka diri dari segala kekurangan yang kita miliki tanpa mengesampingkan kehormatan kita sebagai wanita.

Di sela-sela kesibukan mengerjakan tugas kuliah, tiba-tiba aku menerima pesan singkat dari kak Wawan. Isinya semua tentang motivasi. Bagaimana caranya hidup sederhana, menjadi wanita yang baik dan benar, dan bisa menjadi pelopor perubahan. Dia menyemangatiku agar tidak terus menerus mengurung diri dari kerumunan, sebab dari sana kita bisa mendapat banyak ilmu dan juga keberkahan.

Dalam hati, aku terus  bertanya-tanya tentang siapa yang memberitahunya kebiasaan burukku itu, tapi ah. Aku betul-betul bersyukur bisa mengenalnya dan bisa mengubah diriku menjadi seperti sekarang.

Dia membuatku berpikir lebih, arti kehidupan tak hanya harus banyak bicara sebab yang terpenting adalah tindakan nyata kita, apakah ada atau tidak. Itu yang penting.